Menjadikan
Minggu, 19 Februari 2023 12:45 WIB
Aku hanya punya satu penanda-psikis yang diwajibkan hukum, gelang uniseks yang kupilih saat kemampuanku ditemukan di ujian kelulusan kelas enam. Aku memakainya saat aku bertemu denganmu. Mata kita bertemu di atas bingkai kaca berkilauan dari seberang kafe. Kita berbicara, saling canda, dan penampilanmu tidak berbahaya. Buatku, pantulan dari botol dan sidik jari minuman yang lengket di gelasmu. Sampai kamu melihatnya untuk pertama kali, aku akan tahu kalau bukan, dan membicarakannya.
Aku hanya punya satu penanda-psikis yang diwajibkan hukum, gelang uniseks yang kupilih saat kemampuanku ditemukan di ujian kelulusan kelas enam. Aku memakainya saat aku bertemu denganmu.
Mata kita bertemu di atas bingkai kaca berkilauan dari seberang kafe. Kita berbicara, saling canda, dan penampilanmu tidak berbahaya. Buatku, pantulan dari botol dan sidik jari minuman yang lengket di gelasmu. Sampai kamu melihatnya untuk pertama kali, aku akan tahu kalau bukan, dan membicarakannya.
"Kalau begitu untuk apa? Pirokinetis? Empath? Telepatis?" Masing-masing kata dengan menggoyangkan alis, seolah-olah skandal kecil adalah hal terburuk yang bisa muncul dari sebuah tanda pengenal.
Tidak ada satu kata pun yang menggambarkan apa yang bisa kulakukan, dan jika kuberikan penjelasan panjang lebar— tersandung pada frasa "kulit-ke-kulit" dan "hanya untuk orang lain, bukan diriku sendiri"--mengajari saya untuk membuat penjelasan singkat, "Aku menjadikan orang berbeda."
Aku membicarakan cuaca dan kamu mengangkat topik itu dengan antusiasme yang wajar. Kita tinggal di kafe sampai kita menyadari bahwa semua orang sudah pergi dan hanya tiggal kita berusa. Kamu tidak mengungkitnya lagi selama setahun.
Jika kamu memintanya setelah kita berhubungan, aku akan mengatakan tidak. Itu mungkin akan menjadi akhir dari kita. Tapi kamu bertanya di sofa, kakimu di pangkuanku dan jari kakimu menggoyangkan jariku yang memegang buku yang pura-pura kubaca sambil pura-pura tidak terpesona olehmu.
"Bisakah kamu membuatku berbeda, jika kamu mau?"
Aku meletakkan buku itu terlalu cepat. Kakimu terluka oleh pinggiran kertas di lengkungan kaki dan memar di celah lunak di antara tendon pergelangan kaki.
"Kenapa aku mau?" aku bertanya.
"Semua orang ingin. Itulah hubungan. Menegosiasikan seberapa banyak kamu tetap menjadi diri sendiri dan seberapa banyak kamu berubah demi sebuah hubungan. Aku hanya ingin tahu, tetapi jika kamu tidak ingin aku—"
"Aku tidak mau."
"Oke."
Luka karena kertas meninggalkan noda darah di bukuku. Halaman itu masih kutandai.
Lalu ... kemudian, enam bulan? Sembilan? Kita menikah secara sederhana dan kamu mengalami hari yang panjang dan berat setelah minggu yang panjang dan berat dalam bulan yang panjang dan berat.
Saat itu makan malam duka cita—nasi kotak keenam berturut-turut dan sisa-sisa dari tahlilan, karena pemberian yang boros dan semuanya akan menjadi terbuang sia-sia. Ada garis-garis di sekitar matamu yang belum pernah kulihat, menoreh dari sudut mata seperti jejak burung gagak.
Kamu membawa piring makan ke wastafel dan tanganmu yang lain menekan taplak meja, mengubah garis-garis itu menjadi busur.
"Kurasa aku tidak bisa melakukan ini," katamu, menatap dinding ruang makan tepat di belakang pergelangan tanganku dengan keputusasaan kosong yang berubah menjadi kepanikan. "Aku tidak bisa melakukan ini lagi. Tidak sendiri. Tak satu pun dari kita bisa melakukan ini sendirian."
Aku menyadari bahwa kamu tidak melihat ke dinding. Kamu melihat benda di pergelangan tanganku. Ketika kamu melihat apa yang kulihat, kamu melepaskan taplak meja dan meletakkan ujung jarimu di punggung tanganku.
Aku berpikir untuk tidak melakukan apa-apa. Aku berpikir untuk tidak memberi tahumu bahwa aku tidak melakukan apa-apa. Tetapi pada akhirnya, aku melakukannya.
Aku merasakan reaksi spontanmu, pustaka ingatanmu, tiang keyakinanmu, dan cambukan kemarahan yang egois dan pendendam di hatimu, membuat segalanya bergerak seperti pegas di mesin pinball.
Juga seperti mesin pinball: hanya karena kamu dapat melihatnya tidak berarti kamu tahu hasil akhir apa yang akan kamu dapatkan. Pada saat itu, aku mengenalmu seolah-olah kamu diletakkan di depanku dengan lampu berkedip dan pin berpola acak serta terowongan rahasia membuat proses yang tampaknya tidak terkait menjadi bergerak. Aku bisa memetakanmu, tapi aku tidak bisa memprediksimu.
Dan aku membuatmu lebih kuat.
Kamu berdiri lebih tegak dan meremas tanganku. Kita berhasil melewati minggu itu, dan minggu berikutnya, dan setelah itu. Hidup menjadi normal, turun ke rata-rata. Kamu tidak meminta dan aku tidak menawarkan, tetapi aku memikirkannya. Setiap kali bantalan jariku menyentuh buku-buku jarimu, setiap ciuman cepat di pipi, setiap kaki yang bertumpu sembarangan saat membalikkan badan di tengah malam, aku memikirkannya.
Dan kemudian dalam perkelahian—pertengkaran sepele tentang membuang sampah. Aku pikir itu adalah giliranmu, kamu pikir sebaliknya, ada kekesalan di kedua sisi sampai kamu menoleh dan mengulurkan tanganmu dan berkata, "Jadikan aku."
Aku berjalan pergi menjauh.
Kemudian, kamu minta maaf dan kita berbaikan. Aku bertanya-tanya, apakah aku dapat membuat pilihan itu: kalau aku dapat menempatkan kulitku di kulitmu dan menjadikanmu.
Tetapi aku tak mau, dan aku berkata pada diri sendiri bahwa itu lebih penting daripada hanya memikirkannya.
Dan kamu mulai berbicara tentang bagaimana kamu harus menjadi lebih. Setelah itu: bagaimana kamu berharap, apa yang kamu cita-citakan. Permintaan maafmu hipotetis, versi dirimu yang tidak akan dilanggar dan yang kamu ukur sendiri.
Aku terus berpikir untuk menjadikanmu.
Itu adalah saat kamu tidak mengungkitnya seperti yang kulakukan.
Kita kembali ke sofa, berdampingan dengan TV menyala. Tanganku ada di tanganmu, ibu jariku merasakan tulang-tulang menekan kulitmu dan membelai dengan iseng. Kamu berhasil setengah jalan cerita tentang waktu kamu meninggalkan paspormu di sebuah hotel, sebelum bagiku bahwa berpikir tidak lagi cukup.
Aku bertanya, "Apakah kamu ingin menjadi kurang pelupa?"
Kamu balas bertanya, "Kamu ingin aku menjadi apa?"
Aku berkata, "Aku ingin kamu menjadi kamu."
Kamu menatapku dan berkata, "Aku ingin menjadi lebih baik."
Maka aku menjadikanmu.
Sekarang kita berdua seperti apa kita dijadikan.
Bandung, 18 Februari 2023

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Anak-anak Malam Minggu
Sabtu, 2 September 2023 17:05 WIB
Babad Republik Sewidak Loro: Setelah 25 Tahun Reformasi
Senin, 29 Mei 2023 09:47 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler