x

Dua orang wartawan di sebuah kantor media sedang bekerja keras mengejar tenggat. (Foto: Tulus Wijanarko)

Iklan

Irwan

Irwan E. Siregar
Bergabung Sejak: 19 Januari 2022

Rabu, 10 Mei 2023 10:27 WIB

Perjalanan Berliku Sebuah Features

Dari liputan di lapangan hingga menghasilkan sebuah karya tulis dibutuhkan perjalanan cukup panjang. Mulai dari mengamati fakta, memilah data, hingga bergelut dengan teknis penulisan di meja kerja. Simak perjalanan features tentang kelapa berikut ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

JELANG puasa lalu diundang PWI Riau berkunjung ke Kabupaten Indragirihilir (Inhil), Riau. Acaranya ekspedisi jurnalistik dalam rangka Hari Pers.

Para peserta diminta membuat tulisan tentang perkelapaan di kawasan tersebut. Inhil memang terkenal sebagai daerah penghasil kelapa terbesar di tanahair. Tulisan akan diikutkan dalam Lomba Karya Tulis Jurnalistik Ali Kelana, PWI Riau. Pemkab Inhil juga akan membukukan semua naskah yang masuk.

Usai melakukan ekspedisi baru mulai bingung merangkumnya dalam tulisan. Seperti diketahui, tulisan features yang bagus adalah yang kaya dengan deskripsi. Bak kata orang, membaca tulisannya seperti menonton film. Semuanya terpapar dengan jelas dan menarik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Awalnya coba membuat lead tulisan tentang petani kelapa. Tapi kayaknya bahannya kurang. Padatnya acara ekspedisi membuat panitia tidak sempat lagi membawa peserta ke petani kelapa.

Teringat, malamnya, disebabkan bupati sedang tugas ke luar daerah, peserta pun diajak makan malam di sebuah rumahmakan. Karena kendaraan tidak tersedia, kami beramai-ramai naik odong-odong bermuatan 40-an yang mangkal di dekat tempat penginapan.

Dari odong-odong yang tanpa dinding, terlihat semua pemandangan keluar. Jadi terkagum-kagum melihat kota Tembilahan ini ternyata cukup gemerlap pada malam hari. Rumah-rumah banyak yang disulap jadi tempat berjualan. Bengkel sepedamotor, tukang pangkas, dan pertokoan tampak tetap buka meski hari telah malam. Sedangkan kendaraan seakan tanpa henti berseliweran.

Jadi terbersit dalam pikiran, mengapa bukan ini saja yang dijadikan lead. Setidaknya bisa menggambarkan bahwa dari hasil kelapa mampu menggerakkan nadi kehidupan masyarakat dengan begitu dinamis. Maklum saja, sekitar 70 persen warga mengandalkan hidup dari kelapa.

Saya lalu membandingkan sekilas dengan kota minyak Duri, yang tak semeriah Tembilahan di waktu malam. Padahal Duri yang dihuni puluhan ribu pekerja perminyakan berada di Lintas Timur Sumatera, dan tak jauh dari Pekanbaru, ibukota provinsi. Sedangkan Tembilahan berada di kawasan paling ujung yang berbatasan dengan Provinsi Kepri dan Jambi. Dari Pekanbaru ditempuh selama delapan jam perjalanan darat. Sebelum ada jalan aspal ke Tembilahan harus menyusuri Sungai Indragiri mulai dari Peranap dan kota Rengat.

Menariknya, kendati berada di pelosok, kehidupan masyarakatnya boleh dikatakan sudah tidak "kampungan" lagi. Telah menjadi pemandangan biasa warga yang berseliweran di jalanan tampak mentreng dengan sepatu bermerek semacam Adidas, Nike, Puma. Kaum wanita bergaun impor dan memakai tas mewah Hermes, Chanel, Cristian Dior, dan sebagainya. Meskipun barang mewah ini dibeli di deretan penjual barang bekas PJ atau Pasar Jongkok yang sudah buka di sana sejak puluhan tahun lalu.

Kafe Menjamur

Karena belum diatur dalam tata niaga, harga kelapa memang tidak stabil. Harga tinggi kalau permintaan banyak. Saat ini disebut harga sedang anjlok. Namun, seperti saya ungkapkan dalam tulisan, hal ini tidak begitu berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Buktinya, kafe menjamur di mana-mana dan selalu ramai pengunjung. Begitu pula dengan rumah makan dan penjual penganan lainnya.

Sayangnya, hingga kini masyarakat masih menggantungkan hidup dari kelapa semata. Memang sebagian telah mengolah kelapa menjadi kopra. Namun boleh dikatakan nilai tambah yang didapat masih terbilang kecil. Umumnya kelapa dijual bulat, sehingga batoknya tidak bisa dikumpulkan. Sabutnya dibiarkan teronggok menjadi sampah.

Padahal tak jauh di seberang, masih di kabupaten yang sama, telah berdiri kilang pengolahan sabut kelapa sejak belasan tahun lalu. Hasilnya berupa serat yang dinamai cocofiber diekspor ke Cina. Sedangkan limbah cocopeat dijual ke perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk media tanam bibit akasia dan eukaliptus.

Saat ini di Riau setidaknya ada dua pabrik pulp yang mengelola HTI. Mereka terpaksa mendatangkan cocopeat dari Sumatera Utara dan Lampung. Ironis, memang. Padahal sabut kelapa sebagai bahan bakunya masih jadi sampah yang mengganggu.

Untuk itu, dalam tulisan saya memberi masukan kepada masyarakat dan pemerintah setempat agar melakukan studi banding ke Kisaran, Asahan, Sumatera Utara. Di kota kecamatan ini kelapa telah dikelola secara maksimal.

Panen kelapa diambil sabutnya. Kelapa diserahkan kepada kaum ibu untuk dikoncet atau dipisahkan dari batok. Kelapa putih bulat tanpa batok dieskpor ke Malaysia. Sisa kelapa di batok dikeluarkan lalu dipres menjadi minyak. Batoknya dijadikan arang. Sedangkan sabutnya dibawa ke kilang.

Saat ini di Kisaran ada delapan kilang sabut yang berproduksi. Sebelum Covid-19 hasil cocofibernya laris manis diekspor ke Cina. Kini mereka masih fokus menghasilkan cocopeat untuk sebuah perusahaan HTI di Porsea, Tapanuli Utara, dan dua di Riau. Sedangkan cocofiber disimpan dulu karena tidak akan lapuk sampai puluhan tahun.

Menariknya, luas kebun kelapa di Asahan yang hanya 30-ribuan hektar mampu untuk menyuplai kebutuhan delapan kilang sabut. Sementara di Inhil yang lebih 300-ribuan hektare sabutnya masih jadi onggokan sampah semata.

Begitulah kisah perjalanan pembuatan sebuah features berita. Semoga bisa menarik keinginan orang untuk membacanya. (irwan e siregar)

Ikuti tulisan menarik Irwan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler