x

Ilustrasi Memilih. Karya Pete Linforth dari Pixabay.com

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 29 Agustus 2022 15:28 WIB

Inilah Para Pemenang Sayembara Mengarang Puisi Teroka-Indonesiana

Dewan Juri Sayembara Mengarang Puisi Teroka-Indonesiana mengenang 100 Tahun Chairil Anwar telah melakukan beberapa tahap penilaian atas 350 karya yang ditulis 105 peserta. Puncaknya, pada Kamis, pekan lalu juri kembali bersidang dan berhasil menentukan juara 1,2,dan 3. Penyelenggara juga telah berhasil menetapkan satu karya favorit, yakni yang paling banyak di-klik pembaca di platform Indonesiana.id.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dewan Juri Sayembara Mengarang Puisi Teroka-Indonesiana mengenang 100 Tahun Chairil Anwar telah melakukan beberapa tahap penilaian atas 350 karya yang ditulis 105 peserta. Puncaknya, pada Kamis, 11 Agustus, pekan lalu, juri kembali bersidang dan berhasil menentukan juara 1,2, dan 3. Dewan juri yang terdiri dari  tiga orang itu adalah Iwan Kurniawan, Musatafa Ismail dan Tulus Wijanarko.

Panitia juga telah berhasil menetapkan satu karya favorit, yakni yang paling banyak di-klik pembaca di platform Indonesiana.id. Penentuan itu dilakukan bersamaan dengan berlangsungnya rapat dewan juri, yakni pada Kamis, 11 Agustus 2022, pukul 17.54. Karya yang dimaksud telah di-klik sebanyak 2547 kali.  

Berikut nama-nama para pemenang dan karyanya. Pada bagian bawah akan disertakan catatan juri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Juara 1: Demonstran Apostolik - Gilang Perdana
Juara 2: Memento Senja untuk Chairil - Budi Saputra
Juara 3: Itu Tubuh - Fransiska Eka
Karya favorit pembaca: Catatan Kecil untuk Chairil – Akhmad Sekhu

Hadiah:
- Juara I: Rp 1,5 juta + langganan Tempo digital 6 bulan
- Juara II: Rp 1 juta + langganan Tempo digital 6 bulan
- Juara III: Rp 750 ribu + langganan Tempo digital 6 bulan
- Karya terfavorit/terpopuler: Rp 1 juta + langganan Tempo digital 6 bulan.
- 10 besar: gratis langganan Tempo Digital 6 bulan

1. Bung! Ia Akan Hidup Lebih Lama Lagi    -    Muhammad Syahroni
2. Dari Bias Cemara, Cahaya Sampai Jauh    -    Muhammad Asqalani eNeSTe
3. Demonstran Apostolik    -    Gilang Perdana
4. Di Pesta Penyambutan    -    Yin Ude
5. Itu Tubuh    -    Fransiska Eka
6. Kini Kemana, Anwar?    -    Rafif Zainul Daffa
7. Memento Senja untuk Chairil    -    Budi Saputra
8. Merawi Lelaki Bertubuh Puisi    -    Ilham Nuryadi Akbar
9. Sungai Kering    -    Vitto Prasetyo
10. Tuhan Mendadak Humor    -    Reggi Julian

Selamat kepada para pemenang. Selanjutnya untuk kepentingan pengiriman hadiah, masing-masing pemenang akan dihubungi Tempo. Panitia juga menyampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh peserta atas kesertaan mereka. Semoga ikhtiar yang telah dilakukan ini ikut mendorong kemajuan sastra Indonesia.

 

Catatan Penjurian
Sayembara Mengarang Puisi Teroka-Indonesiana "100 Tahun Chairil Anwar"

Pada 1967, A. Teeuw telah mencatat bahwa bagi banyak anak muda puisi Chairil Anwar telah terbukti menjadi “sarana penemuan diri”. Puisi Chairil seakan membuka pintu bagi mereka untuk menyadari siapa sebenarnya mereka atau mungkin mereka menemukan cermin bagi diri sendiri. Dalam "Modern Indonesian Literature", Teeuw menduga bahwa kebesaran Chairil, yang membuatya terus dikenang hingga dekade-dekade kemudian, adalah totalitas kepengarangannya dan puisinya. Bersatunya dua unsur itu yang mungkin telah membuat Charil terus mempesona dan abadi.

Kini, 55 tahun kemudian, ketika Indonesia merayakan 100 Tahun Chairil Anwar, apa yang disaksikan Teeuw tampaknya belum banyak berubah. Semangat Chairil tampak masih membakar para penyair muda. Karyanya dan kisah hidupnya masih menjadi ilham bagi mereka untuk mencipta puisi.

Yang agak berbeda barangkali bahwa anak muda sekarang meyerap Chairil dalam bingkai pengalaman kontemporer. Pengalaman mereka berbeda dari generasi 1960-an, yang masih dekat dengan masa hidup Chairil. Yang paling terlihat misalnya bagaimana mereka meletakkan Chairil di tengah situasi aktual: media sosial, Instagram, kereta rel listrik, virtual reality, dan seterusnya.

Chairil menjadi sumber imajinasi. Entah itu sosoknya, perjalanan hidupnya, orang-orang terdekatnya, kota kelahirannya, dan tentu saja juga karya-karyanya. Pendeknya, apa pun yang menyangkut dia mampu menggerakkan kreativitas para penyair untuk menulis sajak baru.

Bahkan, sepotong diksi atau frasa yang muncul dalam karya Chairil bisa memicu andrenalin peserta untuk menciptakan puisi baru. Dalam khazanah kepenyairan hal semacam ini memang bisa dan biasa terjadi. Kata bisa mempesona penyair dan membuat seluruh syaraf puitiknya bergetar untuk mengolahnya menjadi puisi.

Hal-hal itulah yang tecermin dalam Sayembara Puisi Indonesiana "100 Tahun Chairil Anwar". Ketentuan umum sayembara ini menyebutkan bahwa peserta bisa menafsirkan  tema "100 Tahun Chairil Anwar" seluas-luasnya, yang memungkinkan mereka melakukan berbagai penjelajahan puitik dan obyek, yang terlihat dari 305 karya yang masuk ke meja penyelenggara. Kecakapan berbahasa, penggalian kebaruan, dan penjelajahan tema menjadi beberapa pertimbangan juri ketika memilih karya terbaik di antara naskah yang masuk.

Berbagai puisi peserta menggambarkan pemahaman dan pengetahuan mereka yang cukup memadai mengenai Chairil, termasuk latar belakang kelahiran puisi Chairil. Ini barangkali karena semakin banyanya buku-buku mengenai Chairil yang terbit dan memperkaya khazanah bacaan mereka.

Partisipasi ratusan peserta dari berbagai daerah dan latar budaya dalam sayembara ini tentu sangat menggembirakan. Beberapa peserta memang pengarang yang telah sering mempublikasikan karyanya di media massa. Namun, sebagian besar adalah nama-nama yang mungkin baru mulai berkiprah di dunia kesastraan Indonesia. Hal ini menunjukkan masih besarnya potensi kepengarangan di kalangan anak muda Indonesia.

Sebagian pengarang berhasil menciptakan puisi yang memberi kesegaran atau menunjukkan keterampilan kepengarangan. Namun, sebagian lagi masih tampak terburu-buru dalam menulis. Gagasannya tampak belum direfleksikan secara mendalam sehingga karyanya terkesan masih permukaan, belum memberikan kedalaman. Ini berdampak pula, misalnya, dalam susunan kalimat dan pilihan kata mereka.

Masalah kebahasaan, yang bahkan untuk hal-hal yang sangat mendasar, masih menghinggapi sebagian pengarang. Ejaan yang salah, peletakan "di" sebagai kata depan, salah ketik, pengabaian tanda baca, dan seterusnya masih ditemukan pada sejumlah karya. Tentu hal ini sangat disayangkan karena Chairil adalah sastrawan yang sangat memperhatikan aspek kebahasaan dan bahkan mencoba melakukan terobosan-terobosan agar bahasa Indonesia tetap hidup. 

Meskipun demikian, karya-karya yang masuk ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa Chairil Anwar tak pernah mati. Karya dan kehidupannya terus mengilhami generasi sekarang. Tinggal lagi kita memberi makna yang tepat sehingga Chairil tetap relevan di masa kini.

Jakarta, Agustus 2022

Dewan Juri

 

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler