x

Ludwig Feuerbach. Ilustrasi tulisa soal ateisme

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 23 Oktober 2022 12:53 WIB

Dasar Filosofis Ateisme

Penganut ateisme kabarnya terus meningkat. Apakah ini juga terjadi di Indonesia? Bagaimana sebenarnya dasar filosofis ateisme itu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Secara tak sengaja saya menemukan tulisan berjudul Ateisme yang dibuat oleh Nasaruddin Umar di harian Rakyat Merdeka, Selasa 18 Oktober 2022, halaman 4. Rupanya, Nasaruddin yang tampaknya juga seorang ustad, sedang membuat serial tulisan tentang ism-isme kontroversial, dan pada hari itu isme yang dibahas adalah ateisme.

Mengutip survei Eurobarometer Poll, Nasaruddin menyebutkan bahwa penganut ateisme cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Nasaruddin juga mengutip hasil survei lain yang intinya menunjukkan bahwa penganut ateisme ini cukup besar. Tren kenaikan itu, menurut Nasaruddin, bisa menjadi ancamam bagi agama-agama, termasuk orang beragama di Indonesia. Benarkah rakyat Indonesia saat ini masih kuat berpegang teguh pada ajaran agamanya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Nasaruddin  mengusulkan dilakukan survei yang lebih akurat.

Menurut Nasaruddin, kaum ateis beralasan  mengapa mereka tidak percaya kepada Tuhan, antara lain, karena mereka tidak percaya kepada hal-hal yang bersifat supernatural dan hal-hal lain yang tidak masuk akal. Mereka lebih berpandangan pragmatis sehingga  beranggapan tidak efektif menghabiskan waktu untuk hal-hal yang dianggapnya tidak berguna. Selain itu, mereka juga tidak percaya bahwa agama bisa dijadikan sebagai “direction” dalam kehidupan modern karena standard dan paradigma agama sulit diprediksi. Mereka lebih percaya  ilmu pengetahuan karena semua bisa lebih terukur.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akhirnya, menurut Nasaruddin, bagi generasi muda Indonesia yang belum memahami dan mendalami fungsi agama (Islam) perlu diberikan paket pembekalan yang intinya tidak lain adalah penyadaran akan peran agama dan spiritualitas dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat.

                                                                ***

Ateisme sebagai kepercayaan atau “ideologi” memang menggoda, terutama bagi generasi muda. Tulisan singkat ini hanya ingin mengeksplore lebih jauh dari apa yang sudah dimulai Nasaruddin di atas, dan akan berhenti pada Ludwig Feuerbach – pemikir yang memberi landasan filosofis ateisme. Bagi peminat filsafat, tentu soal ini bukan hal yang baru.  

Ya, ya, andai saja di dunia ini tidak ada penderitaan, tidak ada kekejaman, barangkali ateisme juga tidak laku. Sebab, bagi penganut ateisme, mungkinkah ada Tuhan yang tega membiarkan adanya penderitaan dan kekejaman di dunia ini? Tuhan semacam apakah yang membiarkan manusia menderita dan saling membunuh dalam peperangan? Mengapa banyak orang tidak berdosa, terutama anak-anak, yang menjadi korban kekerasan dan mengalami penderitaan. Itulah salah satu argumen klasik yang sering dijadikan dasar penolakan adanya Tuhan. Lalu beberapa seniman – sebut misalnya Bertold Brech, Samuel Beckett, Kurt Tucholsky, Albert Camus -- pun mengungkapkan aneka bentuk penderitaan itu dalam karya-karya mereka. Semakin maraklah ateisme.

Kini, beberapa pemikir modern seperti Richard Dawkins, pengarang The God Dulusion dan  Outgrowing God, tampak menggebu menyerang agama dan Tuhan. Beberapa bentuk atau varian ateisme baru juga bermunculan. Misalnya, Anti-teisme, sebuah perlawanan aktif terhadap iman kepada Tuhan, sebab iman ini dianggap  “ancaman” bagi manusia. Lalu ada Sainteisme, yang menganggap semua perkataan yang tidak dapat diverifikasi adalah tidak benar. Dan karena perkataan tentang Tuhan tidak dapat diverifikasi, maka semua perkataan tentangnya juga ‘tidak benar’. Ada pula  humanisme ateistis, yang juga menyangkal adanya Tuhan. Sebab afirmasi adanya Tuhan berati “merintangi” kebebasan manusia. Humanisme ateistis ingin mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Manusia harus memilih sendiri penilaian-penilaiannya dan hukum-hukumnya. Sedangkan materialisme dialektis menganggap agama itu “berbahaya”. Agama itu “candu” umat. Iman kepada Tuhan  itu membius manusia. Surga itu rekaan untuk melepaskan diri dari tugas saat ini dan di sini. Agama merupakan “drug” yang menghambat realisasi firdaus duniawi melaui perubahan situasi sosial ekonomis di dunia.

Sebagai “pemikiran”, ateisme ini didahului oleh “Deisme”, yakni ide yang tidak menyangkal adanya Tuhan, tetapi membatasi peran Tuhan pada saat penciptaan awal saja. Sesudah alam raya diciptakan, maka alam raya berjalan sendiri. Tuhan tidak ikut campur lagi dalam semua urusan manusia di dunia. Semua diserahkan pada hukum alam. Baru nanti akan terlibat lagi sesudah kematian.  Deismu ini subur berkat kemajuan ilmu-ilmu alam (abad 17 dan abad 18). Tokoh-tokoh deisme ini antarta lain, Lord Hebert of Cherbury dan juga Issac Newton.

Sedangkan sebagai “ideologi”, atesisme baru diangap serius mulai abad ke-18, yakni masa pencerahan, dan berkembang pesat di abad ke-19, setelah beberapa filosof terlibat dalam diskursus-diskursus serius..Helvetius dan d’Holbach adalah dua filsosof awal yang memproklamirkan diri sebagai ateis. Tetapi  baru Ludwig Feurbach, ateisme mendapar dasar filosofs yang serius.

Menurut Feuerbach, timbulnya agama adalah karena sebuah aspirasi atau cita-cita. Di dalam batinnya, manusia sebagai pribadi yang lemah ini – meski memiliki beberapa atribut positif—merindukan kesempurnaan dan kebahagiaan abadi, seperti adanya cinta kasih tanpa pamrih, kebijaksanaan, dan keadilan. Agama adalah perwujudan cita-cita itu. Ilusi relijius itu diwujudkan dengan membuat suatu obyek yang bersifat imanen pada pikiran manusia, menjadi lahiriah, mewujudkannya, dan mempersonifikasikannya.

Potensi atau atribut positif yang dimiliki manusia seperti kebijaksanaan,  keadilan, cinta kasih, diproyeksikan di luar dirinya. Manusia mengoyektifkan hakekat itu dalam suatu subyek yang istimewa, suatu khayalan yang kemudian disebutnya sebagai Tuhan. Proyeksi hakekat manusia yang tahu, kuasa, menyintai, adil, estetis, itu tidak lagi disadari manusia sebagai diri sendiri, melainkan dianggap sesuatu yang menghadapinya, sesuatu yang berdiri sendiri di luar sana.

Maka, bagi Feurbach,   agama adalah keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Semboyan Feurbach yang terkenal adalah “Bukan Tuhan yang menciptakan manusia, melainkan manusia yang menciptakan Tuhan”. Selama manusia beragama, ia tidak dapat mengembangkan dirinya sendiri. Salah satu ciri sosial manusia, yakni keterbukaan  terhadap sesama manusia, tidak akan berkembang. Agama membuat manusia menjadi tidak sosial. Maka manusia harus membongkar agama agar ia menjadi manusia dalam arti sepenuhnya.

Jadi, sekali lagi, bagi Feuerbach, agama hanyalah sebuah proyeksi manusia. Tuhan, malaekat, surga, neraka, tidak mempunyai kenyataan pada dirinya sendiri, melainkan hanya gambar-gambar yang dibentuk manusia tentang dirinya sendiri. Semua itu hanya  angan-angan manusia tentang hakekatnya sendiri. Agama tidak lebih daripada proyeksi hakekat manusia. Namun manusia lupa bahwa angan-angan itu ciptaannya sendiri.

Angan-angan itu dianggap mempunyai eksistensi pada dirinya sendiri, lalu menusia merasa takut dan perlu menyembah  dan menghormatinya sebagai Tuhan. Jadi manusia seperti segan atau takut terhadap hakekatnya sendiri. Ia menyembah proyeksinya sendiri. Ia menjadi pasif.

Dengan “mengasingkan dirinya” itu, terjadi kehampaan yang nyata dalam diri manusia. Ia telah kehilangan bagian yang terbaik dari dirinya dan telah “:mendehumanisasikan dirinya”. Ia memiskinkan dirinya seraya memperkaya Tuhan. Ia menelanjangi dirinya sendiri demi sebuah Hakekat fiksi. Setelah manusia menjadikan dirinya miskin di hadapan suatu Tuhan, dia malah menharapkan dari Tuhan kebahagiaan dan realisasi total impian-impiannya dalam sebuah surga yang diimajinasikan.

Maka, agar menjadi manusia yang sejati, dia harus menghancurkan alienasi itu. Ia harus mengingkari “pemisahann dari dirinya sendiri itu”. Apa yang diakui secaera imajiner  itu harus diganti dengan pengakuan manusia yang nyata dan indrawi.

Bagi Feurbach, alam material adalah kenyataan terakhir. Hakekat manusia adalah rasio, kehendak, dan hatinya.  Rasio, kehendak dan perasaan ini dapat diidealisasikan sampai tak terhingga, sehingga menjadi sesuatu yang disebut Tuhan.

Jadi, apa yang disebut sebagai hakekat Tuhan  tidak lain adalah hakekat manusia sendiri, sebagai sebuah kenyataan otonom yang berdiri  di luar manusia. Maka, dengan mengasalkan hakekat Tuhan pada hakekat manusia, dia memandang teologi tak lain daripada antopologi belaka.

Lalu, kalau Tuhan adalah alienasi diri manusia dari dirinya sendiri, maka agama tentu adalah sebuah kenyataan yang negatif yang harus diatasi oleh manusia sendiri. Apakah alienasi ini bisa dihindari? Agak sulit memang,. Sebab sejak kecil orang sudah “dicekoki” tentang adanya Tuhan di luar sana. Selain itu, kemampuan melakukan proyekasi ini termasuk hakekat manusia juga. Baru sesudah manusia itu sadar akan hakekatnya secara penuh, dia bisa mengatasi keterasingannya. Pada saat itu, ketika dia sudah bangun dari mimpi-mimpinya, dari tidur panjangnya, dia menyadari bahwa dia adalah tujuan bagi dirinya sendiri. Dan pada saat itulah dia  menjadi manusia yang otentik, yang merdeka.

Sudah pasti tidak semua pemikir – baik yang ateis atau tidak-- sepakat dengan Feurbach.. Bahkan kaum ateis modern kini telah mengembangkan argumen ateismenya melalui ilmu pengetahuan.  Tapi, sementara, kita cukupkan sampai di sini. Kalau ada sumur di ladang, bolehlah kita menumpang mandi. Kalau ada umur yang panjang, bolehlah tulisan ini disambung lagi.

  • Atmojo adalah penulis yang meminati bidang filsafat, hukum, dan seni.

                                                               ###

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler