x

Poster Film Ngeri-Ngeri Sedap

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 12 Agustus 2022 07:24 WIB

Covid dan Lanskap Industri Perfilman

Dua tahun lebih wabah Covid-19 dengan segala variannya menghantam industri di Indonesia, tak terkecuali industri perfilman. Selain itu, sejak dibukanya Daftar Negatif Investasi (DNI), lanskap industri ini juga berubah. Bagaimana kondisi sekarang?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dua tahun lebih – dihitung sejak 2 Maret 2020-- Covid-19 dengan segala variannya menghantam Indonesia. Pagebluk ini tak hanya mengubah pola hidup kita, tetapi juga memaksa kalangan bisnis menyesuaikan diri. Bahkan beberapa jenis usaha rontok, pemutusan hubungan kerja terjadi di banyak sektor. Salah satu industri yang terdampak adalah         perfilman.

Dalam hal eksibisi, puncaknya terjadi sekitar akhir 2020 hingga pertengahan 2021, ktika seluruh pusat perbelanjaan ditutup total. Maka bioskop yang umumnya berada di dalam mall pun ikut tutup. Produksi film  berhenti untuk sementara. Tak ada yang bisa memastikan sampai berapa lama kondisi semacam itu akan berakhir.  Syukurlah, kini (Agustus 2022) perlahan-lahan keadaan mulai membaik. Meski tingkat penambahan kasus baru masih tinggi, namun tingkat kematian tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Produksi kembali menggeliat, dan penonton pun sudah kembali ke bioskop.

Tetapi, sebenarnya perubahan landscape indutri perfilman ini – khususnya eksibisi-- sudah terjadi jauh sebelumnya. Yakni ketika  pemerintahan Joko Widodo menandatangani Peraturan Prersiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, yang ditetapkan pada 12 Mei 2016. Perpres ini oleh masyarakat umum sering disebut sebagai Daftar Negatif Investasi (DNI). Sebab di dalam ketentuan tersebut terdapat daftar bidang usaha apa saja yang terbuka seratus persen untuk investasi asing,  apa saja yang tertutup (negatif) bagi penanaman modal asing, dan yang terbuka dengan persyaratam tertentu..

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam Perpres sebelumnya, yakni Perpres Nomor 39 Tahun 2014 tentang hal yang sama,  beberapa jenis usaha perfilman diharuskan 100 persen modal dalam negeri. Misalnya, bidang usaha pembuatan film, pertunjukan film, pengedaran film,  sarana penyuntingan film, dan sarana pemberian teks film. Sedangkan untuk studio pengambilan gambar film, laboratorium film, sarana pengisian suara (dubbing), dan sarana penggandaan film, dapat dimiliki oleh asing maksimal 49% (empat puluh sembilan persen). Perpres ini ditetapkan pada 23 April 2014 dan ditanda tangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Namun, dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2016 yang ditanda tangani oleh Presiden Joko Widodo, masalah perfilman sebagian besar hilang dari daftar. Artinya, sebagian besar bidang usaha dan jenis usaha perfilman kini terbuka seratus persen bagi modal asing.

Saat itu, kuat pandangan bahwa jumlah bioskop menjadi faktor utama dalam perolehan penonton film nasional di tanah air. Kurangnya jumlah bioskop berkorelasi langsung dengan jumlah penonton film nasional. Padahal, bioskop sebenarnya tidak pernah mampu menggiring penonton ke bioskop. Pilihan penonton pada film-film tertentu ditentukan oleh selera penonton sendiri. Sebab menonton film itu tidak gratis alias membayar. Tetapi, bahwa banyaknya jumlah bioskop  dapat meningkatkan potensi penonton, saya kira ada benarnya. Hanya saja soal mereka mau menonton film apa – asing atau nasional—tidak ada yang bisa memaksa.

Menurut Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) saat itu (3 Januari 2016),  bagi anggotanya yang berupa bioskop jaringan, mungkin tidak akan berdampak serius dengan rencana pencabutan DNI bioskop tersebut. Tetapi bagi anggota yang mengelola bioskop secara independen maupun bioskop jaringan yang berskala kecil, dapat terpinggirkan bilamana bioskop asing masuk ke tanah air seiring pencabutan DNI. Organisasi yang berdiri sejak 10 April 1955 ini saat itu  menaungi sebanyak 1.118 layar yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.

Dalam pernyataan resminya,  GPBSI sebenarnya selalu memberikan kesempatan kepada film Indonesia untuk dinikmati penonton. “Kami telah membuktikan itu dengan capaian pangsa pasar penonton Film Indonesia yang melebihi 55% pada tahun 2008. Bahwa kemudian terdapat fakta pangsa pasar penonton Film Indonesia terus menurun setiap tahun sejak 2009, tidaklah adil bila kurangnya jumlah layar bioskop yang dipersalahkan. Apabila Film Indonesia pernah berjaya pada tahun 2008 dengan jumlah layar bioskop yang jauh lebih sedikit daripada sekarang, maka menurunnya pangsa penonton Film Indonesia saat ini tidak mungkin disebabkan oleh kurangnya layar bioskop tetapi kualitas produksi film Indonesia sendiri yang tidak terjaga dengan baik.

“GBPSI telah membuktikan selama ini berjuang membuka layar bioskop baru di daerah-daerah yang belum memiliki bioskop. GPBSI sangat merasakan bagaimana beratnya perjuangan tersebut di tengah kondisi masyarakat yang tingkat penghasilannya masih relatif rendah untuk menutup kebutuhan pokoknya. Hiburan bioskop sudah barang tentu bukan merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan karenanya pasar penonton bioskop di daerah sangatlah kecil bila dibandingkan dengan investasi dan biaya operasi yang harus ditanggung. Namun semua kendala tersebut tidak menyurutkan langkah kami untuk terus membuka layar bioskop di kabupaten dan kota yang belum memiliki bioskop. Dalam tiga tahun terakhir GPBSI telah berhasil menambah sekitar 100 layar bioskop baru di kabupaten dan kota yang belum memiliki bioskop,” kata Djoni Sjahfrudin, Ketua GPBSI. 

Selanjutnya, nenurut GPBSI dalam surat pernyataanya tangal 3 Januari 2016, menghadirkan bioskop di setiap pelosok tanah air sebenanrya juga menjadi cita-cita mereka. Tetapi perjuangan ini tentu tidak mudah dan memerlukan waktu seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan penghasilan masyarakat yang terus menerus diupayakan..

                                                                       ***

Apapun argumentasinya, Presiden Joko Widodo akhirnya menandatangani Peratuan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, pada 12 Mei 2016. Dengan Perpres ini, nyaris semua sektor di bidang perfilman dibuka 100% (seratus persen) untuk asing.  

Singkat cerita, kini (Agustus 2022) bioskop berjaringan yang ada di Indonesia tidak hanya “dikuasai” oleh Kelompok XXI. Kini sudah ada jaringan bioskop CGV (Korea) dan Cinepolis (Mexico) yang tersebar di berbagai kota dan daerah di Indonesia. Apakah kehadiran mereka meningkatkan jumlah penonton film Indonesia? Rasanya masih perlu penelitian lebih lanjut.

Dan sangat disayangkan bahwa beberapa bioskop asing yang ada sekarazng hanya berani berani membuka lokasi di kota-kota besar yang sudah banyak bioskopnya. Padaha, semangat insan perfilman yang mendorong pembukaan DNI adalah agar muncul bioskop-bioskop baru di kota atau daerah yang selama ini belum ada bioskopnya. Artinya, hingga kini penyebaran bioskop pun boleh dikata masih belum merata.

Namun, “teriakan” soal permintaan agar bioskop memberikan prioritas kepada film nasional dibanding film asing masih terus berlangsung, meski jumlahnya lebih kecil Dan yang selalu menjadi “sasaran tembak” adalah Kelompok XXI.. Mungkin hal ini disebabkan karena jaringan XXI masih lebih besar dibanding dengan ajringan bioskop asing yuang ada.

Di sini peran XXI menjadi sangat penting. Sejauh yang saya amati beberapa tahun terakhir, jaringan XXI telah melakukan banyak perubahan semenjak menunjuk seorang anak muda untuk menakhodai kapal induk mereka. Kita sebut saja “Mr. X “. Saat itu, di tahun 2015,  market share film nasional sedang berada di titik yang memprihatinkan.  

“Mr X” yang didapuk  menjadi CEO kelompok ini sebenarnya tak punya pengalaman sama sekali di bidang perfiman, apalagi perbioskopan. Sebelumnya, selama lima belas tahun ia hanya bertekun di bidang finansial di luar negeri. Tetapi, rupanya, ia termasuk fast learner. Dengan dukungan beberapa pihak, ia segera memetakan persoalan dan mencari solusinya.

Beberapa perubahan drastis dan keputusan menonjol yang dilakukan “Mr. X”, misalnya, melakukan transformasi dalam hal transparansi distribusi dan jadwal penayangan. Ia juga bukan hanya membuka pintu komunikasi dengan para stakeholder film nasional, tetapi juga memberikan kesempatan yang lebih luas untuk film-film nasional agar  bersaing dengan film-film impor.

Hasilnya, terbukti share film nasional dalam lima tahun terakhir berangsur naik hampir sebanyak 300 persen (dari angka sekita 15 persen di tahun 2015 menjadi 45 persen di tahun 2019).

Kabar yang saya dengar dari beberapa stakeholder,  “Mr.X” saat ini sedang berusaha membawa perusahaan (privat) untuk menjadi perusahaan publik (Tbk.). Ini tentu sebuah langkah besar. Di sampng itu, ia pun sedang menjalin kerjasama dengan pihak pemerintah maupun swasta untuk mendirikan kursus-kursus di SMK dalam bidang penulisan skenario. Hal ini agar muncul penulis-penulis baru yang pada akhirnya akan ikut meningkatkan kualitas film nasional. Dia juga sangat antusias untuk membawa film-film nasional ke kancah internasional. Tak lupa, dua tahun terakhir ia berhasil bertahan menghadapi cobaan berat yang diakibatkan oleh pagebluk Corona. Kita tunggu saja gebrakan apa lagi yang ia akan lakukan ke depan.

Saat ini, berdasarkan data dari GPBSI, jumlah layar bioskop yang ada di Indonesia adalah XXI (56 persen), CGV (20 persen), Cinepolis (15 persen), dan lainnya (8 persen). Dan pada Agustus ini, jumlah film yang tayang adalah Hollywood (42 persen) dan  film nasional (58 persen). Semoga perfilman nasional semakin maju di hari-hari yang akan datang.

 * Atmojo adalah pengamat industri perfilman.

                                                                              ###

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler