x

Iklan

Nadhila Hibatul

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Desember 2022

Selasa, 28 Maret 2023 06:41 WIB

Kubah: Sepenggal Kisah Kader PKI

Selalu menarik membincang karya sastrawan senior Indonesia. Termasuk menelaah karya yang dihasilkan puluhan tahun silam, karena kualitasnya yang sudah diakui. Tidak terkecuali dengan Kubah, salah satu novel monumental karya Ahmad Tohari tahun 1980. Apa sisi menarik karya yang pernah dialihbahasakan dalam bahasa Jepang (1993) dan bahasa Spanyol (2015) ini?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selalu menarik rasanya, manakala kita membincang karya dari sastrawan senior Indonesia. Meskipun karya yang dihasilkan sudah berusia puluhan tahun, kiranya karya itu tak akan lekang oleh zaman untuk terus dibicarakan. Tidak terkecuali dengan Kubah, salah satu novel monumental karya Ahmad Tohari tahun 1980 yang pernah dialihbahasakan dalam bahasa Jepang (1993) dan bahasa Spanyol (2015).

Kubah adalah karya Ahmad Tohari yang saya khatamkan setelah membaca kumpulan cerpen (kumcer) Senyum Karyamin. Usai membaca keduanya, saya menjadi jatuh hati pada gaya penceritaan Pak Tohari dan mulai mencari-cari karya lain miliknya. Meski kemudian novel-novel sastrawan Banyumas ini banyak yang membuat saya terkesima, tetapi bagi saya Kubah-lah yang paling “membekas” hingga saat ini.

Seperti biasa, dalam novel Kubah, Tohari hadir dengan sastra rural yang lekat dengan kehidupan masyarakat pedesaan. Novel ini adalah sebuah potret kehidupan seorang pemuda dari Desa Pegaten, Jawa Tengah, yang tergiur menjadi aktivis politik Partai Komunis Indonesia (PKI) karena bara api dendam masa lalunya. Melalui Kubah, Tohari mengisahkan tiga fase kehidupan kader PKI tersebut, mulai dari fase perekrutannya, fase kejayaannya, hingga fase “keruntuhannya” yang dibarengi dengan penyesalannya atas dosa sejarah terhadap masyarakat di desa tempatnya tinggal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karman, laki-laki asal Desa Pegaten, adalah tokoh fiktif yang dipilih Tohari sebagai penggerak cerita. Cerita di dalam Kubah bertumpu pada fragmen kehidupan Karman sejak kanak, remaja, dewasa, hingga usianya menua. Menariknya, dalam Kubah yang notabene tidak setebal novel-novel Tohari lainnya (baca: Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk dan Bekisar Merah), Tohari berani memainkan alur.

Dalam mengisahkan kehidupan tokoh Karman, Tohari menggunakan teknik sorot balik. Dengan teknik ini ceritanya memang terkesan lompat-lompat, tetapi di lain sisi membuat saya sebagai pembaca tidak bosan dalam meniti alurnya. Saat membuka halaman pertama, pembaca disuguhkan dengan cerita kekhawatiran dan keraguan seorang lelaki yang baru saja melepas masa pengasingannya di Pulau Buru. Ironi yang tergambar di bab pertama novel ini menjadi sebuah suspense tersendiri yang mampu menggali rasa penasaran para pembaca. Lalu di lembar-lembar berikutnya, alur cerita dimundurkan, pembaca diberi penjelasan latar belakang tokoh utama dan alasan mengapa ia sampai diasingkan. Alur cerita kembali dimajukan di beberapa lembar terakhir hingga pembaca mendapat ending dari kisah ini.

Selain permainan alurnya yang menarik, Kubah menjadi ekstotis karena menyoal kudeta politik PKI tahun 1965 di tanah air. Tohari mengisahkan bagaimana partai golongan kiri itu menanamkan pengaruhnya di desa-desa untuk menggaet massa sebanyak-banyaknya. Melalui apa? Melalui kader-kader yang menyaru sebagai tokoh-tokoh masyarakat agar dapat mengambil hati para akar rumput, sebagaimana terjadi di Desa Pegaten, tempat Karman lahir dan dibesarkan.

Berbicara tentang PKI, sampai saat ini barangkali masih membuat bulu kuduk kita meremang. Tidak heran, sebab masyarakat Indonesia memiliki trauma kolekif terhadap partai berhaluan kiri ini. Sejarah mencatat, dua pemberontakan besar pernah dilakukan oleh PKI dalam upaya mengkudeta pemerintahan Indonesia, yakni (1) Pemberontakan di Madiun pada tahun 1948; (2) Pemberontakan G30S/PKI tahun 1965. Pemberontakan terakhir itulah yang merusak citra PKI dan menyisakan trauma mendalam bagi masyarakat Indonesia. Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto selanjutnya sedikit banyak berperan dalam mengkonstruksi sikap antipati masyarakat Indonesia terhadap PKI. Pada era ini segala hal yang berbau PKI harus ditumpas sampai ke akar-akarnya hingga lenyap dari tanah air.

Dalam buku G30S dan Kejahatan Negara (2015), Siaw Giok Djin mengatakan sejak 2 Oktober 1965 Jenderal Soeharto melakukan penghancuran secara sistematik terhadap PKI dengan kekuatan militer. Giok Djin mencatat bahwa lebih dari sejuta orang yang dianggap menganut paham komunisme dibunuh secara kejam, sekitar 500 ribu orang ditahan (puluhan ribu diantaranya ditahan belasan tahun tanpa proses hukum dan sebelas ribu diantaranya dibuang ke Pulau Buru), dan jutaan orang yang dianggap berhaluan politik kiri mengalami persekusi. Menurut Giok Djin, orang-orang yang terlibat dalam kegiatan PKI ini sampai dengan anak turunnya didiskriminasi, diasingkan, dan hidup sebagai elemen yang membahayakan bagi masyarakat.

Hal itulah yang kemudian coba direkam oleh Tohari dalam Kubah. Meski dalam penarasiannya, saya tidak menampik bahwa Tohari masih berat sebelah. Berat sebelah yang saya maksud di sini menyangkut keberpihakan si penulis. Lewat premis ceritanya, kita tahu bahwa Pak Tohari juga memiliki sikap antipati terhadap PKI. Itulah yang barangkali membuat Gus Dur mengatakan kalau Kubah “terlalu hitam putih”.

Lalu bagaimana dengan Anda? Bagaimana akan menilai novel Kubah? Tentu penilaian itu dapat Anda berikan setelah selesai membacanya. Selamat membaca!

Ikuti tulisan menarik Nadhila Hibatul lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu