x

Iklan

Firmanda Dwi Septiawan firmandads@gmail.com

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Senin, 10 April 2023 06:59 WIB

Kisah Penjajahan di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya

Kalimas merupakan daerah sungai kecil yang berada di utara Kota Surabaya. Walaupun letaknya berada disebuah sungai, namun daerah ini merupakan daerah ramai perdagangan pada abad XIX. Banyak kapal-kapal kecil bersandar menuju sungai ini untuk berjualan dan melancarkan segala jenis bentuk perekonomian di dalam Kota. Kapal besar tidak bisa masuk karena letak sungai yang cenderung kecil dan perairan yang dangkal membuat aktivitas bongkar muat terpaksa dilakukan di ujung Utara Kota Surabaya tempat bersandar kapal besar tersebut

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pelabuhan Surabaya Masa Hindia Belanda dan Republik Bataafsch

Sejak Desember 1794 hingga Januari 1795 Belanda telah berhasil diduduki oleh Prancis dan memulai sebuah rezim baru yang didominasi oleh kekuasaan Prancis. Di tahun berikutnya dewan yang memiliki otoritas tertinggi VOC di Nusantara, yaitu Heeren XVII atau Heeren Zeventien telah dibubarkan dan digantikan oleh komite yang baru. Pada 1 Januari 1800 secara resmi VOC dibubarkan dan segala hal yang menyangkut kekuasaan di Nusantara dialihkan kepada Hindia Belanda (Ricklefs, 2001, p. 144). Hindia Belanda merupakan negara koloni yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda. Dengan adanya Hindia Belanda, Kerajaan Belanda mempunyai kekuasaan langsung terhadap Nusantara melalui perantara Hindia Belanda. Tidak seperti sebelumnya yang bersifat tidak langsung karena Nusantara dikuasai oleh VOC yang merupakan perusahaan dagang multinasional.

Untuk mengurusi masalah koloni-koloni Belanda dibentuk Bataafsche-Indië Republik. Kemudian Herman Willem Daendels menjadi gubernur jenderal untuk Hindia Belanda menggantikan Albertus H. Wiese pada 14 Januari 1808 (Poelinggomang, 2016, p. 45). Daendels adalah seorang perwira tinggi militer. Sehingga ketika diamanahi tugas untuk memimpin Hindia Belanda. Opsi untuk meningkatkan kekuatan ofensif dan defensif militer di Hindia Belanda terutama Jawa jadi salah satu yang diprioritaskan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Instruksi pertamanya adalah untuk membenahi masalah pertahanan, namun sebelumnya dia telah diarahkan untuk berfokus pada hal tersebut. Dia juga diharuskan untuk melakukan penyelidikan terhadap reformasi yang telah direkomendasikan pada 1803. Daendels tidak dapat melakukan perubahan tanpa izin dari tanah utama, meskipun telah mendapatkan kekuasaan untuk melakukan hal tersebut jika diperlukan, yaitu untuk tidak menghiraukan dewan (Furnivall, 2010, p. 64).

Di sisi lain, Daendels juga mengintervensi Vorstenlanden untuk memperkuat pertahanan Hindia Belanda di lini bawah atau lokal. Pada 1803 telah dibentuk Barisan Legiun Mangkunegara yang sebenarnya adalah kelanjutan dari Prajurit Mangkunegaran yang dibubarkan pada masa wafatnya Mangkunegara I. Secara tidak langsung pasukan lokal Jawa dengan beberapa sentuhan militerisme Eropa, ditempatkan sebagai pasukan tambahan untuk kepentingan militer Hindia Belanda dan untuk mengatasi pemberontakan di tingkat lokal ataupun nasional. Legiun Mangkunegara mendapatkan bantuan dana dari Hindia Belanda. Pada tahun 1808 jumlah pasukan dari Legiun Mangkunegara sejumlah 3 golongan barisan dengan kekuatan sekitar 1.150 orang (Wasino, 2014, pp. 29–30). Mangkunegara II yang menerima perintah tersebut langsung dari Daendels diberi pangkat Kolonel dan Legiun mendapatkan bantuan dana sebesar 10.000 rijkdaalders setiap tahunnya (Ricklefs, 2001, p. 145).

Karena prioritas Daendels terhadap masalah militer. Banyak sekali tulisan dan penelitian yang membahas hal tersebut. Namun hal itu berakibat kepada sedikitnya tulisan dan penelitian yang membahas perkembangan ekonomi di masa Daendels. Terutama pada tingkat lokal seperti pelabuhan atau kota.

Pelabuhan Surabaya dalam Genggaman Inggris

Kekuasaan Inggris mencengkeram Nusantara sebagai bentuk bantuan Inggris terhadap Belanda yang dikuasai oleh Prancis. Prancis juga mengincar koloni Belanda, salah satunya adalah Hindia Belanda. Untuk itulah, Inggris mulai menduduki koloni Belanda. Mulai dari Tanjung Harapan pada 1806, Maluku pada 1810, dan terakhir yang paling diincar adalah Jawa pada 1811 (Poelinggomang, 2016, p. hlm. 45).

Pada masa pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Letnan di wilayah Hindia Belanda. Terdapat pajak-pajak yang diterapkan pada beberapa komoditas spesifik. Seperti rincian pajak impor (1) pajak 8% untuk komoditas dan barang dagangan yang diimpor lewat laut, tidak ditentukan dalam klausa selanjutnya mengandung pengecualian, (2) pajak 15% untuk kain dan barang dagangan yang diimpor dari Tiongkok, Kamboja, Thailand, dan Pelabuhan Bumiputra Bagian Timur (Native Eastern Port), (3) pajak 5% untuk kain dari pabrik di Jawa, (4) pajak 1,5 Rix Dollar perak per koyang garam, (5) pajak 2 Rix Dollar perak per pikul pada Tembakau Tiongkok dari Batavia dan 10% tambahan dari tempat lain, (6) pajak 2,5 Dollar Rix perak per leaguer Arak, (7) penarikan kembali sebesar 3% pada semua barang yang sebelumnya telah membayar bea masuk di Batavia, setelah sertifikat telah dibuat dari pemungut efek, (8) pajak 16% dari semua komoditas Eropa dan Tiongkok pada semua kapal, yang diimpor pada semua kapal Asia dan asing lainnya, dengan pengecualian kapal milik Pelabuhan Bumiputra Bagian Timur di Sungai Arakan (Native Ports Eastward of the Araccan River), (9) tambahan pajak 3% pada semua barang dagangan Tiongkok yang tidak dibawa langsung dari Tiongkok, dan (10) indulgensi diberikan kepada jung Tiongkok, berupa pembayaran sejumlah tetap di Batavia sebagai pengganti pajak, tidak mencakup Pelabuhan Timur (Eastern Port)—tetapi mereka harus membayar pajak 5% sesuai dengan harga yang telah disesuaikan dengan nilai komoditas (“Samarang and Sourabaya,” 1812).

Adapun rincian pajak ekspor antara lain (1) 5 Rix Dollar perak per koyang pada ekspor beras, (2) gula batu, 60 stivers perak per pikul—gula, yang telah ditumbuk atau dihaluskan, sebesar 30 stivers perak per pikul, dan garam 1,5 Rix Dollar perak per koyang, (3) sarang burung walet sebesar 16% dan seperti banyak yang diimpor di Batavia, penarikan kembali diperbolehkan sebesar 6%, (4) benang kapas sebesar 15%, tetapi pada impor ke Batavia, penarikan kembali sebesar 5% diperbolehkan, (5) arak sebesar 5 Rix Dollar perak per leaguer, dan (6) semua komoditas dan barang dagangan yang tidak dimaksud di atas dan tidak membayar pajak impor, dikenakan pajak ekspor sebesar 4% (“Samarang and Sourabaya,” 1812).

Menurut Raffles sumber pendapatan utama untuk negara adalah pendapatan yang ditarik dari tanah atau lebih tepatnya sewa tanah. Sewa tersebut bernilai dalam bentuk tunai sejumlah 40% dari hasil kotor tanah. Menurut perkiraan Raffles, jumlah tersebut setara dengan semua pajak internal, kontribusi, pengiriman dengan tarif yang tidak sesuai, dan layanan paksa, baik kepada otoritas Eropa atau pribumi. Baik yang dulunya adalah penggarap maupun bukan. Bagi yang bukan penggarap maka dikenakan pajak kapitasi (Furnivall, 2010, p. 72).

Hal tersebut menunjukkan bahwa pada masa Raffles lebih bertumpu kepada pajak untuk memungut hak-hak pemerintahannya itu. Raffles yang seorang penentang perdagangan budak juga membuat peraturan untuk melarang perdagangan budak di wilayah yang ia kuasai. Tak terkecuali di Hindia Belanda pada 18 November 1812 (Poelinggomang, 2016, p. 46).

Sistem pajak yang digunakan Raffles ini dirancang sedemikian rupa untuk menguntungkan perdagangan dan pelayaran dari kapal-kapal milik Inggris. Kapal dengan bendera Inggris dikenakan pajak sebesar 30% sedangkan dari kapal Belanda dan negara lain dikenakan sebesar 60% (Furnivall, 2010, p. 94). Jumlah tersebut 2 kali lipat dari pajak yang dikenakan untuk kapal Inggris. Hal ini pun mendorong banyak kapal-kapal Inggris untuk singgah ke Hindia Belanda, terutama di kota-kota pelabuhan besar, salah satunya Surabaya.

Referensi :

Ricklefs, M. C. (2001). A History of Modern Indonesia since c . 1200 (3rd ed.). Palgrave.

Samarang and Sourabaya. (1812). Java Government Gazette.

Sari, N. I. (2007). Pasang-Surut Aktivitas Pelabuhan Kalimas Surabaya Tahun 1870-1930. Universitas Airlangga.

Sulistiyono, S. T. (2017). Peran Pantai Utara Jawa dalam Jaringan Perdagangan Rempah.

Tjiptoatmodjo, F. A. S. (1983). Kota-Kota Pantai di Sekitar Selat Madura (Abad ke-17 sampai Medio Abad ke-19). Universitas Gadjah Mada.

Ikuti tulisan menarik Firmanda Dwi Septiawan firmandads@gmail.com lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB