x

Iklan

Christian Saputro

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Juni 2022

Jumat, 17 Februari 2023 11:52 WIB

Candi Sukuh, Misteri Candi Eksotis di Lereng Lawu

Konon berdasarkan prasasti yang ditemukan disekitar candi, ditengarai Candi Sukuh didirikan pada tahun 1359 -1378 Saka atau tahun 1437 – 1456 Masehi. Yang membuat Candi Sukuh menarik selain bentuknya, arca dan relief lukisan yang ada juga unik berbeda dengan candi-candi di Indonesia pada umumnya. Candi Sukuh ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan lingga dan yoni. Candi ini digolongkan kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya arca dan relief lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas lelaki dan perempuan dengan gamblang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tak sedikit yang menyebut Candi Sukuh sebagai candi porno. Sehingga melekat julukan tak sedap The Most Exotic Temple in The World pada Candi Sukuh.

Keistimewaan Candi Sukuh arsitekturnya tergolong unik.Meski berlatar belakang Hindu bentuk bangunan Candi kembali ke bentuk bangunan pra sejarah berstruktur Punden Berundak. Lebih kurang 4 kilometer dari Candi Sukuh terdapat situs Candi Cetho yang bentuk arsitekturnya juga berstruktur punden berundak.

Konon menurut catatan sejarah ini merupakan salah satu peninggalan terakhir kerajaan Majapahit. Candi Sukuh masih kokoh berdiri di kaki Gunung Lawu tepatnya di Dukuh Berjo, Desa Sukuh, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Konon berdasarkan prasasti yang ditemukan disekitar candi, ditengarai Candi Sukuh didirikan pada tahun 1359 -1378 Saka atau tahun 1437 – 1456 Masehi.

Yang membuat Candi Sukuh menarik selain bentuknya, arca dan relief lukisan yang ada juga unik berbeda dengan candi-candi di Indonesia pada umumnya.

Candi Sukuh ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan lingga dan yoni. Candi ini digolongkan kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya arca dan relief  lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas lelaki dan perempuan dengan gamblang.

Candi Utama

Bentuk bangunan Candi Sukuh agak berbeda dengan candi-candi lainnya. Sekilas rupa menyerupai bentuk piramida di Mesir. Dari kejauhan Candi Sukuh telah tampak karena letaknya di atas puncak bukit. Begitu kita mulai memasuki areal kawasan candi, pintu gerbang yang paling depan seakan-akan mengawasi seluruh lereng gerbang.

 

Di halaman teras teratas terletak bangunan candi. Candi ini sangatlah istimewa. Bentuknya berteras-teras seperti piramida. Hanya puncaknya saja yang datar. Mungkin di puncak ini dahulu ada bangunan dari kayu yang sekarang sudah musnah. Teras-teras ini sungguh istimewa bentuknya karena candi-candi lain tidaklah demikian dan biasanya candi mempunyai bagian dasar yang bertangga.

 

Bentuk piramida berteras ini bukanlah gaya bangunan Hindu melainkan gaya Indonesia asli. Seperti kebudayaan penduduk Kepulauan Polynesia pun mempunyai adat tempat untuk pemujaan seperti ini. Bila dibandingkan dengan bentuk nisan-nisan kuno di Jawa, sering adapula yang berbentuk piramida berteras. Bentuk piramida ini biasanya digunakan untuk memuja para arwah leluhur.

 

 

Sejarah Candi Sukuh

 

Candi Sukuh ini ditemukan kembali oleh Johnson pada tahun 1615 era  penjajahan Inggris di Jawa. Johnson yang menjabat Residen Suarakarta ditugasi Gubernur Jendral Inggris Sir Thomas Stanford Raffles mengumpulkan data-data untuk buku

The History of Java.

Kemudian pada masa pemerintahan Hindia Belanda Van der Vlis warganegara Belanda pada tahun 1842 melakukan penelitian. Kemudian Candi Sukuh dipugar pada tahun 1928.

Kesederhanaan bentuk Candi Sukuh menarik arkeolog Belanda WF Stturheim. Setelah melakukan penelitian WF Stutterheim membeberkan tiga telaahnya. Pertama, kemungkinan pemahat Candi Sukuh bukan seorang tukang batu, tetapi tukang kayu dari desa bukan dari keraton.

Kedua, Candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi dan Ketiga, Keadaan politik pada masa itu dengan menjelang keruntuhannya Majapahit karena didesak oleh pasukan Islam Demak tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.

Kalau kita memasuki pintu utama, kemudian memasuki gapura yang terbesar maka kita akan melihat bentuk arsitektur yang khas. Batu tidak disusun tegak lurus, namun agak miring berbentuk trapezium dengan atap di atasnya. Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan, sebab batu-batu yang dipakai adalah jenis andesit.

Lingga

 

 

Erotisme Candi Sukuh

 

Proses penciptaan pastilah manusia mempunyai konteks dengan apa yang kita sebut sebagai hubungan badani atau hubungan seks yang sudah ada sejak awal manusia diciptakan.

Relief yang ada di Candi Sukuh seluruhnya mengesankan erotisme. Ada patung seorang lelaki yang memegang tanda jenis (alat kelamin), gajah, dan binatang-binatang lainnya dengan alat kelamin yang serba menonjol. Tentu saja maksudnya bukan untuk merangsang pengunjung, melainkan lambang misteri proses penciptaan.  

 

Pemandangan dari Candi Utama

 

Arca Dewa Trimurti atau Bhuda tidak kita temukan di Candi Sukuh, tetapi yang kita temukan lingga (phalllus), arca Bima (sekarang di Solo), Garuda, arca laki-laki telanjang gaya megalitik, bahkan bentuk pertemuan alat kelamin pria dan wanita, ini menunjukkan gejala munculnya kembali tradisi pemujaan phallisme. 

 Mitos Keperawanan

Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah sangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”.  Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi.

Gapura pada teras kedua sudah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang biasanya terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala, didapati pula, namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak dijumpai banyak patung-patung.

Namun pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala pula dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan gapura di teras pertama.

Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui.

Selain itu, lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.

Jika kita mencapai di atas, tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat masing sering dipergunakan untuk bersembahyang.

Kemudian pada bagian kiri candi induk terdapat serangkaian relief-relief yang merupakan mitologi utama Candi Sukuh dan telah diidentifikasi sebagai relief cerita kidung sudamala.

Arca Garuda dan Celeng

Lalu pada bagian kanan terdapat dua buah arca Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian tirta amerta (air kehidupan) yang terdapat dalam kitab adiparwa, kitab pertama Mahabrata.

Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti. Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian amerta tersebut di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu.

Arca Kura-kura

Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari tirta amerta.  

Selain candi utama dan arca kura-kura, garuda serta relief-relief, masih ditemukan pula beberapa patung hewan berbentuk celeng (babi hutan) dan gajah berpelana. Pada zaman dahulu para ksatria dan kaum bangsawan berwahana gajah.
Lalu ada pula bangunan berelief tapal kuda dengan dua sosok manusia di dalamnya, di sebelah kira dan kanan yang berhadapan satu sama lain. Ada yang berpendapat bahwa relief ini melambangkan rahim seorang wanita dan sosok sebelah kiri melambangkan kejahatan dan sosok sebelah kanan melambangkan kebajikan. Namun hal ini belum begitu jelas.

Kemudian ada sebuah bangunan kecil di depan candi utama yang disebut candi pewara. Di bagian tengahnya, bangunan ini berlubang dan terdapat patung kecil tanpa kepala. Patung ini oleh beberapa kalangan masih dikeramatkan sebab seringkali diberi sesajian.  Sthanikaparwa semua bertemakan ruwatan atau pelepasan dari bermacam-macam belenggu keduniawian.

Mitologi Ruwatan

Ruwatan adalah salah satu adat Jawa yang tujuannya untuk membebaskan orang, komunitas atau wilayah dari ancaman bahaya. Inti acara ruwatan adalah doa memohon perlindungan pada Tuhan dari ancaman bahaya-bahaya seperti bencana alam dan lainnya. Juga doa mohon pengampunan dosa-dosa dan kesalahan yang telah dilakukan yang bisa menyebabkan bencana. Ruwatan memiliki makna mengembalikan keadaan sebelumnya. Patung Kura-Kura besar di depan candi merupakan simbol dari Awatara Visnu, yaitu  Kurma Awatara.

Meruwat dalam kisah Sudamala, Penyelamatan (pembebasan) Wisnu melalui Kurma Awatara, Kisah Garudea, sampai ruwatan versi Mahabharata dalam lakon Bimo Bungkus adalah bentuk usaha mengembalikan situasi atau keadaan seperti sebelumnya saat Majapahit jaya.

 Jalan Menuju Candi Sukuh

Candi Sukuh  ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta. Sekira 4 kilometer dari Candi Sukuh mendaki punggung gunung Lawu akan dijumpai situs Candi Cetho.

Candi Sukuh dapat dijangkau kurang lebih satu jam dari Kota Solo. Untuk rute sama dengan rute menuju ke Tawan Wisata Alam (TWA) Tawangmangu. Namun setelah 200 meter dari Terminal Karangpandan Anda bisa mengambil arah kekiri. Ada papan penunjuk jalan yang akan memandu Anda.

Akses menuju kesana pun lumayan susah. Kendaran pribadi dengan performa yang baik sangat kami sarankan. Karena jalan yang cukup menanjak tajam dan jarangnya transportasi publik yang melayani rute ini.

 

 *) Christian Heru Cahyo Saputro, pejalan, suka motret, tukang tulis dan suka berbagi kisah tinggal di Semarang.

 

 

Ikuti tulisan menarik Christian Saputro lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler