x

Hanuman dan Trijata

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Sabtu, 27 Mei 2023 13:43 WIB

Panggungnya Milik Rama-Sinta, Cintanya Milik Hanuman-Trijata

Hanuman tertarik pada Trijata lantaran Trijata memang lebih hangat ketimbang Sinta. Trijata lebih manusiawi. Sebagai kera, Hanuman rindu pada bau manusia. Hanuman tak mencium bau manusia pada Sinta. Baginya bau Sinta terlalu bau bidadari.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada 11 September 2022 saya dan keluarga mendapat undangan untuk menghadiri pernikahan salah satu kerabat di Surakarta. Acara diselenggarakan di Puri Dalem Pangeran Kusumoyudo III yang sekarang telah dialihfungsikan menjadi Hotel Kusuma Sahid Prince Solo.

Sebagaimana acara pernikahan pada umumnya, acara berlangsung sangat meriah lengkap dengan segala hiburan khas Surakarta. Karena di dalam penuh sesak, saya memilih duduk di teras luar pendopo. Sambil lirak-lirik kanan kiri mengagumi konstruksi bangunan bernuansa keraton tersebut. Unsur klasiknya kental, seluruh ornamennya megah, kayu jatinya tua. Dengan suara gemericik air yang sayup-sayup teredengar dari taman depan, segalanya lengkap sudah.

Setelah beberapa menit menikmati suasana yang jarang-jarang saya rasakan itu, pandangan saya berhenti pada satu titik. Dua meter di depan pintu samping pendopo utama, ada dua buah patung warna hitam berlatar belakang putih yang sangat menyita perhatian. Dua buah patung itu terdiri dari tiga tokoh. Patung pertama adalah seekor kera-manusia yang walaupun patung tersebut berwarna hitam, ciri-cirinya tetap mudah dikenali, Hanuman. Yang kedua adalah patung seorang wanita yang sedang menyisir rambut wanita lainnya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Untungnya sebelumnya saya sempat membaca buku yang berjudul Rahvayana karangan Sujiwo Tedjo. Sehingga patung wanita itu bisa saya kenali dengan melihat hubungannya dengan patung Hanuman di sebelahnya. Dia adalah Trijata, anak dari Gunawan Wibisana yang ditugasi menemani Dewi Sinta selama diculik Rahwana di taman Argasoka. Sedangkan wanita yang disisiri rambutnya tidak lain adalah Dewi Sinta itu sendiri, istri Rama.

Begitu saya tahu siapa tokoh-tokoh itu saya teringat kisah cinta mereka. Bukan-bukan, bukan kisah cinta Rama-Sinta yang terkenal itu tetapi kisah cintanya Hanuman-Trijata. Bagi pembaca Ramayana versi India adegan-adegan yang akan saya ceritakan ini mungkin tidak pernah ada. Ini adalah sebuah cerita cinta yang tersisihkan, yang terpinggirkan di balik panggung megah Ramayana versi Jawa.

Menurut saya, kisah cinta Hanuman-Trijata jauh lebih mengasyikkan dari kisah cinta Rama-Sinta itu sendiri. Hanuman-Trijata walaupun berwujud kera dan keturunan raksasa, cintanya lebih apa adanya dibandingkan dengan Rama-Sinta yang cintanya begitu rumit dan politis.

Kurang lebih begini penggalan kisah cinta Hanuman-Trijata: 

Malam itu, di atas lautan ada dua sosok terbang. Sebuah cahaya putih melesat meninggalkan jejak awan yang terbelah karenanya. Adalah Hanuman dengan yakinnya mendekap Trijata yang bimbang. Kecepatan terbang Hanuman yang bak bintang jatuh itu membuat Trijata takut sekaligus heran. Jauh di bawah mereka ada ribuan kera yang sedang membangun jembatan, membendung lautan. Kera-kera itu mengira bahwa mereka berdua adalah bintang jatuh sehingga ribuan kera itu bersukacita. Bintang jatuh merupakan pertanda kemenangan Rama. 

"Trijata, apa yang membuatmu memberanikan diri datang ke Gunung Maliawan?" tanya Hanuman sambil mendekap erat wanita yang diam-diam dicintainya. "Pelankan terbangmu Hanuman, engkau tidak akan mendengarkan jawabanku sebagaimana aku tidak dapat mendengar jelas suaramu."

Maka turunlah kecepatan terbang mereka dan Hanuman mengulangi pertanyaannya. "Tentu karena aku ingin melihat ayahku, Wibisana dan perintah dari Dewi Sinta untuk memastikan kondisi Rama adalah dua alasan yang melebihi keberanianku. Itu adalah bukti bakti seorang anak dan patuhnya seorang hamba," ucap Trijata sembari menutupi alasannya yang ketiga yaitu kerinduannya kepada sosok yang mendekapnya itu.

Jauh-jauh dia datang dari Alengka ke Gunung Maliawan menantang laut dan bahaya pasukan kera bukan hanya untuk Wibisana dan Dewi Sinta, melainkan juga lebih karena rasa cinta dan rindunya pada Hanuman, sosok yang sekarang membawanya terbang. Sejak pertemuan pertamanya di taman Argasoka, Trijata telah menjatuhkan cintanya kepada Hanuman, tapi ia malu mengatakan hal itu. Hanuman sendiri tahu apa yang disimpan Trijata dalam hatinya.

"Apakah hanya itu, Trijata? Aku rasa ada alasan lain selain kebaktian dan kepatuhan." kata Hanuman.

"Apa misalnya?"

"Semisal cinta."

Mendengar jawaban Hanuman, Trijata semakin penasaran. "Engkau mengerti cinta, Hanuman?" Tiba tiba dekapan Hanuman terasa lebih erat dibandingkan sebelumnya. Kepekaan Trijata membuatnya buru-buru menyambung "Maaf, bukan maksudku untuk merendahkanmu, aku hanya ingin tahu sejauh mana engkau mengerti cinta."

Dekapan wanara putih itu pun kembali seperti semula. 

"Aku tidak mengerti cinta selain wujud cinta seorang ibu kepada anaknya, yaitu cintanya ibuku, Dewi Anjani, kepadaku. Namun sejak aku bertemu Rama aku mengenal bentuk cinta yang lain. Cinta yang sebegitu besarnya hingga mempu membuat Rama berani berperang melawan Rahwana yang terkenal tiada tanding. Ia pemuda yang gagah perkasa. Pikirannya bijak, fisiknya sempurna dan dharmanya bagus. Tentu lebih mudah bagi Rama untuk pulang saja dari pengasingannya dan mempersunting istri lagi. Lagipula siapa yang mampu menolak lamarannya? Tapi dia tidak memilih itu, dia tetap memilih menyelamatkan Dewi Sinta dengan konsekuensi harus perang dengan negara Alengka."

"Namun Trijata," Hanuman melanjutkan, "Begitu aku diperintahkan untuk menjenguk Dewi Sinta dengan pralambang cincin yang kubawa, kekagumanku kepada Rama pupus sudah. Tiga tahun Trijata, tiga tahun. Bayangkan selama tiga tahun istrimu diculik, engkau hanya mengutus seekor kera dan engkau menitipkan cincin ke kera itu untuk memastikan bahwa istrimu tidak disentuh laki-laki lain. Oh, remuklah hatiku kala menyaksikan kesetiaan Dewi Sinta harus diuji dengan sebuah cincin. Tak akan berarti kesetiaan jika tanpa kepercayaan.

Begitulah Trijata, cinta membutakan siapa saja. Rama meyakini dirinya setia dengan penuh pengorbanan ingin membebaskan Sinta, tetapi ia lupa bahwa ia sendiri menyimpan kecurigaan. Jika demikian halnya, untuk apalah kesetiaan itu dimiliki?”

“Hanuman tertarik pada Trijata lantaran Trijata memang lebih hangat ketimbang Sinta. Trijata lebih manusiawi. Sebagai kera, Hanuman rindu pada bau manusia. Hanuman tak mencium bau manusia pada Sinta. Baginya bau Sinta terlalu bau bidadari.”

― Sujiwo Tejo, Rahvayana: Aku Lala Padamu

Trijata yang semula mengira bahwa Hanuman tidak tahu banyak tentang cinta, kini belajar banyak darinya. Sementara Hanuman menikmati harum rambut Trijata yang tersibak angin, Trijata melihat bahwa lautan berkilau sejernih berlian. "Sadarkah engkau Hanuman, tidak biasanya lautan menjadi sejernih ini. Bisakah engkau merendahkan terbangmu. Aku ingin melihat ikan dan terumbu karang," maka Hanuman menuruti kemauan wanita yang dicintainya itu. 

"Mengapa laut begitu jernihnya sehingga kita dapat melihat segala isinya, sedangkan cinta yang begitu jernih senantiasa harus tersembunyi dan samar-samar?" tanya Trijata dengan sebuah tatapan manja kepada Hanuman.

"Jernihnya laut ini adalah tanda bahwa alam menyetujui perang yang dijalankan oleh Rama atau...," Hanuman memberi jeda, "Tidak hanya lautan, Trijata, segala sesuatu itu akan lebih indah di mata seseorang yang sedang jatuh cinta. Rembulan yang biasa akan bersinar lebih terang, senyum yang biasa akan terasa lebih manis dan mungkin lautan yang biasa akan terlihat lebih jernih."

"Aku ingin menjadi Dewi Sinta" tiba-tiba Trijata berucap.

"Sedangkan aku hanya ingin menjadi Hanuman yang membawa terbang kekasihnya," balas Hanuman.

"Jika begitu, aku lebih memilih menjadi Trijata yang dibawa terbang oleh kekasihnya."

Hanuman menghentikan terbangnya, "Sungguh bahagia hatiku Trijata, benar dugaanku bahwa kedatanganmu ke Gunung Muliawan bukan hanya karena kebaktian dan kepatuhan, melainkan juga karena cinta. Dan karena itu lautan menampakkan keindahannya. Laut mendedarkan segala isinya bukan hanya untuk Rama."

Trijata hanya bisa mengangguk ketika Hanuman melanjutkan "Trijata, bolehkan aku mencintaimu?"

Malam itu mereka memadu kasih di angkasa. Di atas lautan, di bawah purnama. Matahari sungkan kepada Hanuman yang pernah menelannya, menunda terbitnya.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler