x

Tradisi Menangkap Ikan pada Masyarakat Nelayan di Teluk Yotefa. Sesuai adat dilarang memakai pakaian

Iklan

Richard Kalilago

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 Mei 2023

Jumat, 30 Juni 2023 08:18 WIB

Jangan Pisahkan Nelayan dengan Hutan Mangrove di Teluk Yotefa, Jayapura

Hutan Mangrove dan masyarakat nelayan Teluk Yotefa, Kota Jayapura, tak terpisahkan. Ketika mangrove dirusak, seperangkat budaya masyarakat nelayan pun ikut tergeser.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pengantar

Suatu sore, ditahun 1989, di beranda rumah panggung kami yang menghadap langsung hutan mangrove di seberangnya, kami duduk berdiskusi ringan mengenai makanan pada esok hari, lantaran di dapur kami sudah tidak ada lagi ikan.

Bapak F Sanyi ( Harsorry = Ondoafi ), di sebelah rumah kami, sempat mendengar diskusi ringan itu dan bertanya pada kami untuk memastikan, apakah ada ikan atau sudah tidak ada ikan untuk besok hari. Pendek cerita, keesokan harinya, subuh itu, Bapak Sanyi mendayung perahunya keluar teluk Yotefa ke teluk Humboldt. Disana, mulut Bapak Sanyi komat-kamit sebentar memukul-mukul air dengan atribut yang di bawanya dan kemudian mendayung kembali lagi ke kampung dan naik ke rumahnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Beberapa menit kemudian, datanglah rombongan ikan yang masuk ke arah kami dan Bapak  Sanyi memberitahukan kami, bahwa ikan ada itu untuk kalian makan beberapa hari ke depan dan benar sekali, bahwa rombongan-rombongan ikan yang datang di bawah kaki rumah kami. Kami mengambil jaring asli dari Teluk Yotefa untuk menangkap ikan yang sudah datang.

Indonesia sebagai daerah tropis mempunyai potensi keanekaragaman hayati besar di darat maupun laut dan pesisir yang luar biasa. Salah satu unsur keanekaragaman hayati wilayah pesisir adalah hutan mangrove yang sangat menunjang pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan berfungsi sebagai penyangga keseimbangan  ekosistem di wilayah pesisir. Dalam ekologi, mangrove memilki peran sebagai penahan abrasi, penahan angin, penahan banjir,  sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut kedarat. Manfaat yang dimiliki mangrove tidak hanya terletak pada sisi ekologi saja, namun pada sisi kimia yaitu sebagai proses daur ulang yang menghasilkan oksigen dan menyerap karbondioksida.

Selain itu, mangrove juga bermanfaat sebagai tempat berlindung, bersarang serta berkembang biak bagi satwa lainnya, sebagai habitat alami dari berbagai jenis biota darat maupun biota laut. Dari segi ekonomi mangrove dimanfaatkan sebagai penyedia alat keperluan rumah tangga seperti bahan bangunan, kayu bakar dan sebagai pertambakan. Fungsi mangrove bagi manusia tidak hanya terbatas sampai disitu, melainkan mangrove juga berperan penting dalam keperluan industri ; misalnya sebagai bahan baku kertas, bahan baku penyamak kulit dan juga sebagai bahan baku kayu lapis. Ekosistem hutan mangrove merupakan suatu ekosisitem yang tumbuh digaris pantai tropika dan subtropika yang berfungsi pada elemen ekologi, biologi, ekonomi dan sosial budaya manusia. Namun keberadaan mogrove semakin berkurang akibat adanya pengelolaan dan pemanfaatan yang kurang tepat. Permasalahan yang perlu dikaji adalah adanya penurunan jenis mangrove tersebut diakibatkan penyalah gunaan mangrove pada fungsinya.

Dikutip dari laman resmi Kementrian LHK, luas hutan mangrove di dunia adalah seluas 16.530.000 ha. sementara di Indonesia luas hutan mangrove adalah 3.489.140,68 ha atau 23% dari total luas hutan mangrove di dunia. Dengan demikian Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia.

Hutan mangrove di Indonesia memiliki ketebalan 100 M kearah darat  yang dapat mengurangi tinggi gelombang antara 13% sampai 66%. Terdapat 202 spesies tumbuhan mangrove, dimana 43 spesies diantaranya merupakan mangrove sejati (Noor et al. 1999).  

Manusia adalah element terpenting yang menjadi pelaksana adanya pengelolaan dan peman-faatan sumber daya alam yang tersedia dalam lingkungan. Jika dilihat dari konsep antropologi ekologi yang dijelaskan oleh Julian Steward  di dalam The Routledge Encyclopedia of Social and Cultural Antropology dimana fokus antropologi  ekologi adalah terhadap hubungan-hubungan yang kompleks antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Manusia tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan alam.  Besar maupun kecil setiap tindakan baik positif maupun negative, tindakan manusia terhadap lingkungannya tetap akan mengalami dampak. Benturan antara kebutuhan manusia berbanding terbalik dengan pemanfaatan sumber daya dalam lingkungan.  Manusia lebih condong pada keutungan yang didapatkan, tanpa memperhatikan dampak yang ditimbukan terhadap ling-kungannya. Pemanfaatan tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dapat menurunkan mutu lingkungan. Pemanfaatan terhadap mangrove yang dilakukan haruslah seacara bijak  dan sesuai kebutuhan manusia. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan pada manusia. Dari pengetahuan tersebut manusia mampu menjadikan itu sebagai petunjuk dalam bertindak khususnya pada pengelolalaan dan pemanfaatan mangrove. Pengetahuan dapat diperoleh dari hubungan langsung dengan lingkungan alam itu sendiri maupun kontak dengan individu-individu disekitarnya berupa informasi yang disampaikan melalui symbol, baik lisan maupun tertulis yang berisi kategori-kategori, strategi-strategi untuk berhadapan dengan lingkungan tertentu atau memanfaatkannya (Ahimsa-Putra 1986).

Penyebaran Hutan Mangrove di Papua

Tanah Papua, memiliki hutan mangrove terluas di Indonesia, dengan total luasan sekitar 1.324.800 ha atau sekitar 46% dari tutupan mangrove Indonesia (3.489.140,68 ha) berada di tanah Papua. Sebaran tutupan mangrove di Provinsi Papua untuk masing-masing kabupaten/kota dirinci menurut wilayah adat di Papua, dapat dilihat pada tabel di bawah ini  ;

WILAYAH ADAT KABUPATEN LUAS HUTAN MANGROVE (Ha) TOTAL LUAS (Ha)
PRIMER SEKUNDER
MAMBERAMO – TAMI Kabupaten Jayapura 108 - 108
Keerom - - -
Kota Jayapura 272 - 272
Mamberamo Raya 86,102 19,585 105,687
Mamberamo Tengah - - -
Sarmi 1,687 1,515 3,202
   TOTAL MAMTA 88,169 21,100 109,269
SAIRERI Biak Numfor 3,942 221 4,163
Kepulauan Yapen 680 3,028 3,708
Nabire 17,110 578 17,688
Waropen 14,646 10,014 24,660
Supiori 3,585 78 3,663
   TOTAL SAIRERI 39,963 13,919 53,882
ANIM-HA Asmat 177,742 21,183 198,925
Boven Digul - - -
Mappi 53,042 4,218 57,260
Merauke 196,736 24,956 221,692
Mimika 180,065 12,812 192,877
   TOTAL ANIM-HA 607,585 63,169 670,754
BOMBERAY Fakfak 3,803 2,069 5,872
Kaimana 41,803 13,194 54,997
  TOTAL BOMBERAI 45,606 15,263 60,869
DOMBERAY Manokwari 387 329 716
Manokwari Selatan 361 705 1,066
Maybrat -    -    -   
Pegunungan Arfak -    -    -   
Raja Ampat 25,024 2,889 27,913
Sorong 48,631 3,993 52,624
Sorong Selatan 72,153 3,249 75,402
Tambrauw -    -    -   
Teluk Bintuni 170,244 87,221 257,465
Teluk Wondama 3,882 865 4,747
Kota Sorong 495 1,761 2,256
  TOTAL DOMBERAI 321,177 101,012 422,189
TOTAL TANAH PAPUA 1,102,500 214,463 1,316,963

Sumber : KLH 2018 dan diolah

Kita patut berbangga dengan luasan mangrove di 7 kabupaten yang memiliki luasan kawasan hutan mangrove di atas 10.000 ha, sekaligus juga prihatin dengan beberapa wilayah kabupaten yang luas tutupan mangrove dibawah 10.000 ha. seperti wilayah kabupaten Yapen, Jayapura, dan Kota Jayapura.

Mangrove di Wilayah Adat Mamberamo - Tami

Dari tabel luasan hutan mangrove di Papua di atas, wilayah adat Mamberamo-Tami menyumbang 109,269 ha luas kawasan hutan mangrove, dimana 88, 169 ha, merupakan kawasan hutan mangrove primer dan 21,100 ha merupakan kawasan hutan mangrove sekunder. Wilayah adat Saireri menyumbang 53,882 ha, kawasan hutan mangrove yang terdiri dari 39,963 ha kawasan hutan mangrove primer dan 13,919 ha, kawasan hutan mangrove sekunder. Wilayah Adat Anim-ha menyumbang 670, 754 ha, yang terdiri dari 607,585 ha hutan mangrove primer dan 63,169 ha hutan mangrove sekunder.

Di kabupaten dan kota Jayapura, terdapat dua lokasi yang terdapat hutan mangrove, yaitu di Teluk Yotefa dan di wilayah distrik Demta. Juga pada beberapa lokasi lain yang terbatas ditumbuhi pohon mangrove, seperti di Pantai Nyei ( Pasir 6 ), Pantai Towari, Pantai Marama Kampung Necheibe dan Kampung Tablasupa. Sementara pada garis pantai lainnya memiliki garis pantai yang panjang, namun kebanyakan wilayah ini, merupakan pantai yang terjal dan bersedimentasi batu kerikil dan pasir.

Kawasan hutan mangrove di Teluk Yotefa, merupakan kawasan hutan mangrove yang mengalami tekanan dan ancaman yang  berat dan sudah sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan yang dilakukan oleh Baigo Hamuna dan Rosye H.R. Tanjung tahun 2017,  jenis mangrove di kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa antara lain dari genus Sonneratia, Rhizophora, Avicennia, Xylocarpus dan Bruguiera. Jenis mangrove dari genus Sonneratia terdiri atas jenis Sonneratia ovata dan S. alba. Genus Rhizophora antara lain jenis Rhizophora mucronata, R. apiculata dan R. stylosa. Genus Avicennia adalah jenis Avicennia alba, sedangkan dari genus Xylocarpus adalah jenis Xylocarpus granatum dan genus Bruguiera adalah jenis Bruguiera gymnorrhiza dan B. cylindrica.

Hasil pengamatan yang dilakukan tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil beberapa penelitian terdahulu. Misalnya, hasil penelitian Handono dkk (2014) menemukan 10 jenis mangrove yang ada di kawasan Teluk Youtefa antara lain R. mucronata, R. apiculata, R. stylosa, S. ovate, S. alba, S. caseolaris, A. alba, B. gymnorrhiza, X. granatum dan Ceriops tagal. Selain itu, terdapat pula jenis mangrove B. gymnoriza, B. cylindrical, A. marina, Aegiceras comiculatum, Scyphyphora hydrphylacea, X. mollucensis dan Nypa fruticans, dimana jenis R. stylosa merupakan jenis yang paling umum dijumpai (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua, 2007; Arizona dkk, 2009).

Berdasarkan hasil pengolahan citra satelit, maka dapat dikatakan bahwa vegetasi mangrove yang terdapat di kawasan Teluk Youtefa dari tahun 1994 hingga tahun 2017 telah mengalami pengurangan atau degradasi, baik dari aspek luasan mangrove maupun tingkat kerapatan mangrove. Hal ini didukung data Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah X Papua diacu dalam Handono dkk (2014) menjelaskan bahwa telah terjadi perubahan luasan tutupan hutan mangrove pada kawasan Teluk Youtefa mulai tahun 1967 sampai tahun 2008, dimana perubahan luasan tersebut masih berlangsung sampai saat ini mengingat tingginya aktifitas pembangunan di wilayah pesisir Kota Jayapura.

Pada tahun 1994 hutan mangrove di kawasan ini, seluas 392,45 Ha, sedangkan luasan mangro-ve pada tahun 2017 ditemukan hanya seluas 233,12 Ha. Sebaran mangrove di kawasan Teluk Youtefa, baik pada tahun 1994 maupun tahun 2017 banyak ditemukan di sekitar pesisir Tobati, Enggros dan Nafri, serta sedikit ditemukan di sekitar Entrop dan Abe Pantai. Pada tahun 1994, sebaran mangrove secara vertikal dari arah darat ke laut maksimal sejauh 1.171,54 meter di sekitar Tobati dan tergantung pada topografi masing-masing lokasi. Selain itu, terdapat pula mangrove secara berkelompok dengan luasan yang kecil dan secara vertikal ke arah laut maksimal sekitar 258,07 meter di sekitar pesisir Entrop dan Abe Pantai. Sedangkan pada tahun 2017, dimana secara vertikal maksimal sejauh 1.081,66 meter di sekitar Tobati. Sama halnya dengan sebaran mangrove tahun 1994, terdapat pula mangrove secara berkelompok dengan luasan yang lebih kecil dan dimana secara vertikal ke arah laut maksimal sekitar 189,74 meter di sekitar pesisir Entrop. (Majalah Geografi Indonesia Vol. 32, No.2, September 2018 : 115 – 122 )

Jika ditelusuri, ternyata kawas-an hutan mangrove di Taman Wisata Teluk Yotefa ini tidak saja mengalami pengurangan luasan areal mangrove dan tingkat kerapatan antar pohon dan jenis, namun lebih dari itu, beberapa jenis mangrove yang pernah ada di kawasan ini telah hilang.

Muncul pertanyaan, mengapa terus saja terjadi penurunan luasan dan tingkat kerapatan maupun hilangnya beberapa jenis mangrove terjadi?

Informasi yang kami peroleh dari masyarakat, bahwa masyarakat kita terutama masyarakat yang hidup di sekitar hutan mangrove, rata-rata memahami fungsi dan atau manfaat mangrove secara ekologis, ekonomis dan sosial-budaya, namun mereka diperhadapkan pada situasi dan kondisi kebutuhan hidup sehari-hari yang terus meningkat, sehingga mau tak mau, kawasan hutan mangrove dilepas sekedar untuk menjawab kebutuhan hidup sehari-hari.

Benteng terakhir masyarakat untuk mempertahankan kawasan hutan mangrove adalah dengan menetapkan harga yang tinggi terhadap kawasan hutan mangrove, namun ketika diperhadap-kan dengan segopok uang, maka benteng pertahanan itu akan rontok.

Sistem Nilai Budaya Tergeser

Dipahami, bahwa degradasi hutan mangrove di Teluk Yotefa, telah menimbulkan dampak sosial budaya, terutama pada sistem pengetahuan tradisional, sistem tehnologi dan peralatan, bahasa daerah, bahkan sistem matapencaharian hidup dapat saja bergeser, seperti, bergesernya bahkan hilangnya seperangkat nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan adat, tehnologi dan peralatan, pranata-pranata budaya tertentu yang berhubungan dengan aktifitas manusia di hutan mangrove dan laut dapat pula bergeser.

Pesan moral dari Teluk Yotefa adalah hutan mangrove berganti, bergeser pula seperangkat nilai-nilai, norma-norma dan aturanaturan adat, tehnologi dan peralatan, pranata-pranata budaya, misalnya, pranata pemanggilan ikan ke dalam Teluk Yotefa, sudah bergeser ke pasar ikan, status hutan mangrove sebagai hutan perempuan, sudah mulai tergeser, jaring asli yang terbuat dari akar pandanus telah menghilang, dan kemungkinan besar suatu saat bahasa daerah dan matapencaharian hidup akan hilang. Semoga kita tidak kehilangan jati diri.

Ikuti tulisan menarik Richard Kalilago lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

16 jam lalu

Terpopuler