x

rakyat protes

Iklan

Luna Septalisa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 Agustus 2022

Kamis, 15 Desember 2022 12:00 WIB

Mengapa Pasal Penghinaan Presiden Warisan Kolonial itu Dipertahankan?

Polemik pasal penghinaan presiden sebetulnya bukan barang baru bagi Indonesia. Di zaman kolonial, peraturan serupa tertuang dalam Staatsblad Hindia Belanda tahun 1914 Nomor 205 dan 206. Oleh kaum pergerakan nasional peraturan tersebut dijuluki pasal karet karena multitafsir sehingga rawan disalahgunakan penguasa. Kini pasal serupa nangkring di RKUHP dan bisa membungkam kritisisme warga.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagaimana dikutip dari cnnindonesia.com (05/12/2022), Pasal 218 ayat 1 RKUHP baru berbunyi: 

“Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.”

Lebih lanjut, ayat (2) memberi pengecualian terkait perbuatan yang tidak termasuk penyerangan kehormatan atau harkat martabat, yaitu apabila dilakukan untuk kepentingan publik atau pembelaan diri. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebelumnya, pasal penghinaan presiden pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 melalui putusan Nomor 031-022/PUU-IV/2006. Dalam beberapa poin pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa pasal ini sedikit banyak dapat menghambat kritik terhadap kebijakan pemerintah sehingga dinyatakan inkonstitusional. 

Ternyata pasal penghinaan presiden dimuat kembali dalam RKUHP yang baru disahkan pada 6 Desember 2022 lalu dengan sedikit perbedaan. Jika sebelumnya pasal penghinaan presiden dikategorikan sebagai delik biasa, sekarang dikategorikan sebagai delik aduan. 

Polemik pasal penghinaan presiden sebetulnya bukan barang baru bagi Indonesia.

Di zaman kolonial, peraturan serupa tertuang dalam Staatsblad Hindia Belanda tahun 1914 Nomor 205 dan 206. Oleh kaum pergerakan nasional, peraturan tersebut dijuluki sebagai pasal karet karena sifatnya yang tidak jelas dan multitafsir sehingga rawan disalahgunakan untuk memidanakan siapapun yang dianggap telah menyinggung penguasa kolonial.

Bedanya adalah kalau dulu ditujukan untuk melindungi Pemerintah Hindia Belanda dan/atau Ratu/Raja Belanda, sekarang untuk Presiden dan/atau Wakil Presiden. 

Dilihat dari tahunnya, peraturan yang dibuat di era pemerintahan Gubernur jenderal Hindia Belanda, Johan Paul van Limburg Stirum, diterbitkan sebagai reaksi atas kemunculan organisasi-organisasi pergerakan nasional yang mewadahi aspirasi kaum pergerakan dan intelektual pada saat itu.

Hampir setiap organisasi memiliki surat kabar sendiri. Kaum pergerakan nasional yang kebanyakan juga jurnalis, sering memanfaatkan surat-surat kabar tersebut untuk propaganda.  

Ketajaman pena para tokoh pergerakan rupanya sering membuat pemerintah kolonial panas dingin. Tak jarang para tokoh pergerakan harus keluar masuk penjara akibat tulisan-tulisannya yang dianggap menyinggung pemerintah. 

Sebut saja Tirto Adhi Soerjo dengan Medan Prijaji nya yang membuat Tirto terjerat delik pers sehingga dibuang ke Maluku. 

Marco Kartodikromo dengan koran radikalnya, Doenia Bergerak dan aktivismenya di Sarekat Islam (SI) serta Inlandsche Journalisten Bond (IJB) telah mengantarkannya keluar masuk penjara dari 1915-1920. 

Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara) harus menjalani pembuangan ke negeri Belanda akibat sindiran tajamnya melalui tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) atas perayaan ulang tahun ke-100 Belanda di negeri jajahan. Hal yang sama juga terjadi pada dua rekannya sesama Tiga Serangkai dan pendiri Indische Partij: Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker. 

Dan jangan lupakan bagaimana Soekarno membela diri lewat pidato fenomenalnya, Indonesia Menggugat, pada 18 Agustus 1930. Soekarno bersama tiga rekannya di Partai Nasional Indonesia (PNI), yaitu Gatot Mangkupraja, Maskun dan Supriadinata dijebloskan ke penjara Bantjeuj (Banceuy), Bandung, dengan tuduhan melanggar pasal 169, 161, 153 dan 171 KUHP Hindia Belanda tentang pencegahan penyebaran kebencian. 

Bahkan, di awal pledoi nya, Soekarno menyatakan dengan tegas dan terang-terangan bahwa apa yang menimpa dirinya tak lain dan tak bukan adalah akal-akalan politik pemerintah kolonial untuk membungkam gerakan nasional yang sudah dijalankan sejak awal abad ke-20. 

Mengapa Pasal Penghinaan Presiden Dianggap Problematik? 

Menurut Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) sebagaimana dikutip dari bbc.com (05/12/2022), adanya pasal ini dalam KUHP baru menunjukkan bahwa “penguasa negara ingin diagung-agungkan layaknya penjajah di masa kolonial”. 

Padahal ada perbedaan antara tradisi monarki dengan negara berbentuk republik demokratis seperti Indonesia saat ini. Dalam tradisi monarki, raja/ratu merupakan simbol negara, sedangkan di negara republik demokratis tidak demikian. 

Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia pun tidak ada yang menyebut presiden dan/atau wakil presiden sebagai simbol atau lambang negara. Pasal 35 dan 36B UUD 1945 misalnya, menyebutkan bahwa yang termasuk lambang negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, bendera, bahasa dan lagu kebangsaan. 

Perihal lambang negara, secara lebih lanjut juga dijelaskan dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Dengan demikian, kalau ada yang bersikukuh bahwa menghina presiden dan/atau wakil presiden sama dengan menghina simbol negara, bisa dibilang keliru. 

Selain itu, pasal penghinaan presiden juga berpotensi menjadi pasal karet yang menjerat orang-orang kritis, mengancam kebebasan berekspresi dan demokrasi. Pasalnya, selama ini sudah sering kita saksikan orang dikriminalisasi karena menyampaikan kritik. 

Kasus mural yang dihapus petugas, peretasan WhatsApp dan penangkapan Ravio Patra, peretasan media sosial awak Narasi dan sebagainya, adalah sebagian kecil contoh mereka yang diserang karena sikap kritisnya. 

Alasan yang sering dipakai untuk mempidanakan mereka antara lain melakukan provokasi, penghinaan, pencemaran nama baik, fitnah atau menyebarkan ujaran kebencian. Padahal tak jelas benar bagian mana yang menunjukkan kalau suatu tulisan, gambar, suara atau video yang mereka buat dan sebarkan berisi provokasi, penghinaan, pencemaran nama baik, fitnah atau ujaran kebencian. Tak sedikit juga yang menyadari bahwa kritik yang dilontarkan lewat berbagai cara dan media sejatinya memang sesuai dengan fakta. 

Apa yang dianggap sebagai provokasi, penghinaan, pencemaran nama baik, fitnah atau ujaran kebencian seringkali cenderung subjektif. Ketika media, akademisi, aktivis, seniman atau rakyat biasa menyampaikan pendapat atau menyajikan fakta dan data yang selama ini tak banyak diketahui khalayak tentang kinerja pemerintah, bisakah mereka dianggap menyerang personal? 

Jika pemerintah mengharapkan kritik yang “lembut-lembut” saja, saya pikir itu hampir mustahil. Lagipula, siapa yang bilang kalau kritik tidak boleh disampaikan dengan keras, tajam dan pedas? 

Tirto Adhi Soerjo, dalam tulisannya di Medan Prijaji tahun 1909 bahkan pernah mengumpat A. Simon (pejabat daerah Purworejo pada saat itu) dengan sebutan snot aap atau “monyet ingusan”. Bayangkan kalau Tirto hidup di era medsos seperti sekarang. Sudah kena UU ITE, pasal penghinaan terhadap pemerintah, akun medsos dan WhatsApp diretas plus diawasi tukang bakso bawa HT yang mangkal di depan rumah. 

 

Ikuti tulisan menarik Luna Septalisa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu