x

Aksi crisis iklim 350.org Indonesia di depan kator Kementerian Investasi di Hari Bumi 2022

Iklan

Cak Daus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 Juli 2021

Kamis, 4 Mei 2023 13:09 WIB

Potensi Korupsi Proyek Transisi Energi di JETP

Komposisi pendanaan transisi energi dalam skema JETP masih gelap. Pembiayaan JETP akan terbagi 50:50 antara pembiayaan publik dalam bentuk pinjaman lunak, hibah, dan jaminan dan private. Celakanya hingga kini belum jelas prosentase pembiayaan proyek yang akan didanai hibah, investasi dan utang luar negeri. Pengelolaan dana JETP ini sungguh berada di ruang yang gelap.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Jangan biarkan korupsi menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia,” begitu ungkap Proklamator Kemerdekaan Indonesia Bung Hatta di tahun 1961. Korupsi di Indonesia memang memprihatinkan dari dulu hingga kini. Bahkan beberapa waktu yang lalu, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pun mengungkapkan korupsi terjadi di hampir semua sektor. Sebelumnya, laporan Transparency Internasional di 2023 menunjukkan, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia menurun 4 poin dari tahun sebelumnya.

Dapat dikatakan saat ini semua sektor menjadi rawan korupsi, termasuk sektor energi. Terlebih saat ini, sektor energi sedang memiliki mega project transisi energi. Bulan November 2022 lalu, bertepatan dengan Konferensi Tingkat Tinggi G20, negara-negara yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) meluncurkan kemitraan dengan Indonesia, untuk memobilisasi pendanaan sebesar USD 20 miliar guna transisi energi.

Mobilisasi pendanaan ini berasal dari negara-negara anggota IPG sebesar USD 10 miliar, sedangkan sisanya akan dimobilisasi melalui pendanaan swasta oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ). Pertanyaannya adalah adakah celah korupsi dalam proyek transisi energi yang didanai melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) itu?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Korupsi selalu terjadi di ruang yang gelap. Korupsi tidak mungkin terjadi di ruang yang terang benderang. Di ruang yang berlimpah cahaya akan banyak mata yang bisa mengawasi. Salah satu cara menjadikan sebuah ruang menjadi terang adalah membuka pintu dan jendela agar cahaya matahari masuk. Dalam konteks korupsi, ketiadaan keterbukaan informasi adalah celah bagi terjadinya korupsi. Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah bagaimana kondisi keterbukaaan informasi dalam konteks JETP?

Bulan Februari tahun ini pemerintah meresmikan Sektretariat JETP. Salah satu tugas dari sekretariat itu adalah menjadi pusat informasi terkait JETP. Terbentuknya Sekretariat JETP tentu membawa harapan pengelolaan dana transisi energi itu menjadi lebih terbuka. Namun, hingga kini nampaknya keterbukaan informasi masih menjadi pekerjaan rumah Sekretariat JETP.

Hingga kini misalnya, komposisi pendanaan JETP masih gelap. Pembiayaan JETP akan terbagi 50:50 antara pembiayaan publik dalam bentuk pinjaman lunak, hibah, dan jaminan dan private. Celakanya hingga kini, belum jelas prosentase pembiayaan proyek yang akan didanai hibah, investasi dan utang luar negeri.

Berkaca pada Afrika Selatan yang lebih dulu mendapatkan pendanaan JETP, ternyata komposisi pendanaan JETP di Afrika Selatan mayoritas pendanaan dalam bentuk pinjaman lunak dan pinjaman komersial. Sementara dana yang berbentuk hibah jumlahnya tak sampai 3% dari total US$ 8,5 miliar atau hanya sekitar US$ 255 ribu. Akankah Indoensia akan mengikuti jejak Afrika Selatan dalam komposisi pendanaan JETP?

Keterbukaan informasi menganai komposisi pendanaan JETP di Indonesia penting bagi publik, karena pada dasarnya publiklah yang akan membayar setiap dollar utang luar negeri yang dibuat pemerintah.

Persoalan keterbukaan informasi lainnya dalam JETP juga terkait seputar proyek yang didanainya. Kementerian ESDM sering mengungkapkan bahwa proyek JETP, salah satunya akan digunakan untuk membiayai pensiun dini sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.

Namun, hingga kini belum Kementerian ESDM belum membuka informasi mengenai kajian tentang PLTU-PLTU yang akan dipensiunkan. Kriteria mengenai PLTU yang akan dipensiunkan juga masih gelap. Padahal kriteria yang tidak jelas dari PLTU yang akan dipensiunkan bisa menjadi ladang pesta pora para elite politik dan ekonomi yang korup.

Bukan hanya terkait dengan PLTU, JETP juga akan membiayai pengembangan energi terbarukan. Namun hingga kini belum dibuka informasinya tentang energi terbarukan yang seperti apa yang akan dikembangkan skema pembiayaan JETP. Sama seperti dalam proyek pensiun dini PLTU, jika informasi terkait energi terbarukan yang akan dikembangkan ini tidak dibuka ke publik, akan berpotensi menjadi ajang pesta pora para koruptor. Masih segar dalam ingatan publik tentang kasus korupsi PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) di Kalimantan Timur yang ramai diberitakan di media massa di 2022.

Alih-alih membuka informasi terkait energi terbarukan yang akan dibiayai JETP,  Kementerian ESDM justru membuka wacana untuk memasukkan proyek pembangkit gas fosil dalam skema pendanaan JETP. Padahal gas fosil jelas-jelas bukan energi terbarukan.

Bukan hanya itu, pemerintah juga membuka peluang mengadopsi teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture storage/CCS). Teknologi CCS memungkinkan untuk memperpanjang penggunaan energi fosil karena emisinya telah ditingkap. Padahal berbagai penelitian di luar negeri menyebutkan bahwa teknologi itu tidak efektif dan mahal. Dari sini publik bisa bertanya lebih jauh lagi, siapa elite ekonomi yang akan diuntungkan dengan usulan yang tidak masuk akal itu?

Setiap korupsi selalu merugikan kepentingan publik, termasuk bila korupsi terjadi di dalam skema JETP. Transisi energi dipastikan gagal dan publik, sebagai pembayar pajak harus tetap membayar utang luar negeri yang dibuat dari skema proyek JETP ini. Pertanyaannya tentu saja apakah Sekretariat JETP menyadari celah korupsi program JETP bila dikelola tanpa ada keterbukaan informasi publik?

Orang-orang yang duduk di Sekretariat JETP tentu bukan orang sembarangan. Mereka pasti mengetahui bahwa bila pengelolaan program JETP akan rawan korupsi bila dilakukan tanpa ada keterbukaan informasi. Persoalannya adalah mengetahui saja tidak cukup bila tidak ada aksi nyata untuk membuka informasi publik terkait JETP.

Publik yang berkepentingan terhadap keberhasilan program transisi energi yang dibiayai JETP tentu tidak ingin program itu hanya akan jadi ladang korupsi baru. Untuk itulah publik tidak bisa menunggu niat baik Sekretariat JETP membuka informasi. Publik harus mendesaknya. Tanpa desakan publik, keterbukaan informasi dalam program JETP hanya akan menghiasi laporan-laporan kepada negara donor, tanpa ada implementasinya di lapangan.

 

Ikuti tulisan menarik Cak Daus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler