x

cover buku Pergulatan Menuju Republik

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 29 Januari 2023 11:08 WIB

Pergulatan Menuju Republik - Tan Malaka 1925-1945

Kisah hidup Tan Malaka pada periode 1925-1945. Buku ini juga menjelaskan posisi Tan Malaka terhadap teori-teori komunis dan relevansinya dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Pergulatan Menuju Republik – Tan Malaka (1925-1945)

Penulis: Harry A. Poeze

Tahun Terbit: 1999

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Pustaka Utama Grafiti

Tebal: xxix + 414

ISBN: 979-444-052-3

 

Nama Tan Malaka sudah sering saya dengar. Bahkan sejak mahasiswa, saya telah beberapa kali ikut diskusi tentang tokoh hebat ini. Namun buku “Pergulatan Menuju Republik – Tan Malaka 1925-1945” adalah buku pertama tentangnya yang saya baca. Buku karya Harry A. Poeze ini saya dapatkan dari teman yang memberikannya kepada saya.

Sesungguhnya buku ini adalah hasil terjemahan dari karya Poeze yang ditulisnya dalam bahasa Belanda. Buku “Tan Malaka: Levensloop van 1897 tot 1945.” Namun sepertinya versi Bahasa Indonesia dari karya Poeze tersebut diterbitkan dalam dua volume. Saya sekali saya tidak membaca lebih dulu bagian awal dari karya Poeze, yaitu bagian kisah hidup Tan Malaka dari sejak lahir (1897) sampai dengan saat sebelum ia terjun ke dunia politik (1924).

Membaca buku Poeze ini cukup menguras tenaga. Selain karena pengetahuan saya tentang sosok Tan Malaka sangatlah terbatas, buku ini memuat paparan yang luar biasa detail. Ditambah lagi dibeberapa bagian terjemahannya kurang baik.

Meski harus bekerja keras, saya mendapatkan beberapa hal baru tentang sosok yang begitu giat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tan Malaka sudah ikut serta mengupayakan kemerekaan Indonesia sejak pemberontakan PKI kepada Pemerintah Hindia Belanda. Tan Malaka secara konsisten membangun pergerakan untuk melawan Belanda meski di pengasingan. Dua bagian tersebut di atas dibahas mendalam dalam buku ini. Saya juga mendapatkan banyak informasi tentang Tan Malaka sebagai seorang tokoh yang disegani di kalangan Komunis Asia.

Sejak tahun 1925 Tan Malaka hidup secara berpindah-pindah. Ia dianggap berbahaya oleh Pemerintah Hindia Belanda dan juga oleh Inggris. Beberapa kota/negara yang pernah ditinggalinya diantaranya Singapura, Shanghai, Bangkok, Chiang Mai, Burma, Kanton, Hongkong dan tentu saja Filipina. Tan Malaka menjadi incaran polisi Hindia Belanda, Inggris dan China. Dalam pelariannya tersebut Tan Malaka menggunakan berbagai nama, seperti Elias Fuentes, Haji Hassan, Haji Ibrahim, Hassan Gozali dan sebagainya.

Tan Malaka dikejar oleh polisi dari berbagai negara, khususnya Hindia Belanda dan Inggris. Namun demikian Tan Malaka selalu bisa menghindar dari penangkapan. Kehidupan Tan Malaka di perantauan tidaklah mudah. Beberapa kali ia harus mengalami sakit karena dia tidak tahan dingin. Tan Malaka juga sering menghadapi ancaman yang bisa mengakibatkan pada kematian.

Tentang Pemberontakan PKI 1926, Tan Malaka sejak awal tidak setuju. Ia menganggap bahwa pemberontakan bersenjata saat itu bukanlah tindakan yang tepat. Setidaknya ia menunjukkan dua hal yang membuat pemberontakan tersebut akan (dan memang) gagal. Pertama adalah bahwa belum cukup masa yang siap untuk ikut serta dalam perang senjata. Kedua tidak ada pemimpin kharismatik yang bisa memimpin pemberontakan.

Tan Malaka sangat meyakini bahwa untuk melakukan pemberontakan kepada Pemerintah Hindia Belanda, tidak bisa hanya mengandalkan kaum buruh seperti di negeri Eropa. Sebab kondisi sosial di Indonesia masih didominasi oleh para petani miskin dan borjuis kecil lokal. Jumlah kaum buruh yang relatif lebih terdidik tidak cukup banyak. Itulah sebabnya Tan Malaka menerima ide untuk menyatukan kaum tani dengan borjuasi kecil. Ia menganjurkan supaya Syarikat Islam (yang mewakili borjuis revolusioner) membentuk organ bersama dengan PKI (yang mewakili kaum buruh dan petani miskin). Sayang sekali upaya penyatuan tersebut tidak berhasil.

Kegagalan pemberontakan PKI 1926 membuat PKI dilarang dan para tokohnya dikejar-kejar oleh Pemerintah Belanda. Situasi ini membuat kehidupan Tan Malaka dan kawan-kawan menjadi lebih sulit. Tan Malaka melanjutkan perjuangannya dengan mendirikan Partai Rakyat Indonesia (PARI).

Melalui PARI ini terlihat bahwa Tan Malaka lebih fokus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia daripada memperjuangkan komunisme. “Hindia (Belanda) mempunyai masalahnya sendiri yang mendesak, yang minta suatu penyelesaian. PARI adalah suatu alat buruh revolusioner yang mencoba menurut pandangannya sendiri menelesaikan masalah-masalah itu.” Tan Malaka paham bahwa persatuan antarkelompok di Indonesia sangat penting untuk memperjuangkan kemerdekaan. Tan Malaka sangat ingin kelompok nasionalis, kelompok Islam dan kelompok komunis bisa bersatu padu untuk mewujudkan kemerdekaan. Itulah sebabnya PARI tidak serta merta mengikuti garis Moskow dalam perjuangan kemerdekaan yang terlalu Rusia sentris. Tan Malaka mengorganisir PARI dari luar Hindia Belanda.

Sejak tahun 1933 Tan Malaka kehilangan kontak dengan Hindia Belanda. Selain karena ia tertangkap dan harus menjalani rencana pembuangan, orang-orang kritis di Hindia Belanda ditangkapi. Teman-teman Tan Malaka yang selama ini menjadi kontak utama di Hindia Belanda juga ditangkap dan kebanyakan dibuang ke Digul.

Barulah ketika Jepang menyerang Indonesia, Tan Malaka berkesempatan kembali ke Indonesia. Poeze membuktikan bahwa klaim Jepang yang menyatakan bahwa Tan Malaka telah kembali ke Indonesia sebagai seorang kolonel tentara Jepang adalah hanya sebuah propaganda. Tan Malaka tidak pernah percaya kepada Jepang. Ia sama sekali tidak mau berkompromi, apalagi bekerjasama dengan Jepang.

Dalam kepulangannya ke Indonesia, Tan Malaka mengganti identitasnya supaya tidak dikenali. Ia lebih banyak menulis dan melakukan pengamatan tentang situasi. Termasuk menulis karya agungnya “Madilog.” Ia sempat tinggal di Rawajati dan di Bayah.

Dari membaca buku ini saya mendapatkan pengetahuan bahwa Tan Malaka adalah seorang tokoh besar yang sangat dikagumi dan didengar pendapatnya di Asia. Terutama di kalangan gerakan Komunis Asia. Meski basis perjuangannya sangat diwarnai oleh komunisme, Tan Malaka lebih memfokuskan diri untuk perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia dari penjajahan. Tidaklah mengherankan jika Tan Malaka mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Tan Malaka mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1963. Gelar Pahlawan Nasional diberikan oleh Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia. 731

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler