x

Iklan

Christian Saputro

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Juni 2022

Minggu, 29 Januari 2023 11:04 WIB

Candi Muaro Jambi, Tentang Hikayat Sebuah Kota yang Karam

Situs Candi Muaro Jambi konon disebut-sebut sebagai kompleks percandian terbesar di Asia. Disigi situs Muaro Jambi merupakan salah satu situs peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Situs ini selain dikenal sebagai tempat ibadah, pemukiman juga ditengarai sebagai pusat belajar (universitas) agama budha .

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada acara Sumatera Bienal ke -3 yang ditaja di Taman Budaya Jambi, ada  agenda melukis bersam di Candi Muaro Jambi. Kesempatan ini tentunya tak ku sia-siakan untuk menuntaskan rasa penasaranku untuk mengulik sejarah muasal situs ini sekaligus menikmati keindahannya.

Candi Tinggi (Christian Saputro)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berbekal literasi yang pernah saya baca , penelitian arkeologis di Muaro Jambi telah menempatkan kronologi relatif  situs ini pada abad 9-14 Masehi. Rentang masa itu merupakan bagian dari masa pemerintahan Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya di Sumatera.

Kawasan Situs Candi Muaro Jambi dikenal dengan sebutan Kawasan Percandian Muaro Jambi. Kawasan Situs Candi Muaro Jambi ini tersebar pada areal yang berada di atas tanggul alam sepanjang 7,5 kilometer dengan luas lebih kurang 12 kilometer persegi. Merupakan sebuah dataran sempit yang dibatasi oleh rawa-rawa di sebelah utara dan Sungai Batanghari di sebelah Selatan.

Daerahnya diapit oleh tiga buah parit dan sebuah sungai kecil. Ketiga parit tersebut adalah Sekapung, Buluh, dan Johor, sedangkan sungai kecil bernama Sungai Jambi. Di lahan seluas 2612 hektar yang terbentang sepanjang tepian Sungai Batanghari terserak 86 buah candi. Hingga saat ini sudah ada 12 candi yang telah dipugar, yakni Candi Tinggi 1 dan 2, Candi Gumpung, Candi Gedong 1 dan2, Candi Kedaton, Candi Astano, Candi Joto Mahligai, Candi Teluk 1 dan 2, Candi Bukit Sengalo dan Candi Kembar Batu.

Situs Kawasan Percandian Muaro Jambi telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya dengan Nomor: 31/C1/JB/99 tertangal 26 Januari 1999 dan sebagai Benda Cagar Budaya dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 045/M/2000 tertanggal 30 Maret 2000. Dan  UU No. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya.

Berperahu di Komplek Candi Muaro Duo (Christian Saputro(

Jejak Rekam Sejarah

Menurut data yang  dirilis  Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi dari  informasi tertua yang berhubungan dengan daerah Jambi ditemukan pada Naskah Berita Dinasti Tang (618-906 M) yang menyebutkan kedatangan utusan Kerajaan Mo-lo-yeu ke Cina pada tahun 644 M dan 645 M. Begitu pentingnya Negeri Mo-lo-yue sehingga seorang pendeta I-Tsing menyempatkan singgah selama 2 bulan untuk memperdalam agama sebelum melanjutkan perjalanannya ke India.

Ketika beliau kembali dari India dikatakan Mo-lo-yue tahun 692 telah menjadi bagian Shih-li-fo-shih (Sriwijaya). Suatu keadaan yang ditafsirkan terkait erat dengan Prasasti Karangbrahi (686 M) yang ditemukan di wilayah Jambi hulu.

Konon nama Jambi sendiri disigi  dari berita Cina pada tahun 853 dan 871 yang  menyebut kedatangan misi dagang dari Chan-pi atau Pi-chan. Berita Dinasti Sung (960-1279 M) menyebutkan bahwa Chan-pi merupakan tempat bersemayamnya Maharaja San-fo-tsi (Sriwijaya), rakyatnya tinggal pada rumah-rumah panggung di tepi sungai.Raja dan para pejabatnya bermukim di daratan.

Sekitar awal abad ke-11 Masehi Chan-pi menobatkan raja di negerinya sendiri dan mengirim utusan ke Cina pada tahun 1079, 1082, serta 1088 M sebagai pemberitahuan bahwa Chan-pi telah menjadi negeri yang berdaulat.

Kemudian n ama Melayu kembali muncul pada abad ke-13 Masehi dalam Kitab Pararaton dan Nagarakertagama yang menyebutkan bahwa Raja Singhasari (Singasari)  bernama Kertanagara mengirimkan Ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 M.

Ekspedisi ini bertujuan untuk menjalin pertahanan bilateral antara Singhasari dan Melayu melawan serangan Mongol. Dalam Kitab Nagarakertagama nama Melayu juga disebutkan sebagai sebuah region di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 Masehi.

Situs  Percandian Muaro Jambi pertama kali diketahui keberadaaanya dari perwira Inggris bernama S.C. Crooke pada tahun 1820. Crooke menemukan kawasan ini ketika sedang melakukan survei pemetaan aliran Sungai Batanghari  hingga masuk ke daerah-daerah pedalaman Batanghari. Situs Muaro Jambi ditemukan pertama kali pada 1820 oleh perwira tentara Inggris, Letnan SC Crooke, diawali laporan MG Coedes pada 1918 dan diikuti oleh Prof Krom, WF Stutterheim, JG de Casparis, dan sederet nama arkeolog besar Belanda lainnya.

Crooke sempat menyaksikan reruntuhan bangunan-bangunan dari bata dan arca batu. Crooke mengatakan penduduk setempat menganggap bahwa reruntuhan di Muaro Jambi tersebut pernah menjadi ibukota dari sebuah kerajaan kuno (Anderson, 1971: 398). Sekitar setengah abad kemudian , Muaro Jambi kembali dilaporkan oleh sebuah tim ekspedisi Belanda bernama Expedition Midden Sumatera yang memasukkan Muaro Jambi dalam daftar daerah yang dikunjunginya.

Sayangnya hingga kini dokumen  laporan tim tersebut belum pernah ditemukan. Pada tahun 1921 dan 1922 kembali nama Muaro Jambi disebut-sebut yakni ketika T. Adams menerbitkan catatannya dalam majalah Oudheidkundig Verslag. Kunjungan berikutnya dilakukan oleh F. M. Schnitger pada tahun 1935 yang menyebutkan bahwa sedikitnya ada tujuh bangunan kuno di Muaro Jambi yakni Astano, Gumpung, Tinggi, Gedong I, Gedong II, Gudang Garem, dan Bukit Perak.

Selain itu Schnitger juga melakukan serangkaian penggalian pada bangunan-bangunan kuno tersebut kecuali di Candi Astano (Schnitger, 1935: 12-13). Sayangnya penelitiannya ini tidak diikuti dengan dokumentasi lengkap sehingga banyak informasi yang diperoleh tidak ditulis dalam laporan.

Sementara nama-nama besar arkeolog Indonesia, seperti Prof Dr Satyawati Sulaiman, Prof Dr Slamet Muljana, Prof Dr R Soekmono, dan Prof Dr RP Soejono, berikut arkeolog-arkeolog muda Indonesia kemudian, memberikan kepastian tentang berkembangnya sebuah tradisi hidup bersama pada masa lalu dengan berbahan batu merah yang dipisahkan satu sama lain oleh kanal-kanal.

Pada tahun 1954 sebuah tim yang diketuai oleh R. Soekmono melakukan inventarisasi kepurbakalaan di Sumatera, terutama kepurbakalaan di Muaro Jambi. Tempat-tempat yang dikunjungi antara lain Candi Astano, Gumpung, Tinggi.

Tetapi  Pusat Penelitian Arkeologi Nasional baru melakukan Penelitian arkeologis dalam arti sesungguhny pada tahun 1981. Sedangkan sebelum itu  beberapa ahli dari lembaga yang sama telah mengunjungi Kawasan Percandian Muaro Jambi.

Universitas Tertua

Menurut  pembimbing  Tim  Sudimuja ( Swarna Dwipha Muara Jambi) Sudhamek AWS berdasarkan genealogi ”universitas” sebagai kumpulan guru dan siswa ilmuwan, sejak universitas pertama di China dan di Nalanda, India, abad ke-5, diikuti universitas modern di Bologna, Italia, abad ke-11, diperkirakan situs purbakala Muaro Jambi di Sumatera, paling tidak pada awal abad ke-7, juga sudah merupakan kompleks pusat pembelajaran yang ternama.

Di kompleks  Candi Muaro Jambi di pinggiran Sungai Batanghari, disigi telah berkembang tradisi sebuah universitas.  Berdasarkan catatan dan peninggalan yang ada, diperkirakan Muaro Jambi merupakan pusat pembelajaran sejak abad ke-7 hingga abad ke-11. Dengan demikian, praksis pendidikan di sana bisa dikatakan sebagai universitas tertua di Indonesia.

 

Dari bukti tulisan-tulisan dan peninggalan arkeologi yang ada, tampak jelas adanya pengaruh institusi yang serupa, terutama Sanghrama Nalanda, terhadap perkembangan Muaro Jambi sebagai kompleks pusat pembelajaran atau universitas. Kedekatan hubungan antara Sriwijaya dan Nalanda (India), antara lain, tercatat dalam ”Nalanda Copperplate” (860) yang menyebutkan bahwa Raja Balaputradewa dari Sriwijaya membangun wihara di Nalanda serta diberi oleh penguasa di sana lima desa. Hasil dari ke-5 desa tersebut digunakan untuk pemeliharaan wihara dan membiayai para siswa di sana.

Dimulai dari kedatangan I-Tsing yang pertama pada abad ke-7, proses pembelajaran di sana diperkirakan berlangsung paling tidak selama 400 tahun lebih dengan pulangnya seorang terpelajar dari India, Dipamkara Srijnana, pada tahun 1025 setelah selama 12 tahun belajar di Muaro Jambi.

Menurut temuan tim Sudimuja, Sanghrama (Universitas) Mahawihara Nalanda berkembang dari fokus ”belajar untuk bhakti” menjadi ”belajar untuk pengetahuan”. Raja-raja dinasti Gupta yang membangun Nalanda bukanlah buddhis, melainkan penganut Hindu Brahma sehingga sanghrama dikembangkan bukan dari sudut keagamaan, melainkan demi mendorong dan mendukung sistem pembelajaran, pendidikan, dan kebudayaan bagi kepentingan masyarakat.

Hal yang sama diberlakukan dalam praksis pendidikan di Muaro Jambi. Bahasa Sanskerta menjadi bahasa pengantar, seperti ditunjukkan oleh Prasasti Talang Tuo (684) bahwa pada abad ke-7 M, Sriwijaya mengikuti cara pandang Mahayana, dan menurut I-Tsing, beliau pun belajar tata bahasa Sanskerta di Fo-shih.

Biara-biara yang sebelumnya hanya diperuntukkan bagi bhikshu berkembang menjadi pusat-pusat belajar umum yang juga terbuka untuk awam. Seperti di Nalanda, hampir semua bangunan di Muaro Jambi dikelilingi pagar tembok dengan ketinggian 6 meter, berpetak-petak dengan luas yang berbeda-beda. Hampir semua kelas dan kegiatan dijalankan dalam lingkungan berpagar tembok, di petak-petak halaman terbuka yang dilandasi dengan paving batu bata. Sampai sekarang, reruntuhan fondasi pagar, halaman-halaman, beserta pavingnya masih jelas terlihat. ”Saat itu di Sriwijaya ada ribuan bhikshu yang tekun belajar dan beribadah. Mereka tinggal di kawasan yang berpagar tembok.”  tulis I-Tsing.

Selain I-Tsing, tercatat pula banyak peziarah lain, seperti Wu-Hing, yang pernah belajar beberapa lama di Sriwijaya (Muaro Jambi) sebagai persiapan belajar di Nalanda. Sebaliknya juga banyak bhikshu India yang belajar beberapa tahun di Muaro Jambi, kemudian kembali ke India untuk mengajar, seperti Dipamkara Srijnana, Sakyakirti, Vajrabodhi, dan Amogavajra. Sebaliknya, banyak guru dan siswa Muaro Jambi juga belajar di Nalanda.

Dari serangkaian bukunya, antara lain I-Tsing menulis tentang apa yang ia temukan di Fo-shih. Saat itu ada ribuan bhikshu yang tekun belajar dan beribadah. Mereka tinggal di kawasan yang bertembok.  Mereka mempelajari semua mata kuliah seperti yang diajarkan di India yaitu; pancavidya: logika, tata bahasa dan kesusastraan, ilmu pengobatan, kesenian, serta metafisika dan filsafat. Tata cara dan upacara pun tidak berbeda.  

Jika bhikshu dari China berkehendak untuk belajar di India, sebaiknya dia tinggal di Sriwijaya selama satu atau dua tahun untuk mempersiapkan dan melatih dirinya tentang cara-cara yang benar. Tempat yang dimaksud oleh I-Tsing diperkirakan adalah Muaro Jambi.

Pemugaran Warisan Budaya

Selain menjadi objek penelitian Kawasan Percandian Muaro Jambi juga dikembangkan dan dilestarikan dengan dilakukan upaya pemugaran oleh pemerintah.

Padatahun 1976 dilakukan kegiatan pemugaran berupa pembersihan kompleks percandian untuk membebaskannya dari tumbuhan hutan yang berada di atasnya. Pada waktu itu candi-candi di Muaro Jambi masih tertimbun tanah yang ditutupi oleh tumbuh-tumbuhan.

Pada tahun 1978 Ditlinbinjarah melakukan pemugaran  dengan candi Tinggi sebagai objek utama . pemugaran selanjutnya dilakukan pada Candi Gumpung yang dilaksanakan pada tahun 1982 hingga 1988, Candi Astano dari tahun 1985 hingga 1989, Candi Kembarbatu dari tahun 1991 hingga 1995, Candi Gedong I mulai tahun 1996 hingga  2000, dan terakhir adalah Candi Gedong II yang dilaksanakan pada tahun 2000 hingga  2004, serta pada tahun anggaran 2005 pemugaran Candi Tinggi II mulai dilaksanakan dengan pekerjaan pertama adalah pengupasan.

Hingga  kini tinggalan yang ditemukan di kawasan Percandian Muarajambi mencapai lebih dari 85 buah. Duabelas di antaranya merupakan bangunan yang sudah dapat diidentifikasi sebagai kompleks candi.

Penggunaan istilah kompleks digunakan di sini karena pada umumnya candi di situs ini ditemukan bukan merupakan sebuah bangunan, namun merupakan sebuah sistem yang terdiri dari bangunan induk, satu atau lebih bangunan pendamping (perwara), tembok keliling dengan pintu masuk (gapura) serta kadang-kadang parit keliling.

Diantaranya yakni Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong II, Gedong I, Gumpung, Tinggi, Kembarbatu, Astano, Teluk I, Teluk II, Sialang, dan Tinggi II, serta sebuah kolam kuno yang dikenal dengan sebutan Telagorajo.

Peninggalan  lain berupa menapo atau gundukan tanah yang di dalamnya berisi struktur bata. Selain itu beraneka ragam artefak kuno yang merupakan temuan-temuan lepas yang mempunyai keterkaitan dengan keberadaan candi-candi di Muaro Jambi.

Temuan tersebut antara lain berupa arca, lapik arca, lesung, belanga perunggu, gong perunggu, lempengan emas yang berisi mantra-mantra, keramik, manik-manik, bandul jaring, benda-benda perlengkapan upacara, dan perhiasan.

Pada umumnya candi di Sumatera dibuat dengan menggunakan bahan bata yang ukurannya lebih besar dari bata sekarang. Namun demikian penggunaan batu juga ditemukan, terutama pada beberapa unsur bangunan seperti pada sudut-sudut bangunan yang rentan terhadap daya tekan besar.

Dari hasil penelitian terhadap bangunan candi dapat diketahui bahwa cukup banyak bangunan candi di Muaro Jambi yang dibangun lebih dari satu kali, ada yang dua kali, bahkan ada yang sampai tiga kali.

Mengingat peninggalannya berupa kompleks percandian, maka Kawasan Percandian Muaro Jambi dapat dikatakan sebagai situs keagamaan. Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan, antara lain berupa Arca Dewi Prajnaparamitha, wajra (sebuah alat keagamaan berujung empat dan terbuat dari logam) dan rancangan kompleks percandian yang didasari konsep makrokosmos dan mikrokosmos dapat diketahui aliran agama yang melatari Kawasan Percandian Muaro Jambi adalah agama Budha Mahayana.

Selain merupakan situs keagamaan, Kawasan Percandian Muaro Jambi juga merupakan situs pemukiman. Hal ini ditandai dengan adanya temuan-temuan yang berkaitan dengan aktivitas keseharian manusia yang telah menetap dan berintegrasi dengan lingkungannya dalam jangka waktu yang lama di lokasi tersebut. Misalnya temuan berupa keramik lokal dan asing yang ditemukan dalam jumlah besar di dalam maupun di luar kompleks percandian.

Pelestarian dan Pemanfaatan

Pemanfaatan dan pengembangan Kawasan Percandian Muaro Jambi ini diarahkan pada bidang antara lain: Ilmu Pengetahuan,  Pendidikan, Kebudayaan,Pariwisata, Agama dan Sosial

Menurut seniman  Jambi  A. Fauzi   sebagai Benda Cagar Budaya yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan sudah tentu keberadaan Candi Muaro Jambi harus tetap dijaga kelestariannya. Keberadaan candi telah didaftarkan ke organisasi pendidikan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai salah satu warisan dunia.

A Fauzi menambahkan  Candi Muaro Jambi merupakan ikon Provinsi Jambi yang memiliki nilai historis tinggi sehingga harus dijaga kelestariannya. Candi tersebut juga masih dalam penelitian mendalam demi mengungkap asal usul, fungsi serta nilai sejarahnya.

Meskipun kawasan Candi ini dibuka untuk umum, tetapi wisatawan juga harus waspada saat mengunjungi kawasan wisata ini, karena bahan dasar Candi di kompleks percandian ini dari batu bata, sehingga rapuh dan mudah rusak.

Untuk dapat menjelajah kemegahan kompleks candi ini, karena lokasinya yang sangat luas, pengelola dan orang sekitar menyediakan sepeda yang bisa disewa.

Harga sewa sepeda Rp 10.000,- untuk sepeda biasa perjamnya. Sedangkan untuk sepeda tandem Rp20.000,- per jamnya.

Oleh-Oleh Cendramata

Sepulang dari Desa Wisata Muaro Jambi kita bisa membeli oleh-oleh khas berupa miniatur rumah adat Jambi, batu akik,  cenderamata berupa gelang atau kalung penangkal sumpah. Konon kalung sebelik sumpah ini merupakan milik Suku Anak Dalam Jambi.

Suku Anak Dalam di Jambi punya budaya yang unik. Salah satunya adalah Sebelik Sumpah, yaitu sebuah kalung khas suku yang nomaden di rimba itu. 

Nyeket Candi (Christian Saputro)


Kalung itu terbuat dari biji keras, yang dipercaya bisa menangkal sumpah serapah. Tanaman penghasil biji itu tumbuh di hutan hujan tropis di Bukit Dua Belas, Jambi. 

Pohon langka tersebut hanya tumbuh di tanah orang Anak Dalam. Untuk dijadikan seuntai kalung membutuhkan waktu pembuatan berhari-hari. Pohon tersebut sangatlah langka, dan untuk memperoleh bijinyapun sangat sulit. 

Tidak kalah memakan waktu lama adalah untuk mendapatkan biji tersebut terlebih dahulu harus merayu pohon. Mitosnya Suku Rimba Jambi ini percaya pohon biji Sebelik Sumpah ini sangat kramat. “Untuk memperoleh bijinya seseorang harus merayunya terlebih dahulu atau izin,” ujar Usman salah satu penjual cenderamata ini di pintu masuk komplek Candi Muaro Jambi. 

Lebih lanjut, dipaparkan, rayuan tersebut disampaikan dengan bahasa daerah mereka. Bagi masyarakat luar, rayuan tersebut terdengar sangat romantis.” Pujian, pantun dan berbagai kata-kata indah mereka rangkai mereka dedahkan sebelum akhirnya memanjat dan mengambil biji pohon langka tersebut,”imbuhnya.

Menurut Fauzi, seniman Jambi, bila diperhatikan, Suku Anak Dalam atau Suku Rimba, hampir semua orang memakai kalung atau gelang sebelik tersebut. Gunanya untuk menghindari bala dan sumpah serapah. Berkat keunikan dan kelangkaannya, kalung tersebut dihargai Rp100-200 ribu rupiah bagi masyarakat luar yang ingin memilikinya. “Tetapi tergantung kita juga untuk melakukan tawar menawar,” ujarnya.

 

Jalan Menuju ke Candi Muaro Jambi

Kompleks Percandian Muaro Jambi  jaraknya sekira 33 Kilometer dari pusat kota Jambi. Selain melalui jalan darat  untuk menuju  ke  Kompleks Percandian Muaro Jambi juga dapat ditempuh melalui  jalur sungai dengan melayari sungai Batanghari dengan jarak tempuh sekitar 1,5 Jam.

Perjalanan untuk menuju ke lokasi dari kota Jambi ke arah timur dengan menyeberangi jembatan Batanghari II menuju lokasi desa wisata Candi muaro Jambi dengan memakan waktu 40 menit perjalanan. Jika ingin mencarter mobil sekitar Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu perharinya. Sedangkan untuk biaya ojeknya sekitar Rp 20.000,- sekali jalan ke candi. Untuk jasa ojek dapat juga disewa pulang pergi tarif dihitung perjam.

Untuk akses yang kedua melalui jalur air dengan menyusuri sungai Batanghari dengan menggunakan speedboat atau Ketek dari pelabuhan di dekat pasat Angso Duo. Biaya sewanya Rp 200 ribu hingga Rp 250 ribu per perahu. Sedangkan untuk tiket masuk dikenakan Rp 8.000,-.

 

^)Christian Heru Cahyo Saputro, pejalan, penyuka warisan budaya dan petualngan tinggal di Semarang,

 

Ikuti tulisan menarik Christian Saputro lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB