x

M.Amin Abdullah. Foto https://timesindonesia.co.id/

Iklan

Wahyu Tanoto

Penulis yang menyukai kopi hitam dan jadah goreng, namun ngapak.
Bergabung Sejak: 4 Agustus 2022

Selasa, 6 Desember 2022 20:18 WIB

Menengok Sumbangan Pemikiran M. Amin Abdullah dalam Dialog Antar Umat Beragama (Bagian 3)

M. Amin Abdullah dituduh menyebarkan ideologi Muhammadiyah liberal yang pada waktu itU dianggap mendapat restu dari M. Amin Rais sewaktu menjabat sebagai ketua umum pada muktamar Aceh 1995 dan Amin Abdullah ditetapkan sebagai Ketua Majelis Tarjih. Sejak saat itu lembaga ini diperlebar sayapnya menjadi “Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam” dan sempat diplesetkan menjadi “Ideologi ”Muhammadiyah liberal”. Kejayaan “Muhammadiyah liberal” dianggap makin terang benderang di bawah kepemimpinan Syafi’i Ma’arif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

1. Fikih [1] Toleransi

Kata toleransi dalam masyarakat (Jawa) dikenal dengan kalimat tepo seliro atau dalam bahasa arab lebih populer dengan istilah tasamuh, kata toleransi dapat didengarkan dalam berbagai kesempatan; pengajian, acara diskusi-diskusi baik formal non formal bahkan dalam “kongkow-kongkow” tidaklah asing dengan kata toleransi. Maka dari itu tidaklah terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa toleransi merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakat sebagai bentuk implementasi ajaran agama yang universal. Hanya saja sikap ini (toleran-red) kerap ditempatkan sebatas pada persoalan perbedaan mengenai kepenganutan terhadap suatu agama.

Maka akibat yang ditimbulkan adalah minusnya sikap dan rasa saling menghormati inter agama ketika sikap tersebut hanya didefinisikan kepada umat di luar agama yang dianut. Terma mengenai suatu perbedaan bukan berarti selalu menghakimi lebih-lebih merusak, akan tetapi dapat menjadi lebih bijaksana manakala mampu mensikapinya sebagai sebuah keutuhan berkehidupan, istilah Anthony Synnot sebagai tubuh sosial yang berarti bahwa apa yang secara fisik dimiliki individu seperti tangan, kaki, tubuh, dan seterusnya juga dimiliki oleh orang lain meskipun dalam bentuk dan ukuran yang tidak sama. Walhasil apa yang disebut sebagai ideologi (berpikir), tingkah laku, pengamalan terhadap suatu kepercayaan dan ajaran agama sesungguhnya terdapat pada kelompok lain pula.[2]

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Agama, sudah selayaknya dapat menjadi motor gerakan bagi umat manusia untuk selalu mensuguhkan perdamaian meskipun ada pandangan yang tidak sama, lebih dari itu sebenarnya agama juga selayaknya dapat melahirkan kesejahteraan pula. Artinya bahwa disisi lain agama juga dapat “memicu” terjadinya violence (kekerasan), dimulai dari wilayah domestik hingga wilayah publik. Di negeri yang secara hukum positif menganut azas praduga tak bersalah ini tercatat ada beberapa tindak kekerasan yang sulit untuk tidak menyebutnya karena latar belakang agama. Apa yang terjadi di Maumere (1995), Situbondo, Surabaya dan Tasik Malaya (1996), Rengas Dengklok (1997), Jakarta, Solo dan Kupang (1998), Poso, Ambon (1999-2002) adalah contoh konflik yang telah merugikan negeri ini baik materi ataupun non materi.

Melihat hal tersebut merupakan kenyataan pahit bagi bangsa ini, maka disamping harus terus-menerus melakukan langkah koreksi dan penceghan, minimal sebagai tindakan dalam rangka mengurangi gejolak “pertentangan” atas nama agama dimasa mendatang dibutuhkan suatu tindakan nyata atau terobosan pemikiran keagamaan sebagai wujud pertanggungjawaban moral kepada sesama manusia. Mengintensifkan forum-forum dialog antar umat beragama, membangun pemahaman agama yang lebih pluralis dan inklusif serta mentransfer pengetahuan mengenai pluralitas di sekolah-sekolah sejak dini misalnya merupakan kebutuhan mendesak bagi bangsa. Bisa juga dengan melakukan kegiatan yang bersifat lapangan (out bond, napak tilas, mengunjungi situs sejarah bangunan candi-candi) adalah contoh nyata yang dapat dilakukan.[3]

Manakala ada pemikiran dan cara beragama yang rigid (kaku) dalam artian arogan dan mengolok-olok kelompok lain bukanlah cerminan cara beragama yang baik dan bijak. Hal ini dapat memicu hilangnya substansi dalam beragama yang mengajarkan kesetaraan terhadap sesama. Munculnya klaim-klaim kebenaran secara sepihak disebut M. Amin Abdullah sebagai wilayah “K” besar yang sesungguhnya dapat merugikan keberadaan “K” kecil. Menurut M. Amin Abdullah, “K” kecil merupakan representasi dari keberadaan kelompok-kelompok (masyarakat luas) diluar agama yang dianut. Kelompok masyarakat ini bisa saja mempunyai pandangan tidak sama, namun bukan berarti dibenarkan dapat dijustifikasi dengan penggunaan nalar teologi yang kaku. Penjustifikasian suatu kelompok agama menggunakan nalar teologi yang kaku terkesan bahwa agama, baru berfungsi sebagai sebatas media pengadil yang sesungguhnya belum tentu melahirkan keadilan yang sebenarnya. Dalam konteks ini agama belumlah layak dimaknai sebagai given (anugerah) bagi sesama.[4]

Melihat persoalan tarik-menarik yang belum jelas dan terkesan ada pembiaran “rebutan” pengaruh dalam beragama, M. Amin Abdullah mewacanakan gagasan mengenai fikih toleransi, yaitu fikih yang cenderung lebih banyak pada cara berpikir, cara bergaul dan cara berinteraksi secara sosial.[5] Bagi M. Amin Abdullah fikih adalah sebuah produk, maka dari itu sesungguhnya manusia tidak punya kewajiban harus selalu tunduk dan patuh begitu saja secara membabi buta (taklid) tanpa melihat konteksnya. Menurut M. Amin Abdullah sesungguhnya umat manusia adalah makhluk yang memiliki kesadaran untuk bersalah (sense of guility); rasa berdosa. Dan hal ini tidak saja hanya pada persoalan terhadap dirinya sendiri sebagai manusia, namun lebih luas lagi pada alam sekitar, lingkungan sosial dan lebih-lebih kepada Tuhan yang terekspresi melalui ritual seremonial dan ibadah yang dijalani dengan ekspektasi mendapat rahmat dan perlindungan dari sang pencipta alam semesta.

Dari sini tampak jelas bahwa sesungguhnya perjalanan manusia hanya mencakup tiga hal; dengan dirinya sendiri, dengan lingkungan sekitar dan dengan Tuhan yang menciptakannya. Dengan dirinya sendiri terbentuk sebagai individu yang kerap merasa kurang puas dengan apa yang sudah dialami atau dilakukannya di tengah masyarakat atau bahkan sebaliknya. Artinya dalam setiap diri individu memiliki kepentingan yang tidak sama dengan orang lain. Lebih-lebih mengenai kehidupan beragama yang pastinya memiliki keragaman berpikir dan dalam ungkapan beribadah.

Dengan lingkungan sekitar berarti semacam ada “paksaan” untuk berlaku jujur mengakui bahwa disekitar lingkungan dihuni pula orang, kelompok lain meminjam istilah M. Amin Abdullah ada the others di luar dirinya sebagai individu yang belum tentu sama mengenai cara berpikir dan bertindak lebih-lebih melihat suatu kejadian. Lebih jauh sesungguhnya sesama manusia dituntut untuk saling empati terhadap sesamanya dengan segala kemampuan yang dimiliki masing-masing. Karena menurut M. Amin Abdullah bahwa sesungguhnya perjalanan manusia baik sebagai individu dan masyarakat hanyalah berdiri di antara dua ujung tebing idealitas yang sakral (suci) dan realitas yang tidak suci (profan).[6]

Dari sini dapatlah dikatakan bahwa persoalan keragaman tidaklah dapat dipaksakan oleh individu maupun suatu kelompok. Lebih-lebih pada wilayah keagamaan yang notabenenya setiap agama memiliki ajaran yang tentu tidak sama persis antara satu dengan lainnya. Meminjam istilah Hans Kung bahwa setiap agama sudah selayaknya membangun argumen-argumen daripada hanya bercerita dan bertutur secara sederhana. Bila diperhatikan secara seksama memiliki dua tantangan; tantangan untuk menuturkan kisah kelompok agama tersebut, namun apa yang dituturkan dalam kelompok agama sendiri sangatlah dimungkinkan masih dianggap “asing” oleh kelompok agama lain.  

Disinilah sesungguhnya peran dan tanggung jawab agama diperlukan untuk dapat menjadi semacam cambridge of friendship (jembatan persahabatan) bagi umat beragama atau bahkan dengan kelompok agama yang tidak sama.[7]  M. Amin Abdullah memberikan catatan kritis kaitannya dengan wacana fikih toleransi: Ada baiknya apabila fikih dipahami sebagai “K” kecil, pasti tidak akan timbul masalah namun apabila fikih dipahami sebagai “K” besar maka yang terjadi adalah tidak jalannya toleransi dalam beragama. Maka toleransi hanya bisa muncul apabila sebagai manusia paham akan batas-batas sebagai manusia. Kata-kata “harus” merupakan kalimat yang terkesan memaksa dan tidak mudah untuk diterima orang lain.[8]

Dengan demikian bahwa proyeksi mengenai proses interaksi sebagai sesama manusia menjadi penting untuk dilakukan secara terus menerus, mengingat adanya interaksi secara sosial terus-menerus menurut M. Amin Abdullah akan dapat melahirkan apa yang disebut sebagai living experience, yaitu suatu pengalaman kehidupan penuh kebersamaan, saling menghormati dan saling menghargai yang dapat memahami keberadaan kelompok lain serta menghindari untuk terjebak dengan suatu monopoli kebenaran oleh satu kelompok agama.

Adanya orang lain lebih-lebih kelompok lain idealnya diberi ruang yang sama[9], tanpa dibumbui kalimat-kalimat yang memicu konflik. Artinya bahwa identitas sangatlah diperlukan, namun bukan berarti suatu identitas harus menafikkan identitas-identitas lain diluar kelompok. Menurut Amin hal ini sangatlah berkaitan dengan pendidikan keagamaan. Pendidikan disini, tidak harus selalu pendidikan yang bersifat formalistik top down yang lazim selenggarakan oleh negara.  Karena bagi M. Amin Abdullah negara sesungguhnya merupakan bagian kecil yang tidak perlu ikut campur terlalu dalam, terutama dalam pengelolaan pendidikan. Masyarakat selayaknya dibiarkan memilih dengan rasa sadar dan nyaman. Menurut M. Amin Abdullah, apa yang biasa disebut pesantren, pengajian-pengajian, diskusi-diskusi di cakruk, ngobrol-ngobrol di angkringan juga merupakan bentuk pendidikan model masyarakat yang sebenarnya dan lebih multikultur dibandingkan pendidikan yang sifatnya formal. Walhasil, kesediaan untuk bergaul dengan kelompok lain diharapkan mendapat pandangan yang berbeda.[10]  

Dalam konteks ini sebenarnya bukan pembahasan antara setuju atau tidaknya mengenai fikih toleransi, namun lebih ditekankan bahwa sebagai sebuah produk pastinya fikih akan selalu mengalami perkembangan, baik dari segi penafsiran maupun penyesuaian terhadap zaman. Bukanlah zaman yang melakukan penyesuaian terhadap suatu produk, melainkan produklah yang biasanya melakukan, meskipun kerapkali ada pertimbangan matang namun hal ini adalah sebuah cerminan bahwa produk hukum tidak dapat untuk tidak berubah atau minimal ada terobosan (improvisasi).  

Sebagai suatu pemikiran keagamaan, fikih tentu harus  mengacu pada teks suci meminjam istilah M. Amin Abdullah menghormati kitab suci (hallowing text) karena kitab suci merupakan salah satu rukun (bagian) penting dalam kehidupan beragama. Problemnya tidak terletak pada fikihnya, tetapi pemahaman dan penafsiran yang dilakukan oleh para penafsir tidaklah secara otomatis harus dianggap final, tertutup atau bahkan dianggap suci secara mutlak dan tidak ada perintah untuk diikuti secara rigid. Hal ini dapatlah kiranya dimaknai karena adanya masalah keduniawian yang tidak bisa dihindarkan oleh siapapun di dunia ini.

Pentingnya fikih toleransi yang diwacanakan oleh M. Amin Abdullah ini sesungguhnya dapat di apresiasi demi kemaslahatan (kebaikan) umat manusia khususnya internal umat Islam sesuai doktrin rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam),  tetapi dalam perbincangan mengenai fikih toleransi harus pula melihat  agama ataupun kelompok-kelompok keyakinan diluar yang dianut sebagai suatu “kekayaan” pemikiran dalam beragama [11] . Lebih dari itu, untuk menghindari kemungkinan tentang pengajaran agama yang hanya berorientasi pada agama itu sendiri atau lebih khusus kepada kelompoknya sendiri, karena akibat yang ditimbulkannya adalah tidak sering melihat kelompok lain diluar kelompoknya secara utuh menurut M. Amin Abdullah tidaklah mudah melihat orang lain atau kelompok lain atau bahkan agama lain sebagai sesama manusia (human being), melainkan sebagai kelompok lain (as the others) yang memicu timbulnya permusuhan yang dibumbui oleh emosi keagamaan.

Ketidak samaan, dapatlah dimaknai sebagai gejala yang biasa, wajar dan lumrah serta dapat dimafhumi manakala sebagai sesama manusia mempunyai kesadaran internal untuk dapat melihat ketidaksamaan tersebut sebagai bentuk keadilan terhadap sesama. Artinya bahwa berbeda adalah suatu kebebasan yang dimiliki setiap individu manakala tidak terlepas dari ikatan-ikatan kemanusiaan sehingga tidak bergerak sekehendaknya. Karena apabila mengartikan bebas sebagai sekehendak hampir selalu bertentangan dengan wilayah kelompok lain dan dapat pula membahayakan. Bersedia untuk bernegoisasi dengan diri sendiri juga merupakan catatan serius yang ada baiknya untuk dilakukan terus menerus dalam memahami keberagaman dan seberapa urgent fikih toleransi dalam kehidupan majemuk. 

Sebagai insider, sebenarnya disadari ataupun tidak setiap individu memiliki apa yang disebut sebagai sadar diri, mawas diri dan waspada diri yang melekat dalam  setiap diri manusia. Dengan begitu maka apa yang disebut sebagai berbeda dapatlah dipertanggung jawabkan. Inilah yang lazim disebut sebagai kebebasan beraqidah[12] yang esensinya adalah melakukan tindakan preventif terhadap tekanan-tekanan dari pihak lain. Karena yang paling berhak dari setiap invidu adalah dirinya sendiri, dan diluar itu tidak lebih sebagai pengamat.[13]

Dari sinilah sesungguhnya umat beragama sebaiknya berani mengakui secara jujur lebih-lebih terbuka bahwa persoalan dialog antar umat beragama sampai saat ini belum sepenuhnya tuntas. Kajian keagamaan tentang isu ini apabila menyentuh persoalan hukum fundamental (fikih). Sebaiknya dipahamkan bersama bahwa konteks dialog antar umat beragama adalah bahwa teologi yang pluralis membutuhkan fikih toleransi. Lahirnya mengenai pemikiran fikih toleransi ini otomatis terbuka dan pluralis berpijak kepada landasan  teologi dan paham keimanan yang inklusif serta pluralis.

2. Ijtihad Kontemporer

Kata ijtihad berasal dari bahasa arab ijtihadu yaitu sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapapun yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.[14] Menurut Abd Rauf Muhammad Amin menyatakan bahwa ijtihad adalah pecahan dari kata “juhd” atau “jahd” yang berarti kemampuan dan kesusahan.[15]

Dalam pandangan M. Amin Abdullah ijtihad kontemporer adalah “ijtihad yang mendialogkan antara pemikiran keislaman (klasik, tengah, modern dalam hal fikih, tasauf, kalam) didialogkan dengan sosial scientific (pengetahuan sosial) dan humanitis kontemporer”. Upaya mendialogkan pemikiran keislaman bagi M. Amin Abdullah harus terus menerus dilakukan manakala mengharap hasil yang boleh dikatakan maksimal. Ijtihad kontemporer dimaksudkan untuk menghindarai kejumudan dalam berpikir, lebih-lebih dalam menafsirkan ajaran agama yang sesungguhnya tidak harus selalu dilakukan secara top down (atas-bawah) namun sebaiknya dilakukan botom up (dari bawah ke atas) dalam rangka mengakomodir pemikiran-pemikiran keagamaan yang sifatnya kontemporer. 

Bagi M. Amin Abdullah menafikkan hal tersebut sama saja kurang bisa berlaku jujur. Dan kerapkali kenyataan yang dihadapi tidaklah selalu pas dengan ekspektasi yang dibangun sebelumnya. Single formulasi suatu hukum misalnya, acapkali menjadi kaku apabila diterapkan secara kaku pula. Adanya pemaksaan pada suatu tindakan lebih-lebih ditutupnya pintu penalaran kritis (ijtihad) dalam menyelesaikan atau mencari solusi permasalahan menurut hemat peneliti adalah kurang etis untuk dilakukan. Seolah-olah ada desentralisasi terhadap suatu teks (nash) kitab suci manakala suatu kelompok, kaum atau bahkan seseorang tidak berani “melirik” realitas dan mengambil keputusan tentang realitas tersebut.[16]

Dalam teks sejarah misalnya disebutkan bahwa sesungguhnya ijtihad belum begitu kerap dilakukan, ini terjadi ketika pada masa Nabi. Karena apabila ada masalah langsung ditanyakan kepada yang bersangkutan yang jawabannya juga bisa dengan diturunkannya wahyu. Namun demikian, menghadapi problem-problem kontemporer harus selalu dilakukan dengan penuh keberanian dalam mengambil keputusan yang pas serta dapat dipertanggung jawabkan. Bahkan dalam satu hadis, Nabi mempersilahkan sahabatnya untuk melakukan berpikir kritis (ijtihad). Pasca wafatnya Nabi, ijtihad mulai dipraktikkan oleh para sahabat-sahabatnya seperti Abu Bakar dan Umar Bin Khattab. Abu bakar misalnya memutuskan untuk memerangi umat Islam yang tidak membayar zakat. Atau yang juga dilakukan oleh umar dalam suatu riwayat misalnya;

Diriwayatkan oleh Imam Malik, "Sesungguhnya Ubaidillah bin Amr bin al Hadrami datang membawa seorang budak kepada Umar bin Khottob dan berkata, "Potonglah tangan budakku ini karena dia telah mencuri!" Umar bertanya, "Apakah yang dicurinya?" Ubaid menjawab, "Dia telah mencuri cermin istriku seharga 60 dirham." Kemudian Umar berkata: "Pergilah! tidak ada potong tangan baginya. Budakmu mengambil hartamu."

Dari sini dapatlah diketahui bahwa sebenarnya ijtihad bukanlah sesuatu yang menakutkan lebih-lebih dilarang. Ijtihad yang diartikan sebagai penggunaan nalar kritis mendalami isi dan keluasan Alqur’an dan hadis yang merupakan sumber baku agama untuk berusaha memahami lalu menafsirkannya sesuai dengan tuntutan zaman, maka sah-sah saja untuk dilakukan terlebih bagi para pemikir agama yang memiliki mental mujtahid. Tidak ada salahnya pemikir agama yang bermental tersebut berlomba-lomba untuk mencari solusi yang jitu dalam menghadapi problematika sosial kontemporer. Disamping harus menguasai ilmunya, kemampuan berpikir kritis dan logis menurut M. Amin Abdullah adalah kunci utama dalam melakukan peningkatan terhadap sumber daya manusia (human power). Menurutnya, hampir semua cabang keilmuan Islam dewasa ini mengalami stagnasi dan tidak ada perkembangan berarti. Maka dari itu, dibutuhkan suatu keberanian untuk mencetak generasi mujtahid yang handal dan bertanggung jawab.[17] 

Menurut M. Amin Abdullah akan selalu ada tantangan baru dimasa mendatang yang sudah pasti dihadapi oleh setiap individu, kelompok, agama, maupun lembaga-lembaga agama dan civil society (LSM dan organisasi keagamaan). Oleh karenanya adalah suatu tuntutan mendesak bagi para pemikir agama khususnya untuk ikut ambil bagian dalam  menyelesaikan (minimal mengkaji) suatu permasalahan, lebih-lebih bernuansa keagamaan. Apalah jadinya manakala bencana lumpur lapindo, banjir, abrasi pantai atau persoalan sosial lainnya; kemiskinan, kebodohan, narkoba, HIV dan AIDS hanya dianggap sebagai takdir Tuhan yang harus diterima. Kenyataan miris, manakala konflik-konflik yang bernuansa keagamaan juga dianggap sebagai ketetapan Tuhan, yang ada hanyalah kehancuran dan ketiadaan harmoni. Lebih jauh sebenarnya ketiadaan ijtihad kontemporer merupakan bentuk kejumudan dalam berpikir dan hanya mengandalkan romantisme masa lalu yang pastinya tidak mudah untuk bisa berulang kembali.

Dalam pandangan M. Amin Abdullah meskipun selama ini ada ijtihad barulah sekedar pada wilayah-wilayah hukum-hukum fikih atau hukum agama, namun masih jarang yang menyangkut persoalan-persoalan sosial kemanusiaan pada umumnya. Bahkan menurut M. Amin Abdullah produk ijtihad yang ada lebih terkesan bersifat “reaktif” dan hanya berfungsi “legititatif” dengan cara memberi label dalil-dalil agama terhadap realitas yang telah terjadi. Dan kerap belum memberikan solusi nyata melainkan menimbulkan persoalan baru karena kemunculan ijtihad tersebut kurang dapat memperhatikan efek terhadap masyarakat. Menurut M. Amin Abdullah bahwa suatu produk hukum lebih-lebih yang ada kaitannya dengan persoalan agama maka akan menjadi lebih arif manakala mampu melihat efek dan dampaknya ketika memberikan fatwa atau diputuskan.[18] 

Ijtihad[19] merupakan respon terhadap konteks zaman. Ijtihad juga difungsikan untuk membiasakan untuk dapat berpikir kritis dan bertanggung jawab, baik sebagai individu maupun jama’i (kelompok). Karena apa yang disebut sebagai kebenaran meminjam istilah Hegel adalah hakikat yang muncul dari kesadaran dan bahwa alam indrawi muncul secara hakiki dari kekuatan luar biasa yang transendental (maha tinggi) yaitu yang dikenal dengan sebutan Tuhan. Oleh karenanya persoalan ijtihad bukanlah persoalan semata agama yang harus diikuti secara kaku. Namun lebih dari itu sesungguhnya agama dituntut untuk dapat  memberikan bukti yang lazim dan cukup kepada manusia sehingga manusia dapat meyakininya sampai pada derajat yang meyakinkan dan sempurna, sebagaimana manusia meyakini kebenaran eksperimen yang kerap diujikan untuk problem ilmiah atau permasalahan yang dapat dirasakan panca indera secara langsung tanpa melalui perantara.[20]

3. Optimalisasi (peran) Pendidikan Multikulturalisme

Multikulturalisme[21] sebagai kondisi beraneka ragamnya kebudayaan di negeri yang majemuk ini seakan menempati posisi yang signifikan manakala dikaitkan dengan terma kearifan lokal (local wisdom). Akan selalu ada pemaknaan dan persepektif yang tidak sama dalam setiap kejadian sebagai konsekuensi bangsa multikultur. Menurut Parsudi Suparlan sebagaimana dikutip oleh Agus Riva’i menyatakan bahwa akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Oleh karenanya perbincangan mengenai multikulturalisme dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan  suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Uraian dan pembahasan mengenai perbincangan-perbincangan yang berkaitan dengan isu-isu multikulturalisme sudah selayaknyalah juga akan akan mengulas beberapa hal yang mendukung dengan ide multikultural.[22]

Perbincangan mengenai multikulturalisme maka di dalamnya terdapat interaksi, toleransi, dan bahkan integrasi-desintegrasi. Dengan kalimat lain, bahwa sesungguhnya  multibudaya[23]   merupakan fakta yang sebaiknya diterima dan tidak perlu dipertentangkan oleh pihak manapun. Karena apabila hal ini terjadi, biasanya muncul justifiksasi dan penghakiman. Multi budaya menjadi semakin bermakna manakala dapat diolah secara positif demi berkembangnya suatu kebudayaan. Konsep masyarakat multi budaya diperkenalkan untuk membedakan dengan pengertian masyarakat mono kultur (mono budaya). Sedangkan yang disebut sebagai masyarakat mono kultur adalah masyarakat  archais (asli) atau etnis yang semua anggotanya begitu baik tanpa pengecualian terikat secara paksa berdasarkan nilai-nilai yang dominan dan kuat dalam struktur masyarakatnya. Sedangkan masyarakat multi budaya adalah masyarakat yang terdiri atas etnis dan kebudayaan yang beranekaragam namun hidup berdampingan. Kehidupan komunitas  mereka tidak diatur oleh sistem budaya tunggal dan tertutup, melainkan terdiri atas sistem nilai yang beragam. Postulat terbentuknya masyarakat multi kultural tidak terlepas dari migrasi penduduk baru secara besar-besaran.[24]

Melihat kenyataan bangsa Indonesia yang begitu majemuk, sangatlah tidak mungkin untuk menafikkan hal ini. Sebagai suatu paham yang bergerak untuk memahami dan menerima segenap ketidaksamaan yang pasti ada dalam setiap individu dan kelompok manusia, maka pendidikan multikultur ini sudah selayaknya dikemas dalam ranah pendidikan kebangsaan yang pas. Karena, apabila hal ini tidak dilakukan akan memiliki potensi konflik dan resiko yang dibayar akan sangat mahl. Karena persoalan  multikulturalisme ini bukan hanya merambah pada persoalan prinsip keberagaman namun yang lebih luas adalah dapat merambah pada ranah perbedaan wilayah geografis, etnis, bahasa, agama, keyakinan dan perbedaan pola pikir maupun perbedaan secara kemampuan (diffable)- baik secara fisik maupun psikis. Typical values (nilai-nilai khas) yang hanya terdapat pada masing-masing agama menurut M. Amin Abdullah harus mampu dibedakan oleh setiap pemeluk agama. Munculnya istilah nilai partikular dan universal sesungguhnya mempunyai maksud yang baik. Nilai partikular adalah nilai yang hanya dimiliki setiap agama sedangkan nilai universal ini adalah nilai-nilai umum yang dipercaya oleh semua agama.

Dalam pandangan M. Amin Abdullah wacana multikulturalisme sebenarnya tidaklah berpretensi untuk menghilangkan nilai-nilai partikular dalam setiap agama karena upaya tersebut merupakan hal yang imposible (tidak mungkin). Walhasil, bahwa dua nilai ini yang sejatinya dimiliki oleh setiap agama bukan bermaksud untuk menghilangkan namun berusaha untuk disinergikan menggunakan “pisau” analisa perspektif nilai multikutural yang pada akhirnya akan melahirkan kearifan lokal agama-agama dalam memandang atau yang lebih luas dalam memutuskan suatu perkara. Karena dalam kenyataan dan praktiknya menurut M. Amin Abdullah bahwa perbedaan tidak hanya dialami pada tataran kehidupan antar umat beragama namun juga terdapat dalam masing-masing agama.[25]

Tampak jelas disini bahwa sesungguhnya wacana mengenai multikulturalisme berusaha untuk menempatkan setiap nilai yang diyakini setiap penganut agama pada tempat yang pas sesuai dengan ukurannya meminjam istilah M. Amin Abdullah exclusive locus. Artinya hanya diperuntukkan bagi komunitas yang meyakini nilai-nilai partikular tersebut. Sedangkan bagi kelompok masyarakat yang berada diluar nilai tersebut maka yang diberlakukan adalah nilai-nilai yang sifatnya universal yang berupa keadilan, kesetaraan, kejujuran, kemanusiaan dan bahkan berbuat baik kepada sesama tanpa memandang dari masa asal kelompoknya sebagai bentuk penghormatan terhadap sesama manusia atas nama kerukunan.

Menurut M. Amin Abdullah bahwa multikultural adalah saling menghormati keberadaan orang lain, atau lebih tegasnya memberi “ruang” kepada orang yang tidak sama baik secara individu, agama maupun kelompok. Menurutnya memberi ruang kepada orang lain yang tidak sama dengan diri sendiri bukanlah hal mudah yang dapat segera dilakukan. Selain karena ada ego individu juga karena ada ego sektoral yang kerap muncul ketika berhadapan atau berjumpa dengan kelompok “lain” baik yang sesama agama maupun kelompok diluar agama yang dianut. Meskipun tidak mudah, memberi ruang kepada orang lain harus tetap dilakukan dengan catatan non konfliktual koeksisten. Artinya bahwa semua orang, agama, kelompok boleh saling berdampingan, dengan catatan dilarang melakukan aksi-aksi atau tindakan-tindakan yang memicu konflik “berdarah”, baik hal itu menyangkut agama, kultur dan keberagaman harus berdampingan.[26]

Menurut M. Amin Abdullah ada problem serius bahkan telah mengakar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Secara de facto de jure ada kelompok yang tidak sama namun kerap belum diberi ruang oleh kelompok yang jumlah mayoritasnya lebih besar. Munculnya hal tersebut dalam pengamatan M. Amin Abdullah karena ada problem insider dan outsider dalam beragama.

Komentar M. Amin Abdullah mengenai hal ini adalah: “Ketika kita sebagai insider maka kecenderungan “K” besar tinggi supaya untuk tidak terjebak pada K besar yang berlebihan maka harus mendengar outsider. Outsider pasti bukan rekan seagama, bukan selevel pendidikan, atau sama jenis kelaminnya. Maka hubungan in dan outsider seperti dua keping mata uang yang bersebelahan. Insider perlu outsider. Menurut saya letaknya bill in. Dalam artian saya harus mendengar orang lain. Outsider saya betulkan. Oleh karena itu dialog yang membicarakan agama di Indonesia belum memahami insider dan outsider karena hubungannya antagonistik. Dengan kesadaran penuh bahwa insider sifatnya beragam outsider pun demikian. Jadi insider dan out sider tidak untuk dihadap-hadapkan melainkan satu kesatuan layaknya suatu anyamanberkait kelindang dan terkait teranyam”.[27]

Jalan tengah untuk untuk bangsa yang multi budaya seperti Indonesia menurut M. Amin Abdullah minimal ada tiga tema yang perlu diperhatikan. Ketuhanan adalah tema pertama yang mencakup konsep dasar agama-agama (besar) dunia dalam mengkonseptualisasikan dan menguraikan ide ketuhanan. Dalam pandangannya secara umum mencakup lima wilayah bahasan pokok dalam studi agama; (1) Public knowledge (pengetahuan secara umum) atau Simple understanding (pemahaman yang sederhana) yang terangkum dalam kepercayaan, ajaran sistematis, aqidah dan kredo (2) Comprehended knowledge (theology/kalam) (3) Practiced knowledge (ritual, fikih) (4) Exoteric knowledge (mysticism, tasawuf) (5) Transcendental knowledge (filsafat).

Tema kedua adalah kealaman terkait erat dengan bagaimana agama-agama besar dunia memandang alam semesta dalam hubungannya dengan ide ketuhanan mereka. Munculnya ilmu pengetahuan sebagai kreasi budaya manusia paling spektakuler dalam karir menjalani kehidupan di dunia merupakan hal yang tak terpisahkan dari diskusi keagamaan kontemporer. Isu hubungan “agama” dan “Ilmu Pengetahuan” merupakan hal pokok yang tak terpisahkan dalam dunia pendidikan khususnya di perguruan tinggi.

Sedangkan tema ketiga adalah kemanusiaan. Pencarian dan penjelasan mengenai makna kesejajaran dan kesetaraan dalam penciptaan (equal in creation) dapat dipahami oleh manusia beragama yang telah terlanjur tersekat-sekat dengan identitas teologis, etnis, ras, kelompok, gender dan kepentingan praktis. Menurut M. Amin Abdullah dengan jalan mempopulerkan kembali tema kemanusiaan dengan cara yang lebih elegan maka dimungkinkan akan diperoleh istilah M. Amin Abdullah common goal dan dapat dicapai kembali kesepakatan dalam mengeksplorasi samudera kehidupan dunia  yang diduga telah disekat-sekat. Menurut M. Amin Abdullah kebergaman perlu diperkenalkan. Jika tidak diperkenalkan, maka keberagamaan akan menjadi “tertutup”, “eksklusif”, menggenang dan “tidak mengalir”. Air yang mengalir akan menjamin kebersihan dan kejernihannya (otentisitas) nya. Sedang air yang menggenang lama kelamaan akan “berbau” tidak segar dan keruh. Begitu pula kehidupan beragama dalam menghadapi berbagai tantangan kontemporer, era derasnya teknologi informasi yang menembus ke relung-relung paling dalam kehidupan umat manusia dimanapun mereka berada.[28]

 

 

  1. Pembedaan Agama dan Pemikiran Keagamaan

Agama sebagai suatu paket dari Tuhan tidaklah dapat diutak-atik sampai kapanpun. Sebagai manusia yang beragama hal ini biasanya akan diterima sebagai bentuk ketaatan terhadap kepenganutan suatu agama meminjam bahasa M. Amin Abdullah adalah segenap doktrin, namun disisi lain pemikiran keagamaan sebagai hasil dari olah logika manusia menurut M. Amin Abdullah pada dasarnya memiliki kebenaran nisbi (dhanny), artinya bahwa bahwa pergulatan manusia tentang pemikiran keagamaan akan selalu berlangsung terus dan mengalami dinamika.

Walhasil, apa yang disebut sebagai perbedaan pandangan, perspektif atau bahkan pemikiran merupakan suatu konsekuensi logis terhadap beragamnya logika manusia yang tidak akan bisa dibendung.  Oleh karenanya haruslah sangat jeli dan dituntut harus bisa membedakan mana yang harus dipertahankan secara mati-matian dan mana yang perlu dipertimbangkan ulang sebagai suatu praktik pada ruang tertentu. Begitu setidaknya yang disampaikan M. Amin Abdullah.[29] 

Kerapkali umat beragama “menuduh” terhadap invidu maupun kelompok keagamaan yang memiliki pandangan yang tidak sama terhadap sesuatu. Na’asnya adalah perbedaan dalam pemikiran agama dianggap sebagai perbedaan dalam agama. Oleh karenanya menurut M. Amin Abdullah dibutuhkan semacam tool kit untuk dapat mengkombinasikan dalam melakukan pendekatan antara agama dan pemikiran. Pendekatan yang dimaksud adalah antara hadlâratun-nash (peradaban teks) dan hadlâratul-`ilm (peradaban pengetahuan). Bagian hadlâratul-`ilm ini terkait dengan persoalan tafkîr, seperti pendekatan sosiologis, antropologis, dan lain sebagainya. Kemudian ditambah lagi dengan kombinasi hadlâratul-falsafah (peradaban falsafah). Yang dimaksud hadlâratul-falsafah di sini adalah akhlak baru yang membebaskan. Jadi kombinasi dari tiga ramuan ini dalam pandangan M. Amin Abdullah dapat menyegarkan kembali mengenai pemikiran keagamaan. Akhirnya pentingnya penyegaran dalam pemikiran keagamaan ini tiada lain untuk menghindarai kejumudan alam berfikir. Dengan begitu sekat-sekat dalam kepengetahuan dalam agama dapatlah kiranya diminimalisir.

Berangkat dari persoalan tersebut di atas maka M. Amin Abdullah mebcoba mengenalkan jargon paradigma integratif-interkonektif yang disinyalir sebagai solusi alternatif untuk mengatasi kesulitan membedakan antara agama dan pemikiran agama. Integrasi dan interkoneksi antar berbagai disiplin ilmu, dipandang M. Amin Abdullah akan menjadikan keduanya saling terkait satu sama lain, artinya antara disiplin ilmu diharapkan “bertegur sapa”, saling mengisi kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Dengan demikian maka ilmu agama (baca ilmu keislaman) tidak lagi hanya berkutat pada teks-teks klasik tetapi juga menyentuh pada ilmu-ilmu sosial kontemporer, maka tiga wilayah pokok dalam ilmu pengetahuan, yakni natural sciences, sosial sciences dan humanities dimungkinkan tidak lagi berdiri sendiri[30]. Ketiganya boleh jadi semakin cair (bukan melebur) meskipun belum pasti akan mempersatukan ketiganya, namun paling tidak persoalan superioritas dan inferioritas dalam keilmuan dapat diendapkan, muncul embrio kesetaraan dalam beragama, semakin humanis dan pada akhirnya mampu meminimalisir klaim kebenaran ilmu pengetahuan sehingga dengan paradigma ini para ilmuwan yang menekuni keilmuan ini juga akan mempunya sikap dan cara berfikir yang berbeda dari sebelumnya.[31]

Dalam salah satu buku berjudul Islam menjawab Pluralisme, disebutkan  bahwa menurut M. Amin Abdullah semua agama pasti berbeda, yaitu dalam doktrinnya, institusinya, kelembagaannya, pemimpinnya, jenis umatnya, hari besarnya, ruang, tempat waktu yang dianggap suci oleh pengikutnya dan begitu seterusnya. Tetapi dalam perbedaaan itu terdapat commonalities (kesamaan), common pattern (pola umum) yang tidak terekspresikan keluar. Artinya dalam masing-masing agama ada unsur-unsur kesamaannya, misalnya humanitasnya, rasa kemanusiaan, keadilan, kpritahinan terhadap lingkungan yang buruk, menolong orang-orang yang terpinggirkan, seperti orang miskin wanita anak-anak dan orang tua. Menurutnya, unsur-unsur kesamaan tersebut bukanlah hal yang relatif, tetapi justru absolut. Absolut ide dasarnya, tetapi raelatif dalam pelaksanaan dan implementasinya.[32] Apa yang dijelaskan di atas, boleh menjadi pengantar untuk melihat agama (secara umum) dalam pemikiran M. Amin Abdullah.

Pedoman pemikiran keagamaan Islam salah satunya merujuk pada tipologi Peter L Berger atas pemahaman agama sebagai sebuah legitimasi nilai atas kehadiran Tuhan, sebagaimana yang terdapat dalam bukunya Peter L Berger yang berjudul The Secret Canopy. Berger menyebut pemahaman manusia atas kehadiran Tuhan di semesta ini sebagai aturan yang menyelimuti segenap pemikiran manusia, baik kebudayaan hingga peradaban umat manusia dari situasi ketidakbermaknaan (meaninglesss), kekacauan (chaos) dan keputusasaan (hopeless).[33]

Pencapaian tujuan hadirnya Tuhan  dalam seperangkat mekanisme aturan yang dikenal sebagai agama ini, selanjutnya melahirkan warna baru sebagai bagian dari wacana keagamaan yang dibahas dan diperbincangkan, sebagai sebuah diskursus dalam pemikiran manusia yang beragama. Jika Joachim Wach menyebutkan tiga hal yang berkaitan dengan kesadaran manusia atas agama, antara lain ide (thought), tindakan (action), dan fellowship, persekutuan, persyerikatan (organisation)[34] maka Amin Adullah bergerak seutuhnya pada wilayah ide, atau pemikiran keagamaan.

Dalam menatap agama, pendekatan sosial keagamaan digunakan melalui pendekatan historis, sosiologis, antropologis dan lain sebagainya, yang bagi kelompok pertama dianggap reduksionis. Kedua pendekatan ini bagi M. Amin Abdullah merupakan hubungan yang seharusnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua jenis pendekatan ini – pendekatan yang bersifat teologis-normatif dan pendekatan yang bersifat historis-empiris ini sangat diperlukan dalam melihat keberagamaan masyarakat pluralistik. Kedua pendekatan ini akan saling mengoreksi, menegur dan memperbaiki kekurangan yang ada pada kedua pendekatan tersebut. Karena pada dasarnya pendekatan apapun yang digunakan dalam studi agama tidak akan mampu menyelesaikan persoalan kemanusiaan secara sempurna. Pendekatan teologis-normatif saja akan menghantarkan masyarakat pada keterkungkungan berfikir sehingga akan muncul truth claim sehingga melalaui pendekatan histories-empiris akan terlihat seberapa jauh aspek-aspek eksternal seperti aspek sosial, politik dan ekonomi yang ikut bercampur dalam praktek-praktek ajaran teologis.[35]

Pentingnya memahami letak perbedaan antara agama dan pemikiran keagamaan menjadi landasan utama dalam melangkah dalam memahami lebih lanjut bagaimana dinamika pemikiran M. Amin Abdullah. Ruang gerak ide-ide M. Amin Abdullah pada dasarnya berada di sekitar pemikiran atau wacana keagamaan, khususnya Islam. Dalam pergerakan pemikiran keagamaannya, seringkali melahirkan pandangan miring dari sekian banyak akademisi dan para ahli ilmu kalam dalam Islam. Dari sekian warna-warni pandangan yang sering diperolehnya hingga mewujud pada tuduhan-tuduhan yang menyebutkan bahwa M. Amin Abdullah adalah akademisi muslim yang menganut paham liberal. 

Dengan demikian, agama dalam pandangan M. Amin Abdullah terletak pada lingkaran teologis yang hanya untuk agama itu sendiri, sedangkan perkembangan dari kehadiran agama di tengah-tengah manusia melahirkan wacana keagamaan yang bersumber dari tiap-tiap manusia beragama dalam bentuk ide-ide atau pemikiran.

Dalam suatu kesempatan wawancara dengan Ulil Abshar Abdala, M. Amin Abdullah berpendapat: Agama tidak boleh dikritik, tapi pemikiran keagamaan sah untuk dikritik. Kedua hal itu harus dibedakan. Kalau dalam dunia akademik yang agak kompleks, keduanya harus dibeda-bedakan. Jadi, antara al-dîn (agama) dan al-afkâr al-dîniyyah (pemikiran keagamaan) itu berbeda. Ketika Anda menyebut firman Tuhan, mungkin itu masuk wilayah al-dîn yang absolut, mutlak, tidak boleh diganggu gugat, qath’iy (pasti), dan bagian dari al-tsawâbit (yang tetap). Tapi ketika rumusan-rumusan keagamaan itu disusun oleh ulama, cerdik cendekia, atau organisasi sosial keagamaan manapun, maka secara otomatis itu masuk kategorial-intâj al-tsaqâfî (produk kebudayaan) tadi. Pemikiran keagamaan selalu qâbil li al-niqâsy wa al-taghyîr; bisa dicermati ulang, dipertanyakan, dan jangan-jangan tidak cocok dengan yang diinginkan agama itu sendiri. Jadi itu bagian dari pemikiran keagaman yang kadang susah dibedakan dengan agama itu sendiri.[36]

Telaah Terhadap Pemikiran M. Amin Abdullah

M. Amin Abdullah sebagai seorang intelektual yang kerap mempromosikan perlunya ijtihad kontemporer telah sedikit banyak memberikan warna dalam ruang dialektika dan diskursus keislaman khususnya di Indonesia. Meski begitu, tidak semua sarjana sependapat dengan gagasan dan pemikiran M. Amin Abdullah. Satu diantaranya Adalah Akhmad Arifin Al Djawi terang-terangan tidak sependapat dengan M. Amin Abdullah.

Menurutnya ada kesan kuat "usaha penundukan" corak berfikir yang sangat beragam (pluralitas) dalam tulisan-tulisannya. Seharusnya dengan gaya berfikir pluralis-historistik dihindarkan sikap menegatifkan corak berfikir yang lain dan menganggap corak pemikirannya yang harus diikuti dan diterapkan dalam sistem pendidikan, sehingga ada inkonsistensi antara gaya berfikir yang inklusif yang dicirikan sebagai dialogis dan menghargai menjadi corak yang menundukkan gaya berfikir tekstualis-sakralis.

Akhmad Arifin menduga bahwa dalam karyanya M. Amin Abdullah terkesan ada usaha perlunya menjadikan Islam sebagai obyek penelitian historis. Dalam konteks ini maka gaya berfikir M. Amin Abdullah akan menggoyang tatanan kesakralan yang merupakan suatu yang inhern dalam berfikir "agamis". Adakah agama[37] yang tidak mempunyai sikap sakral dalam pengalaman beragamanya, termasuk komunisme yang merupakan psedo-agama?[38]

Selain Akhmad Arifin, adalah Adian Husaini yang secara terbuka menyatakan bahwa M. Amin Abdullah adalah seorang Islam yang ragu-ragu. Dalam pandangannya M. Amin Abdullah termasuk dalam golbin (golongan bingung) dikarenakan dengan komitmen dan kegigihannya dalam mempromosikan hermeneutika sebagai metode “tafsir baru” pengganti metode tafsir al-Quran yang klasik, tampak dalam  berbagai tulisannya tentang hermeneutika. Lebih jauh Andi mengungkapkan bahwa M. Amin Abdullah hanyalah seorang seorang “pengecam” tafsir-tafsir klasik tanpa ada data dan analisa yang memadai dan apabila didalami pemikiran-pemikiran M. Amin Abdullah mengandung kekeliruan mendasar dalam cara berpikir, karena dianggap menggunakan metodologi “gebyah uyah” (serampangan) dalam menyamakan antara tradisi keilmuan Islam dengan tradisi keilmuan Barat.

Menurut Adian Husaini, bahwa sesungguhnya di dalam Islam ada tradisi penyatuan antara ilmu dengan amal. Ada konsep fasiq dimana seorang yang –meskipun berilmu tinggi– tetapi berbuat jahat, dapat terkena ketegori fasiq dan karena itu periwayatan dan beritanya perlu diklarifikasi. Jika dia fasiq maka sebagian ulama melarangnya menjadi saksi di dalam pernikahan atau pengadilan. Menurutnya, di dalam ilmu hadis, ada ilmu Jarah wa Ta’dil, yang secara terbuka membeberkan sifat-sifat buruk perawi hadits, seperti pembohong, dan sebagainya. Karena itu di dalam tradisi  keilmuan keislaman menurut Adian umat islam yang bersedia belajar akan menjumpai ilmuwan-ilmuwan yang sangat tinggi ilmunya, sekaligus juga sangat shalih dalam beragama. Adian Husaini mencontohkan hal yang dimaksud terdapat pada Imam-imam mazhab, Imam Bukhari, Imam al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan sebagainya. Mereka bukan hanya ilmuwan, tetapi juga mujahid dan ahli ibadah.[39]

Dalam konteks ini peneliti tidak sepenuhnya sepakat dengan pendapat Adian Husaini yang menyatakan bahwa M. Amin Abdullah sebagai ilmuwan yang menerapkan metode gebyah uyah lebih-lebih sudah memasuki tataran hujatan kepada seseorang yang menurut peneliti termasuk dalam ranah “pembunuhan karakter”. Sebagai pemikir keislaman kontemporer sangatlah wajar manakala M. Amin Abdullah kerap melontarkan gagasan dan ide yang tidak biasa dan tidak jarang mengundang kegelisahan orang atau bahkan kelompok lain. Peneliti sedikit mengkhawatirkan pendapat Adian yang cenderung “mengolok-olok” pihak lain. Dengan tindakannya tersebut sangat tidak mudah menyebut bahwa sosok Adian adalah orang yang open minded. Padahal ada salah satu syair lagu yang popular dinyatakan open mind for different view and nothing else the matters[40].

Pemikiran Adian Husaini yang merupakan mantan salah satu pengurus
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) bahkan anggota MUI komisi kerukunan disebut Ruzbihan sebagai orang yang kerap curiga dan menebar kebencian terhadap pihak lain[41]. Perlu penegasan kembali bahwa sesungguhya M. Amin Abdullah adalah sosok pemikir keislaman kontemporer yang mencoba menghadirkan ide pemikirannya dengan menawarkan gagasan paradigma keilmuan interkoneksitas. Paradigma ini menegaskan bahwa bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri to be single entity. Akan tetapi kerjasama, saling regur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling berhubungan antar disiplin keilmuan akan lebih dapat membantu manusia dalam memahami kompleksitas persoalan kehidupan dan sekaligus upaya pemecahannya.[42]

Dapat diperhatikan bahwa posisi M. Amin Abdullah adalah mencoba mendialektika secara timbal balik antara pola pikir absolutely-absolut dan absolute-relative, yakni bersikap militan terhadap keyakinan yang dimiliki tetapi tidak menutup diri dari kritik dan kajian terbaru tentang keberagamaan sepanjang tidak tercerabut dari ruh al-Quran dan al-Sunnah. Bukankah ini gagasan brilian? Karena menurut M. Amin Abdullah sebagaimana disampaikan Husain Isnawan[43] bahwa M. Amin Abdullah membagi pola pikir keagamaan menjadi tiga bagian, yaitu: 1) pola pikir keagamaan Islam yang absolutely-absolute (bersifat taqdis al-afkar, truth claim, ta’abbudi, qat’iyyat, kaku, rigid, bercorak idealistik, serta tidak kenal kompromi, consensus dan negosiasi); 2) pola pikir keagamaan Islam yang absolute-relative (perilaku agama adalah perilaku sosial, agama adalah tradisi dan tradisi adalah agama, tidak mengenal dimensi rohaniah-esoterik dan bersifat reduksionistik, sekuler, dehumanis, nihilism, serta ta’aqquly dan zhanniyat permanen); 3) pola pikir keagamaan Islam yang relative-absolute (ta’aqquli sekaligus ta’abbudi, perpaduan qat’iyyat dan dzanniyat, tasamuh, mementingkan dialog antar umat/keimanan beragama, tidak mendangkalkan akidah serta tidak memandang rendah tradisi dan budaya yang dimiliki orang lain. Begitulah setidaknya sebagaimana dikutip oleh Husain Isnawan.[44] Oleh karena itu tuduhan dan hujatan Adian menjadi ambigu dan kurang pas.

Menurut hemat peneliti, kejadian yang agak fenomenal adalah ketika M. Amin Abdullah dianggap sebagai penyebar virus liberalisme dalam tubuh organisasi Muhammadiyah yang membesarkan namanya seperti sekarang. M. Amin Abdullah dituduh menyebarkan ideologi Muhammadiyah liberal yang pada waktu itu M. Amin Abdullah dianggap mendapat restu dari Amin Rais sewaktu menjabat sebagai ketua umum pada muktamar Aceh 1995 dan M. Amin Abdullah ditetapkan sebagai Ketua Majelis Tarjih, yang sejak saat itu lembaga ini diperlebar sayapnya menjadi “Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam” dan sempat diplesetkan menjadi “Ideologi ”Muhammadiyah liberal”. Kejayaan “Muhammadiyah liberal” dianggap makin terang benderang di bawah kepemimpinan Syafi’i Ma’arif.[45]

Selanjutnya dalam sebuah blog di internet penulis menemukan laman yang mengatas namakan diri sebagai mujahid (pejuang) secara terang-terangan mengutuk M. Amin Abdullah sebagai orang yang ingkar[46] terhadap ilmu, berawal dari pendapat M. Amin Abdullah mengenai tafsir klasik Al-qur’an “Tafsir-tafsir klasik Al-Quran tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat.” Menurut blog tersebut Amin telah sah dan meyakinkan menafikan makna dan fungsi tafsir-tafsir klasik Al-Qur’an dan membabat serta membatasi kajian terhadap Al-Qur’an itu.[47]

Perhatikan pula dalam salah satu wawancara Ulil Abshar Abdalla dengan M. Amin Abdullah yang dimuat dalam artikel islamlib.com, terkait dengan pendekatan historis terhadap Al Qur’an. Ulil dalam wawancaranya, terkait peran Al-Qur’an dalam mengubah peradaban, mengajukan pertanyaan hubungan Al Qur’an dengan sejarah yang dikaitkan dengan konteks sosial. M. Amin Abdullah menjawab: Dalam ilmu Alquran klasik, kita mengenal istilah asbâbunnuzûl (konteks atau sebab-sebab turun ayat Alquran, Red). Sebab-sebab turunnya ayat, menurut pendekatan historis kontemporer jelas sekali terkait dengan isu-isu yang berkembang dalam masyarakat. Jadi sebetulnya Alquran memang tidak bisa terlepas dari kesejarahan, dari aspek historisitas atau târîkhiyyah-nya. Jika kita lihat kasus Umi Maktum, misalnya, tampak jelas bahwa ada dimensi historisitas dalam Alquran.[48]

Dari penjelasan M. Amin Abdullah di atas, menurut hemat peneliti tampak jelas bagaimana pemikiran M. Amin Abdullah dapat dikatakan mendapat pengaruh kuat dari metode historisisme dalam mengkaji Al Qur’an, yang selanjutnya terakumulasi dalam berbagai ide-ide dan pemikirannya dalam menjawab atau melihat segala persoalan yang berhubungan dengan ke-Islaman. 

Henri Shalehuddin dalam bukunya menulis bahwa dalam menerapkan teori historitas Al Qur’an, ternyata M. Amin Abdullah lebih vulgar dibanding sang pemiliki gagasan. Jika Abu Zayd – dengan segala kesadaran konsekwensi dan pertimbangan ilmiah - tidak memasukkan konsep asbab al nuzul dalam teorinya tentang historisitas Al Qur’an, seperti ditulisnya sebagai berikut; sesungguhnya yang kita maksud dengan hal tersebut, bukanlah realitas sejarah yang terdapat dalam wacana keagamaan itu sendiri, seperti yang berkaitan dengan turunnya teks secara sesuai dengan kondisi saat itu (asbab al nuzul). Namun Henri Shalehuddin melihat, M. Amin Abdullah justru dengan gegabah mengidentifikasikan teori historistas Al Qur’an dengan asbab al nuzul. [49]

Kiranya perlu diperhatikan bahwa kuatnya pengaruh Abu Zayd dalam pemikiran M. Amin Abdullah terletak pada metode historisitas, meski demikian tidak dengan serta merta memiliki kesamaan dalam perkembangan khususnya dalam tinjauan historis dalam kajian Al Qur’an. Pembelaan yang dilakukan atas pendapat yang menyatakan bahwa Abu Zayd sebagai seorang yang murtad, terletak pada pemikiran keagamaan Abu Zayd, yang mengandung unsur-unsur metodologis. Dengan demikian tidak lantas menjadikan pemikiran M. Amin Abdullah mengadopsi konsep Abu Zayd.

Oleh karenanya dalam hal ini sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa perlunya melakukan pembedaan antara agama dalam pengertiannya yang khusus dengan pemikiran keagamaan yang mengandung beragamnya motif, baik yang sifatnya filsafat, sosiologi, hingga historis dapatlah dipahami bahwa kekuatan para akademisi pada dasarnya terletak pada bagaimana mereka menyebutkan garis tegas antara agama dan wacana keagamaan yang bersifat dinamis.

Mohammed Arkoun menyebutkan bahwa pendekatan historitas, sekalipun berasal dari barat, namun pendekatan tersebut bukan hanya sesuai untuk warisan budaya barat saja. Bagi Arkoun, pendekatan tersebut dapat diterapkan dalam semua sejarah umat manusia. Menurutnya, tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu kecuali menghubungkannya dengan konteks historis.

Mohammad Arkoun  menyadari jika pendekatan historisitas akan menantang segala bentuk penafsiran dan penafsiran transenden yang dibuang teolog tradisional. Dalam pandangan Mohammed Arkoun, sekalipun muslim ortodoks menganggap pendekatan tersebut sebagai tak terpikirkan, namun ia justru percaya jika pendekatan tersebut akan memberikan akibat baik terhadap Al Qur’an.[50]

Selain masalah historisitas, persoalan yang paling istimewa khususnya dalam mengkaji al-Qur’an adalah pada metode heurmeneutika yang ditawarkan oleh M. Amin Abdullah dalam merancang pemikiran ke-Islamannya. Baginya metode heurmeneutika yang dulunya mernjadi metode yang digagas di Jerman untuk menata pemahamn atas Bibel, sah-sah saja untuk menjadi semacam spirit dalam memandang-menggambarkan isi teks al-Qur’an. Metode heurmeneutika yang digunakannya merupakan bagian dari pengembangan pemikiran keagamaan yang memandang Islam tidak hanya pada satu sisi, melainkan turut serta menggunakan metode lainnya. Dalam hal ini, ta’wil merupakan metode untuk menggali lebih mendalam berkaitan dengan interpretasi makna Al Qur’an.

Menurutnya, interpretasi metaforis atau yang sering disebut dengan ta’wil ialah pemahaman, pemaknaan dan interpretasi atas fakta-fakta tekstual dari sumber-sumber suci (Al Qur’an dan Sunnah). Sedemikian rupa, sehingga yang diperlihatkan bukanlah makna lahiriyah kata kata pada teks sumber suci itu, tapi pada “makna dalam” (bathin, inward meaning) yang mencakup penjelasan makna umum maupun, khusus atau istilah teknis yang menunjukkan pada penjelasan alegories dan metaforis. Karenanya ta’wil atau tafsir bi al-ra’y (tafsir rasional) sering dipandang negatif karena tidak mendasarkan pada fakta-fakta historis dan kebahasan yang terkandung dalam teks. Kata ta’wil muncul dalam Al Qur’an sebanyak 17 kali. Ini menunjukkan bahwa kata ta’wil lebih populer dalam bahasa pada umumnya, dan dalam teks khususnya, dari pada kata tafsir.[51]

Perlu menyimak komentar M. Amin Abdullah dalam pengantar sebuah buku Hermeneutika Al Qur’an: Tema-tema Kontrofersial karya Fakhruddin Faiz bahwa: Dengan sangat intensif hermenutika mencoba membongkar kenyataan bahwa siapapun orangnya, kelompok apapun namanya, kalau masih pada level manusia, pastilah ‘terbatas’, “parsial kontekstual” pemahamannya, serta “bisa saja keliru. “Hal ini tentu bersebarangan dengan keinginan egois hampir semua orang untuk “selalu benar”.[52]

Perlu diuraikan kembali, bahwa sesungguhnya M. Amin Abdullah menurut hemat peneliti membagi pemikirannya dalam beberapa bagian; Pertama, dalam pemikiran keagamaan seperti diuraikan di atas. Kedua, pemikiran dalam pengembangan bidang akademik. Dalam konteks ini kajian M. Amin Abdullah lebih tertarik pada gagasan mengenai Islamic Studies di perguruan tinggi, M. Amin Abdullah mengembangkan yang popular dengan istilah Teori Jaring Laba-Laba (Spider Theory/Thariqah al-‘Ankabut). Teori jaring laba-laba ini merupakan produk dialektika antara normativitas dan historisitas yang dirumuskannya. Namun secara konsepsional dalam teori ini dapat dilihat bahwa M. Amin Abdullah belum merumuskan secara konkrit berkaitan dengan keilmuan dimaksud, yaitu bagaimana central of spot yang menjadi sumber utama dikembangkan melalui approach and methodology yang tepat pada ring pertama; kemudian keberjalin-kelindanan selanjutnya pada ring kedua, ketiga dan keempat secara timbal balik. Ketiga, adalah mengenai ide M. Amin Abdullah dalam penggunaan filsafat sebagai metodologi berpikir kritis dalam kajian ilmu kalam. Menurutnya, sebagaimana mengutip pendapat Fazlurrahman bahwa salah satu penyebab tidak berkembangnya ilmu kalam khususnya atau studi keislaman pada umumnya lebih disebabkan dari segi materi maupun metodologi adalah dipisahkannya dan dihindarinya pendekatan filosofis dalam batang tubuh kerangka keilmuan kalam. Menurutnya, disiplin ilmu filsafat dan pendekatan filosofis pada umumnya sangat membantu untuk menerobos kemacetan, bahkan jalan buntu yang dihadapi oleh ilmu-ilmu apapun.

M. Amin Abdullah memberikan perbandingan logis antara pendekatan kefilsafatan dan kalam/teologi (keagamaan), yaitu: 1) pendekatan kefilsafatan lebih menekankan dimensi keberagamaan yang paling dalam esoteris dan transcendental-abstrak, sedangkan pendekatan teologi dan kalam seringkali lebih menekankan dimensi lahiriah-eksoteris dan final-konkrit; 2) pendekatan kefilsafatan keagamaan lebih menekankan ketenangan dan kedalaman jiwa, sedangkan pendekatan teologi lebih menekankan keramaian (syiar) yang bersifat ekspresif keluar; 3) pendekatan kefilsafatan lebih menggarisbawahi pentingnya comprehension (pemahaman ‘aql), sedangkan pendekatan teologi lebih menekankan transmission (pemindahan, pewarisan atau yang disebut naql); 4) pendekatan kefilsafatan lebih bercorak prophetic-philosophi, sedangkan pendekatan teologi lebih bercorak priestly religion (kependetaan, kebhikuan, kepausan, kekardinalan, keulamaan, kepedandaan, kerabbian dan begitu seterusnya; 5) pendekatan kefilsafatan lebih menekankan dimensi being religious sedangkan pendekatan teologi lebih menekankan dimensi having a religion.

Keempat ide M. Amin Abdullah dan tawaran mengenai Normativitas dan Historisitas sebagaimana dikutip Husain Insawan[53], menurut M. Amin Abdullah menipisnya nuansa historisitas pemikiran keislaman menyulitkan pemikir muslim kapanpun dan dimanapun berada untuk berijtihad secara mandiri. Faktor penyebabnya antara lain adalah letak geografis, iklim, musim, tradisi, budaya antara saru wilayah dengan lainnya. Bagi M. Amin Abdullah pendekatan historis dapat membuka kemungkinan perbandingan bagi komunitas di luar Islam dengan pendekatan fenomenologi agama. Hingga kini, studi perbandingan agama telah membuahkan hasil bagi Islamic Studies dalam bahasa Semit. Hasilnya antara lain: Julius Wellhausen (1844-1918) dan W. Robertson Smith (1846-1894) pengkaji histories-kritis Perjanjian Lama, menyadari akan afinitas antara bahasa Ibrani dan Arab; A.J. Wensinck (1882-1939) menyoroti paralelitas dan unsure structural tertentu yang umum terdapat dalam agama-agama Semit Barat dan Islam, perkembangan  dalam pengikut agama Israel  dan agama Islam awal serta hubungan histories dan sastra antara Islam awal dan Syria.

Hal yang lebih penting bagi Islamic Studies dalam menggunakan sejumlah pendekatan disamping pendekatan historis ada pula pendekatan filologi terhadap sumber-sumber tertulis dan arkeologis dalam konteks yang lebih luas. Misalnya Louis Masignon dalam spiritualitas sufi yang dikajinya telah melampaui filologi dan sejarah; WC. Smith menganalisis Islam modern India dengan melihat kepentingan kelas, baru kemudian sampai pada interpretasi mengenai pemikiran Islam dengan keterlibatan personal yang jelas; W. Montgomery Watt melakukan interpretasi baru terhadap asal usul Islam, sejarah, dan teologi awal dengan menganalisi fenomena keagamaan di dalam struktur sosio-politiknya dengan menggunakan temuan sosiologi  pengetahuan dan interpretasinya tentang pemikiran Islam; Clifford Geertz memulai penelitiannya dari simbol-simbol yang hidup dalam masyarakat muslim, mempelopori studi tentang makna-makna simbolik dalam komunitas Muslim.[54]

Dari sekian banyaknya wacana keagamaan khususnya dalam Islam, patut mendapat perhatian bahwa segala hal yang berkaitan dengan pemikiran manusia selalu memiliki ruang kekeliruan, yang dengan hal tersebut segala yang berkaitan dengan diskursus keagamaan dalam wacana agama tetap layak diperhitungkan dan dibicarakan.

[1] Menurut Abu Furqon menyebutkan bahwa Fiqih (Al-Fiqhu) secara bahasa berarti pemahaman (Alfahmu). Fiqih menurut istilah mutasyarri’in (ahli syari’ah) adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat aplikatif yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. Ruang lingkup fiqih terbatas pada hukum-hukum yang bersifat aplikatif dan furu’iy (cabang) dan tidak membahas perkara-perkara i’tiqad (keyakinan). Syaikh Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah memberikan definisi yang sedikit berbeda tentang fiqih yaitu: mengenal hukum-hukum syar’i yang aplikatif melalui dalil-dalilnya yang terperinci Beliau menggunakan kata ma’rifah dan bukan ‘ilm untuk mencakup makna ‘ilm dan zhann sekaligus karena hukum-hukum fiqih kadang bersifat yaqiniy (pasti, menghasilkan ‘ilm) dan kadang zhanniy (dugaan, menghasilkan zhann) dalam http://abufurqan.com/2011/01/17/pengertian-dan-ruang-lingkup-ushul-fiqih/ akses tanggal 29 Juli 2012. Menurut sumanto al-Qurtuby melihat fiqih merupakan kajian ilmu Islam yang digunakan untuk mengambil tindakan hukum terhadap sebuah kasus tertentu dengan mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam syariat Islam yang ada. Dalam pemahaman seperti ini maka kajian atau produk fiqih selayaknya bersifat lebih dinamis. Dan lebih lanjut fiqih merupakan suatu metode pemaknaan hukum terhadap realitas. Dalam perkembangan selanjutnya fiqih mampu menginterpretasikan teks-teks agama secara kontekstual. (Sumanto al-Qurtuby, K.H MA. Sahal Mahfudh; Era baru Fiqih Indonesia (Yogyakarta: Cermin, 1999) hlm. 134.

[2] Anthony Synnott, Tubuh Sosial Simbolisme, Diri, dan Masyarakat  terje. Pipit Maizier (Yogyakarta: Jalasutra, 1993), hlm.1.

[3] M. Ainul Yaqin Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Kedilan (Yogyakarta:Pilar Media, 2007), hlm. 34.

[4] Wawancara dengan M. M. Amin Abdullah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 27 April 2010.

[5] http://islamlib.com/id/artikel/sekarang-harus-ada-fikih-toleransi/akses 18 Oktober 2009.

[6] M. M. Amin Abdullah, “Mengapa Ramadhan Dirindukan?” dalam Kedaulatan Rakyat 26 Agustus 2009.

[7] Hans Kung “Mencari Jalan-jalan Baru Dialog Antar umat Beragama” dalam Najiah Martiam (ed.), Jalan Dialog Hans Kung dalam Perspektif Muslim (Bandung: Mizan, 2010), hlm.15.

[8] Wawancara dengan M. M. Amin Abdullah di UIN Sunan Kalijaga tanggal 27 April 2010.

[9] Sama diartikan sebagai suatu kesetaraan antar sesama penganut agama.

[10] Wawancara dengan M. M. Amin Abdullah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 27 April 2010.

[11] M. M. Amin Abdullah, “Mengapa Ramadhan Dirindukan?” dalam Kedaulatan Rakyat 26 Agustus 2009.

[12] Menurut Ashim Ahmad Ajillah yaitu suatu hak yang melekat pada setiap individu untuk memeluk agama atau tidak sama sekali dan mengikuti pijakan (Mazhab) yang dikehendaki, juga mengandung pula kebebasan untuk menyiarkan aktifitas-aktifitas keagamaan baik secara terang terangan atau tidak sama sekali.

[13] Ashim Ahmad Ajillah, Menghidupkan Kembali Kebebasan Berpikir terjem. Samsuri (Jakarta: Mustaqiim, 2003), hlm. 86.

[14] http://id.wikipedia.org/wiki/ijtihad akses tanggal 9 April 2010.

[15] Abd. Rauf Muhammad Amin Dialektika Ijtihad dan Realita Kajian Metodologis Aktualisasi Hukum Islam Kontemporer dalam http://luluvikar.wordpress.com/2005/04/02/dialektika-ijtihad-dan-realita/akses tanggal 9 April 2010.

[16] Wawancara dengan M. M. Amin Abdullah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 27 April 2010.

[17] M. M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam  di Era Post Modernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 11.

[18] M. M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer (Bandung: Mizan, 2000), hlm.165.

[19] Beberapa jenis ijtihad; Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Biasanya hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat. Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan, artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kecenderungan sama dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam Ijma dan Qiyas sifatnya darurat. Maslahah murshalah Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada nashnya dengan pertimbangan kepentingan kehidupan manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan. Sududz Dzariah Adalah tindakan memutuskan suatu hukum demi kepentingan umat (misal; makruh menjadi mubah dsb). Istishab Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya. Urf Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

[20] Muhammad al-Husaini Ismail Kebenaran Mutlak Tuhan, Agama dan Manusia dalam Alimin terjem. (Bekasi: Sahara, 2006), hlm. 183.

[21] Multikulturalisme merupakan istilah yang isi konsep atau pengertiannya sangat luas, kompleks, dan memiliki tingkat abstraksi yang tinggi, seperti kata ”multi” yang terdapat dalam kata multikuturalisme. Multikulturalisme berhubungan dengan kebudayaan-kebudayaan. Maka di dalam pengertian (konsep) multikulturalisme bisa dimengerti bila batasan atau definisi tentang multikulturalisme beragam dan bermuatan nilai atau memiliki kepentingan tertentu. Sebuah definisi pada umumnya dibuat dengan tujuan atau kepentingan tertentu. Ada definisi yang dibuat dengan maksud dapat digunakan secara luas atau umum. Ada pula sebaliknya, definisi dibuat dengan tujuan khusus. Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Menurut Atho’ Mudzhar misalnya Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut. Menurut Lawrence Blum Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Sedangkan Menurut Bikkhu Parekh; A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of meaning, values, forms of sosial organizations, historis, customs and practices (Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan). www.wikipedia.id akses tanggal 15 April 2010.

[22] Agus Riva’i Perpustakaan dan Pendidikan Multikulturalisme dalam http://pustakawan.pnri.go.id/uploads/media/5Perpustakaan dan Pendidikan Multikulturlisme.doc akses tanggal 20 April 2010.

[23] Pengertian masyarakat multi budaya dan multi kulturalisme diperkenalkan pertama kali  tahun 1964 di Winnipeg/Manitoba Kanada oleh sosiolog Charles Hobart pada Konferensi Dewan Kanada tentang Kristen dan Yesus. Kedua pengertian itu merujuk pada suatu fenomena migrasi multietnis dan masyarakat dengan lingkup ruang yang besar. Meskipun konsep masyarakat multi budaya masih problematik, secara umum masyarakat multi budaya dinyatakan sebagai sebuah kumpulan beraneka ragam masyarakat yang memiliki kebudayaan yang eksis satu sama lain di atas suatu wilayah. Misalnya Hoffman-Nowotny menekankan dalam suatu masyarakat multi budaya terdapat dua atau lebih kelompok masyarakat yang terpisah dari kelompok mayoritas. Sekalipun demikian, diantara mereka lahir kesadaran akan perasaan kebersamaan dan identitas menyeluruh kehidupan bersama untuk membentuk perasaan bersama akan ketentraman dan keamanan.

[24] James D. Adam, Pendidikan Multikultural & Paket Multikultural dalam http://www.ntt-academia.org/opini/JADAM akses tanggal 20 April 2010.

[25] Wawancara dengan M. M. Amin Abdullah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 27 April 2010.

[26] Wawancara dengan M. M. Amin Abdullahdi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 27 April 2010.

[27]  Wawancara dengan M. M. Amin Abdullah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 27 April 2010.

[28] M. M. Amin Abdullah “Paham Keagamaan Dan Kebangsaan Indonesia di atas Keberagamaan yang Majemuk dan Multikultural” dalam http://aminabd.wordpress.com/2010/06/02/faham-keagamaan-dan-kebangsaan-Indonesia-di atas-keberagamaan-yang-majemuk-dan-multikultural/ akses 3 maret 2012.

[29] M. M. Amin Abdullah, Kesadaran Multikultural: Sebuah Gerakan “Interest Minimalization” dalam Meredakan Konflik Sosial dalam Ainul Yaqin (pengantar) Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Kedilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), hlm. Xi.

[30] M. M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Paradigma Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, cet II), hlm. 370.

[31] Zunly Nadia, Epistemologi Keilmuan Integratif-Interkonektif M. M. Amin Abdullahdan Relevansinya bagi ilmu-ilmu Keagamaan dalam http://zunlynadia.wordpress.com/2011/01/27/epistemologi-keilmuan-integratif-interkonektif-amin-abdullah-dan-relevansinya-bagi-ilmu-ilmu-keagamaan/ akses sabtu 3 maret 2012.

[32] Budhy Munawar-Rachman (dkk), Argumen Islam untuk Pluralisme, (Jakarta: PT. Raja Grasindo, 2010), hlm.10.

[33] Peter L Berger. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, terjm Hartono (Jakarta: LP3ES, l994, hlm 63.

[34] Arif Budiman, “Religious Experience and Its Expressio” dalam http://sosbud.kompasiana.com/2011/11/29/religious-experience-and-its-expression/ akses tanggal 7 Agustus 2012.

[35] M. M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, cet-3), hlm. 18.

[36] http://islamlib.com/id/artikel/bedakan-antara-agama-dan-pemikiran keagamaan/ akses 28 Juli 2012.

[37]  Agama ketika ditinjau dari sudut pandang sosiologis akan kita dapati agama hanyalah hasil interaksi sosial, ditinjau dari sudut pandang sejarah agama hanyalah sebagai produk tarik-menarik kepentingan kekuasaan dan sulit terhindar dari syahwat untuk “memproteksi” pihak lain (meminjam istilah M. M. Amin Abdullahlazim disebut the others), sedangkan agama ditinjau dari psikologi, merupakan suatu hasil imajinasi manusia yang mempunyai tuntutan emosional. Sehingga apabila agama dijadikan obyek pengetahuan, maka akan terjadi proses "reduksional" ke dalam proses yang sifatnya alami (naturally). Walhasil tidak terlalu berlebihan manakala agama dimaknai bukan sebagai hal yang transenden.

[38] Akhmad Arifin Al Djawi, Penundukan Paradigma (Teori Laba-Laba) dalam http://iscdic.blogspot.com/ akses tanggal 7 Juni 2012.

[39] Adian Husaini, Islam Ragu-ragu vs Rektor UIN Jogja dalam http://www.hidayatullah.com/read/2430/30/10/2005/  akses tanggal 7 juni 2012.

[40] Lagu tersebut dipopulerkan oleh grup band asal Amerika Metallica

[41] Ruzbihan Hamazani, Nota Buat Adian Husaini dalam http://groups.yahoo.com/group/insistnet/message/9008 akses 31 agustus 2012

[42] Amin Nasir, Sintesis Pemikiran M. M. Amin Abdullah dan Adian Husaini (Pendekatan dalam Pengkajian Islam) dalam http://demoakharat.blogspot.com/2011/02/sintesis-pemikiran-prof.html akses 31 Agustus 2012

[43] Husain Isnawan, Membedah Esai Pemikiran M. M. Amin Abdullah dalam http://shaututtarbiyah.wordpress.com/2009/11/20/membedah-esai-pemikiran-m-amin-abdullah-ed-21-2009/ akses sabtu 3 maret 2012.

[44] Selengkapnya lihat Fazlurrahman, “Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition” (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982), h. 157-158, dalam M. M. Amin Abdullah, “Kajian Ilmu Kalam,” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (Ed.), Problem dan Prospek IAIN: Ontologi Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: Dipertais, 2000), hlm. 222.

[45] http://lppimakassar.blogspot.com/2012/03/gerombolan-liberal-bagai-hama-tapi.html akses tanggal 21 Juni 2012.

[46] Dalam blog yang mengatasnamakan mujtahid tersebut, M. M. Amin Abdullah juga dianggap sebagai seorang sarjana yang mengingkari keadaan manusia. Blog tersebut menjelaskan bahwa seakan-akan manusia sekarang ini bukanlah manusia model dulu, tetapi makhluk yang baru sama sekali, tidak ada sifat-sifat kesamaan dengan manusia dulu. Padahal, dari dulu sampai sekarang, dan insya Allah sampai nanti, ciri-ciri dan sifat-sifat manusia itu sama. Yang munafik ya ciri-ciri dan sifat-sifatnya sama dengan munafiq zaman dulu. Yang kafir pun demikian. Sedang yang mu’min sama juga ciri dan sifatnya dengan mu’min zaman dulu. Maka Allah telah mencukupkan Islam sebagai agama yang Dia ridhai, dan Al-Qur’an menjadi pedoman sepanjang masa, karena manusia zaman diturunkannya Al-Qur’an itu sifatnya sama dengan zaman sekarang ataupun nanti. Tinggal tergolong yang mana? Mu’min, Munafiq atau Kafir.

[47] http://Indonesiatanpajil.blogspot.com/akses 21 Juni 2012.

[48] http://islamlib.com/id/artikel/bedakan-antara-agama-dan-pemikiran keagamaan/akses 28 Juli 2012.

[49] Henri Shalehuddin, Al Qur’an Dihujat, (Jakarta: Al Qalam, Kelompok Gema Insani Press), hlm 87.

[50] Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al Qur’an; Sebuah Kajian Kritis,(Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm 66.

[51] Budhy Munawar dkk, Argumen Islam untuk Liberalisme, (Jakarta: PT. Raja Grasindo, 2010), hlm. 179-180.

[52] Adian Husaini dkk, Hermeneutika & Tafsir Al Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001 ), hlm. 18.

[53] Sebagaimana dikutip Husain Insawan Membedah Esai Pemikiran M. M. Amin Abdullah dalam http://shaututtarbiyah.wordpress.com/2009/11/20/membedah-esai-pemikiran-m-amin-abdullah-ed-21-2009/ akses sabtu 3 maret 2012.

[54] M. M. Amin Abdullah, “Kata Pengantar,” dalam Richard C. Martin (Ed.), “Approaches to Islam in Religious Studies,” (Arizona: The University Arizona Press, 1985), diterj. Zakiyuddin Bhaidawi, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, (Cet. II; Surakarta: UMS Press, 2002), h. iv-viii.

 

Ikuti tulisan menarik Wahyu Tanoto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 jam lalu

Terpopuler