x

Sumber ilustrasi: istockphoto.com

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 1 Desember 2022 09:54 WIB

Yang Ditemukan Setelah Api Padam

Berdiri di tumpukan abu dan jelaga tempat sofa lapuk dulu berada, Ananta memandangi cincin polos yang dia pegang di antara ibu jari dan jari telunjuknya. "Itu adalah cincin kawin ayahku," kata Euis, sambil menggosokkan emas putih yang sudah usang itu ke kausnya. “Dia kehilangannya bertahun-tahun yang lalu. Pasti terselip di antara bantal. Tidur siang di sofa di bawah sinar matahari sore adalah kebiasaannya. Aku akan selalu membayangkannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berdiri di tumpukan abu dan jelaga tempat sofa lapuk dulu berada, Ananta memandangi cincin polos yang dia pegang di antara ibu jari dan jari telunjuknya.

"Itu adalah cincin kawin ayahku," kata Euis, sambil menggosokkan emas putih yang sudah usang itu ke kausnya. “Dia kehilangannya bertahun-tahun yang lalu. Pasti terselip di antara bantal. Tidur siang di sofa di bawah sinar matahari sore adalah kebiasaannya. Aku akan selalu membayangkannya.

Api bermula sekitar tiga ratus meter dari rumah masa kecil Euis, setelah badai petir menyulut dahan sengon laut lapuk, yang membara selama tiga hari sebelum menghanguskan tiga puluh sembilan rumah. Ketika Ananta dan Euis menikah setahun kemudian, pada peringatan kebakaran itu, dia menghadiahkan cincin itu kepadanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di lahan sebelah, Kokom menyodok gundukan logam gelap yang meleleh dengan kakinya.

"Saya di dapur, Kang," serunya kepada suaminya. “Saya menemukan bekas kuali."

“Hati-hati. Akang dari gudang bawah. Aneh juga dapur tidak langsung runtuh ke dalamnya. Akang menemukan mainan Ferdi,” kata Kusman suaminya, berjalan ke arah Kokom menggotong lelehan plastik seberat lima belas kilogram di tangannya.

Rumah Kusman adalah yang pertama di lingkungan itu yang terbakar. Bara yang tertiup angin mendarat di atap gudang mereka, hanya lima belas menit setelah mereka pergi ke desa tetangga mengunjungi orang tua Kokom. Ferdi mengukir dan memoles plastik mainannya menjadi patung api yang rumit. Itu yang kemudian mengantarnya ke fakultas seni departemen desain dan seni rupa.

Di bekas bangunan di belakang lahan Kusman, Joko mengobrak-abrik sisa-sisa bengkelnya. Satu dinding masih berdiri, dihiasi garis-garis perkakas yang meleleh—dua sekop, kapak, garpu rumput, dan gergaji.

"Ayah! Ayah!" dia mendengar putrinya Tina menangis. Di lapangan ilalang yang mengarah ke pohon-pohon kapuk dan meranti yang terbakar menghitam, Tina menuntun Iteung, kambingnya yang hitam legam. Sebelumnya Joko tidak terlalu berharap. Dia tidak mengira kambing muda itu bisa selamat.

Dilepaskan dari kandang oleh Tina pada pukul empat pagi, Iteung menghabiskan dua hari dengan berendam di dasar sungai saat api membakar, udara dipenuhi asap. Tiga bulan kemudian, Iteung dan Tina memenangkan juara satu Ternak Sehat saat peringatan Hari Ulang Tahun Kabupaten di kecamatan.

Di seberang jalan, Fatimah Azzahra duduk di tepi jalan. Air matanya mengalir, menghanyutkan abu ke selokan. Rumah mereka adalah satu-satunya di lingkungan itu yang belum terbakar. Dia tidak tahan berada di dalam rumah, melihat mainan berserakan di lantai ruang tamu, finger painting menempel di kulkas, mobil pikap diparkir di garasi.

Angin kencang bertiup membawa api, tetapi bergerak ke barat cukup lama untuk menyelamatkan rumah Fatimah. Setahun kemudian, dia mendirikan yayasan yang memberi beasiswa bagi siswa tak mampu berprestasi, untuk mengenang anak laki-laki kembarnya yang tewas ketika api menumbangkan pohon sengon laut ke bak pikap saat mereka melaju di malam kebakaran.

 

Bandung, 1 Desember 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler