x

image: Harvard Health

Iklan

Apri Damai Sagita Krissandi

Universitas Sanata Dharma
Bergabung Sejak: 22 Februari 2023

Senin, 6 Maret 2023 12:48 WIB

Thrifting: Gaya Hidup Anak Muda yang Ekologis, Modis, dan Minimalis

Mungkin memang benar UMKM lokal tersaingi dengan barang branded bekas ala thrifting. Tetapi begitulah bisnis, bukan salah pedagang, tetapi selera pasaryang menentukan. Dunia ini dinamis, bisnis sangat dinamis, inovasi bermunculan setiap detik. Pedagangnya yang dilarang, padahal pasarnya yang heboh meminta, bukan hanya di Indonesia, tetapi di dunia tren ini terjadi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Thrift memiliki arti toko amal, toko barang bekas tempat menjual segala macam barang yang bekas, layak, yang mungkin dibutuhkan orang lan. Sebetulnya, konsep jual-menjual barang bekas ini telah dimulai lewat forum Kaskus pada era 2000-an. Tren ini dilanjutkan platform yang lebih fokus pada jual-beli, yakni Tokobagus berganti nama menjadi OLX. Sekarang sudah banyak seklai platform, bahkan media sosial menghadirkan fitur jual-beli sebagai salah satu pemasukan bagi content creator maupun platform itu sendiri.

Thrifting adalah suatu aktivitas mencari barang bekas dengan kualitas yang baik. Barang bekas tidak lalu buluk, masih banyak yang layak digunakan kembali. Anak-anak muda memiliki berbagai kreasi dalam membingkai dagangan barang bekasnya. Yang paling baru adalah nilai "vintage" dari kaos, tas, topi, sepatu, dan sebagainya. Kaos-kaos band original yang dijual dalam suatu helatan konser di masa lalu, bernilai historis dan layak dikoleksi, tidak main-main, harganya jutaan. Topi dengan merek tertentu dan tahun tertentu memiliki nilai tinggi karena dianggap mewakili subkultur pada suatu era. Begitu anak-anak muda bermain dengan value suatu barang. 

Masalahnya, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) isunya akan melarang thrifting karena dinilai merusak usaha mikro kecil menengah (UMKM) lokal. Selain itu mencuat juga alasan kesehatan, karena barang bekas dinulai rentan menyimpan virus dan bakteri yang dapat menular. Tapi rencana itu diprotes anak-anak muda, sebab bisnis thrifting sedang hangat-hangatnya di Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Salah satu kios sepatu thrift di Jogja, mampu memiliki omset ratusan juta dalam sebulan. Mereka berhasil menjual sepatu bekas berbagai merek terkenal dengan sangat kreatif. Setiap sepekan, isi toko diganti-ganti dengan satu-dua brand yang sama, begitu seterusnya berputar. Admin medsos aktif mengabarkan diskon, bahkan dihadirkan permainan putar keberuntungan angka diskon. Memang luar biasa kreativitas mereka.

Mungkin memang benar UMKM lokal tersaingi dengan barang branded bekas ala thrifting. Tetapi begitulah adanya bisnis, bukan salah pedagang, tetapi selera pasarlah yang menentukan. Dunia ini dinamis, bisnis sangat dinamis, inovasi bermunculan setiap detik. Pedagangnya yang dilarang, padahal pasarnya yang heboh meminta, bukan hanya di Indonesia, tetapi di dunia tren ini terjadi.

Arus deras thrifting sepertinya sulit dibendung. Akan lebih bak jika pemerintah membenahi aturannya daripada melarang. Percayalah, semakin dilarang, semakin banyak jalan tikus yang dapat ditembus, mulai dari suap oknum, impor sembunyi-sembunyi, dan seterusnya, energi habis, lebih baik memikirkan hal lain yang lebih inovatif daripada melarang-larang kreativitas. Siapa tahu malah bisa jadi pemasukan pajak.

Apapun itu, kita bisa melihat lebih jauh filosofi dari thrifting ini. Dari sisi ekologi, barang bekas lebih bernilai ekologis dibanding barang pabrik. Tidak ada bahan alam yang diurai menjadi serat kain, tidak ada pembakaran dalam proses produksi, tidak ada energi yang habis dalam proses produksi. Kain-kain bekas yang dianggap sampah ternyata bernilai guna bagi orang lain. Suatu konsep ekologis, zero waste. Kain-kain bekas tak jadi mengambang di laut, atau menumpuk di bantar gebang, justru kian modis dipadu-padankan dengan berbagai kreasi.

Lihat saja kreasi padu-padan Cecilianov di IG dan tiktok. Baju bekas yang dibelinya menjadi nampak unik, kreatif, cantik, enak dipandang. Tak malu-malu ia membeberkan harga dan tempatnya nge-thrift. Barang bekas tak lagi malu-maluin, justru merangsang kreativitas penggunanya. Tak hanya Cecilia, banyak anak muda lain yang mempopulerkan gaya berpakaian dengan baju hasil thrift.

Selain ekologis, thrift ini mendukung gaya hidup minimalis. Gaya hidup ini memberikan alternatif hidup yang lebih bermakna. Barang-barang yang kita miliki seharusnya memiliki nilai fungsional. Jika tidak, berarti dianggap "tidak begitu penting". Maka menyimpan terlalu banyak barang yang tak fungsional, lebih baik dijual, uangnya dapat digunakan untuk investasi atau ditabung. Gaya hidup ini hemat, barang esensial saja yang dibeli. 

Anak-anak muda menjadi tidak tergiur dengan flexing harta, apalagi harta orang tua. Dengan gaya hidup minimalis, mereka lebih mampu menikmati hidup dengan memiliki barang yang esensial. Hidup menjadi ringan, tidak banyak hutang, tidak dikejar pinjol. Kata lainnya, hidup sederhana, apa adanya, sesuai kebutuhan.

Kita kadang lupa, membeli mobil, baju, jam tangan, dan sebagainya dilihat dari nilai yang abstrak, bukan fungsionalnya. Kita lebih memuja gengsi, padahal apa sih yang dikejar dengan gengsi? Pujian? Setelah dipuji bahwa kita kaya, lalu? Bangga? Lalu? Cobalah tanya ke dalam hati terdalammu. Pujian semacam itu apakah tulus?

Hidup sederhana menjadikanmu merdeka, meletakkan nilai pada diri dan pribadimu bukan pada apa yang kamu kenakan. Maka, tak masalah pakai baju bekas, justru kamu sedang menjaga bumi dari kekusutan sampah-sampah dan memberikanmu kedewasaan hidup esensial.

 

 

Ikuti tulisan menarik Apri Damai Sagita Krissandi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler