x

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mendampingi Presiden Joko Widodo Kunker ke Kebumen, 9 Maret 2023. (Sumber foto:BPMI Setpres/Laily Rachev)

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Jumat, 2 Juni 2023 10:43 WIB

Netralitas Presiden, Independensi Pemilu dan Partisan Parpol

Pembelaan bahwa cawe-cawe untuk hal yang positif itu diperbolehkan sangatlah tidak pas. Berasal dari kazanah bahasa Jawa, cawe-cawe itu memiliki arti ikut campur urusan orang lain. Kata itu sudah terlanjur mempunyai stigma negatif di masyarakat. 

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam ilmu fisiologi seluruh anggota tubuh pada dasarnya merupakan satu kesatuan. Di dalam tengkorak kepala ada otak yang berperan sebagai pusat kendali. Ia memiliki kehandak bebas untuk memerintahkan anggota tubuh lainnya. Ketika otak memerintahkan tangan untuk melambai, akan melambailah si tangan. Sulit bagi anggota tubuh untuk mbalelo terhadap apa yang diperintahkan otak.

Ketika terjadi kontradiksi antara otak dan anggota tubuh, misalnya ketika otak memerintahkan kaki untuk berjalan ke utara, tetapi mulut berkata "Ayo kaki, jalan ke selatan" maka tentu kaki akan kebingungan. Dari kebingungan muncul pertanyaan.

Begitu juga dengan presiden. Sebagai kepala negara ia memiliki kuasa memerintahkan anggota tubuh negara lainnya untuk melakukan kemauannya. Akan terasa janggal apabila seorang presiden mengatakan "tidak" pada satu hal, sedangkan berselang beberapa waktu mengatakan "iya" pada hal yang sama. Wajar saja apabila rakyatnya kebingungan dan bertanya-tanya. Urusan cawe-cawe pilpres misalnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Awal bulan lalu presiden mengatakan bahwa agenda mengumpulkan enam calon pasangan capres-cawapres di Istana Negara itu dalam rangka "tidak cawe-cawe, tetapi hanya koordinasi". Tidak sampai dua minggu berselang presiden mengatakan bahwa ia memang cawe-cawe demi Indonesia menjadi negara maju dan menurutnya apa yang dilakukannya tidak menyimpang dari konstitusi. 

Seorang imam shalat tarawih yang menggunakan kaos oblong juga tidak menyimpang dari konstitusi manapun. Selama aurat tertutup, maka secara administratif-teknis shalatnya sah. Pertanyaannya adalah, apakah pantas?

Pembelaan bahwa cawe-cawe untuk hal yang positif itu diperbolehkan menurut saya juga tidak pas. Karena dari segi bahasa, cawe-cawe berasal dari bahasa Jawa memiliki arti ikut campur urusan orang lain. Kata itu sudah terlanjur mempunyai stigma negatif di masyarakat. 

Dalam adat kebiasaan yang berlaku di Jawa, kata cawe-cawe tidak pernah digunakan untuk menunjuk sesuatu kegiatan yang positif. Tidak ada satupun orang jawa yang berkata "Saya harus cawe-cawe dalam membangun masjid", misalnya. Yang ada adalah "Kamu tidak boleh cawe-cawe dalam urusan rumah tangga orang".

Terlebih lagi alasan seperti presiden boleh cawe-cawe karena program yang dilakukan saat ini harus berlanjut mengingatkan kita bahwa pada suatu sesi wawancara, salah satu capres mengatakan bahwa visi utamanya adalah melanjutkan program dari presiden aktif saat ini. Klop sudah antara apa yang dimaui presiden dengan apa yang ditawarkan capres baru. Bukan kebetulan keduanya diusung oleh partai yang sama. Keduanya juga sama-sama menyebut dirinya sebagai petugas partai.

Jaman Orde Baru, presiden saat itu kerap melakukan konsolidasi-konsolidasi tiap menjelang pemilu. Alasannya kurang lebih sama, demi pembangunan yang bekelanjutan, suksesnya repelita dan terjaganya stabilitas nasional. Ini adalah kunci kemenangan golkar dengan perolehan suara selalu di atas 70%. Dan reformasi menggugat itu semua.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler