x

Sumber ilustrasi: https://www.rtor.org/

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 8 September 2022 06:09 WIB

Dalam Kesendirian untuk Menemukan Diri

Seberapa sering di kedalaman sepi, kita mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang apa yang benar-benar dibutuhkan untuk menjaga diri sepenuhnya? Tidak ada kebenaran yang lebih jelas selain melihat ke dalam cermin dan melihat bayangan yang berdiri di depan kita. Hal-hal yang paling kita cari di luar biasanya dengan mudah ada di dalam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada ujaran mengatakan "setiap manusia tinggal di dunianya sendiri". Menurutku, lebih tepat untuk mengatakan bahwa setiap orang tinggal di pulaunya sendirian.

Seberapa sering di kedalaman sepi, kita mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang apa yang benar-benar dibutuhkan untuk menjaga diri kita sepenuhnya?

Tidak ada kebenaran yang lebih jelas selain melihat ke dalam cermin dan melihat bayangan yang berdiri di depan kita. Seberapa sering kita melihat ke luar agar kebutuhan kita terpenuhi?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hal-hal yang paling kita cari di luar biasanya dengan mudah ada di dalam. Seringkali hal-hal yang paling kita cari dari orang lainlah yang memiliki petunjuk tentang hal-hal yang paling kita tolak untuk diri kita sendiri.

Bagai pil pahit untuk ditelan, merasa di pinggiran, tidak terlihat dan sendirian. Bahkan jika dikelilingi oleh orang-orang secara fisik atau dalam kelompok. Untuk mendengar suara jiwa, berteriak untuk dilihat dan didengar dan dimiliki telah menjadi benang merah sepanjang hidupku. Namun seringkali aku merasakan peranku adalah sebagai pengasuh yang tidak dibayar. Aku berjuang dengan kehampaan dan kesepian yang kosong.

Entah bagaimana, rasanya lebih mudah untuk menyendiri dalam gelembung perlindungan diri daripada menghadapi risiko ketidakpantasan, dilihat tapi tak didengar, dihakimi atau disalahpahami. Maka, aku menyembunyikan diri dan dengan sengaja menjauhkan diriku sendiri.

Hanya ketika aku bertanya ke dalam dan menyadari bahwa 'aku'-lah yang menuding jari penghakiman terhadap diriku sendiri. Mungkinkah situasi yang kualami mencerminkan kedangkalan jiwaku?

Aku ingin diikutsertakan, namun seberapa banyak aku berbaur ke dalam dunia di sekitarku? Seberapa hadir, ingin tahu, proaktif-nya 'aku' itu? Seberapa sering aku menjawab panggilan dan mengulurkan tangan? Apakah karena aku merasa begitu terputus dengan diriku sendiri sehingga kurang percaya diri dan merasakan penolakan saat berhubungan dengan orang lain? Jika memang demikian maka pasti 'aku' yang memegang kunci solusi.

Aku ingin diakui. Namun seberapa besar 'aku' mengakui kekuatan, kualitas, kesuksesanku? Aku ingin didengar, tetapi apakah 'aku' benar-benar mendengarkan diri saya sendiri? Kebutuhanku, keinginanku, batasanku.

Aku ingin diperhatikan, namun apa citra diri yang 'aku' ciptakan? '

Aku ingin dicintai. Namun dengan cara apa 'aku' mencintai dengan diriku sendiri?

Rumusnya sederhana: ubah cara berpikir, ubah perasaan, dan lakukan dengan sepenuh hati.

Ketika hati penuh ia memberi dan menerima tanpa syarat, tanpa harapan atau kebutuhan untuk validasi dari sumber eksternal. Maka, jawabannya datang "pikirkan cinta, berikan cinta, jadilah 'cinta'.

Cinta itu menyehatkan, baik dan pemaaf, di mana cinta ada, tidak akan ada rasa takut. Yang harus dilakukan sekarang, adalah mempraktikkannya.

 

Bandung, 6 September 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler