x

Ilustrasi Ilusi

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Kamis, 29 Juni 2023 18:28 WIB

Menatap Mahzab Materialisme dengan Mata Terpejam

Sungguh malang nasib manusia. Ketika hati bersandar pada apa yang tampak oleh mata, ia akan kehilangan kemampuan mengenali Dia yang tidak mempunyai rupa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Yang tampak terkadang menjelma jadi "orang licik" yang menipu, tidak hanya manusia, juga dewa-dewa. Jonggring Saloka geger ketika seekor monyet mengamuk minta diakui sebagai anak Batara Guru. Dia adalah Hanuman, si wanara putih, putra dewi Anjani. Batara Guru semula enggan. Mana mungkin dewa tertinggi, sang penguasa tiga dunia dalam jagat pewayangan itu berputra seekor monyet. Dalam keengganan inilah mata sang dewa tertipu. Juga setelahnya.

Ketika Batara Narada cekikikan melihat kejadian itu, Guru jengkel. Dia lemparkan daun sawo kecik ke punggung Narada. Seketika daun itu berubah menjadi monyet kecil berwarna biru. Monyet itu menempel lengket di punggung Narada. Dengan penuh sesal, dia mohon ampun kepada Guru agar makhluk menjijikkan itu lepas dari punggungnya. Untuk sesaat, di momen itu mata Narada juga tertipu.

Akhirnya, dengan sebuah seringai yang menampakkan kedua taringnya, Batara Guru berkata bahwa dia akan mengabulkan keinginannya asal Narada terlebih dahulu mengakui bahwa monyet di punggungnya itu adalah anaknya. Dengan penuh takzim, Narada pun angguk.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keengganan Guru dan jijiknya Narada mengisahkan bahwa dewa sekalipun dapat dikelabui oleh pandangan. Mereka tidak Al-Khabir, Maha Teliti sehingga tidak mengetahui sesuatu yang tidak terlihat. Seperti, sebuah masa depan yang masih bersembunyi di balik sang waktu.

Karena di masa depan, Hanuman menjadi tokoh kunci kemenangan Sri Rama melawan Rahwana. Dia timpakan gunung Ungrungan ke tubuh Rahwana agar roh Raja Alengka itu tidak kembali ke jasadnya. Sedangkan monyet biru yang semula lengket di punggung Narada itu menjadi seorang kesatria, Anila, panglima perang kerajaan Kiskenda. Dialah yang berperan dalam membunuh Prahasta, paman Rahwana.

Sekarang ini, berapa banyak Hanuman-Hanuman yang dipandang sebelah mata? Berapa pula jumlah Anila-Anila yang begitu melihatnya, orang lantas buang muka? Padahal yang tampak, yang materi, trompe l'oeil —dengannya mata tertipu. Saat materialisme tumbuh, Hanuman dan Anila pergi menjauh.

Yang jelek, yang menjijikkan, yang buruk rupa, selalu membuat salah sangka, atau setidaknya membuat berprasangka. Seolah-olah hanya yang estetiklah yang boleh mempertuan nilai-nilai. Sehingga, dalam dunia materialisme seperti sekarang ini, kita melekatkan nilai segala sesuatu berdasarkan apa yang sedap dipandang. Menilai dengan apa yang tampak oleh mata. Membela mati-matian seorang tokoh karena citra. Mencintai pasangan kita karena rupa. 

Sungguh malang nasib manusia. Ketika hati bersandar pada apa yang tampak oleh mata, ia akan kehilangan kemampuan mengenali Dia yang tidak mempunyai rupa.

 

"And now here is my secret, a very simple secret: It is only with the heart that one can see rightly; what is essential is invisible to the eye.”

 

Mungkin Antoine de Saint-Exupèry sengaja membuat sebaris kata ini diucapkan oleh seekor rubah dalam novelnya, Little Prince. Seekor rubah liar di padang rumput yang ditemui oleh Pangeran Kecil. Seekor rubah, liar, yang tidak estetik.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

8 jam lalu

Terpopuler