x

Ilustrasi Hujan. Foto dari Pixabay.com

Iklan

Anselmus Dore Woho Atasoge

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 Juli 2023

Minggu, 9 Juli 2023 12:07 WIB

Ekosofi ala Ura Timu di Flores Timur

Saat ini dunia tengah menghadapi soal besar, yakni perubahan iklim. Berhadapan dengan persoalan global ini, Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial menginisiasi Program “Komunitas Tangguh terhadap Iklim dan Bencana di Indonesia” di Kabupaten Flores Timur dan Lembata. Seluruh proses pembelajaran bersama ini didokumentasikan dalam sebuah karya berjudul ‘Ura Timu’ (Hujan Timur).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Anselmus Dore Woho Atasoge

Saat ini dunia tengah menghadapi soal besar yang disebut dengan nama perubahan iklim. Secara umum, perubahan iklim dimengerti sebagai perubahan pola dan intensitas unsur iklim dalam periode waktu yang sangat lama. Adapun bentuk perubahan itu berkaitan dengan perubahan kebiasaan cuaca tau perubahan pesebaran kejadian cuaca.

Penyebab utama terjadinya perubahan iklim yakni pemanasan global. Dunia keilmuan menegaskan bahwa percepatan pemanasan global merupakan akibat dari meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi yang mengubah peran dari efek rumah kaca. National Aeronautics and Space Administration (NASA) merumuskan gas rumah kaca sebagai gas-gas di atmoster bumi yang berfungsi menangkap panas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gas rumah kaca berfungsi menjaga kestabilan temperatur bumi agar manusia, hewan, serta tumbuhan bisa hidup secara normal. Akan tetapi jika gas ini meningkat komposisinya maka sebab lanjutnya adalah bumi memanas (pemanasan global). Disinyalir bahwa selama 200 tahun terakhir, manusia terlalu banyak menghasilkan gas rumah kaca dan mengancam keberadaan bumi. 

Gas rumah kaca itu antara lain Karbon dioksida (CO2), Klorofluorokarbon (CFC), Metana (CH4) dan lain sebagainya. Karbon dioksida datang dari makhluk hidup yang membusuk. Karbon dioksida juga dihasilkan gunung berapi. Namun paling banyak, gas ini dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Klorofluorokarbon diciptakan oleh manusia dengan menggabungkan unsur klorin, karbon, hidrogen, dan fluorin. Tujuannya, menghasilkan senyawa kimia pendingin yang dikenal dengan nama freon. Pendingin seperti kulkas dan AC menggunakan freon.

Sementara itu, metana dihasilkan oleh rawa-rawa, sawah padi, peternakan, sampah sisa makanan, dan penggunaan gas bumi serta batu bara. Gas metana dapat dikenal melalui baunya yang busuk. Metana dianggap sebagai penyebab pemanasan global terburuk kedua setelah karbon dioksida. Dampak utama dari peningkatan konsentrasi gas-gas ini antara lain peningkatan suhu bumi, perubahan curah hujan, kenaikan suhu dan tinggi permukaan laut dan pergeseran bumi. Bumi memanas dan mengering.

Binny Mathew dari Berchmans College Kelara India menulis bahwa Iklim yang tak menentu yang dibarengi dengan invasi manusia yang tak terkendali atas alam atas nama pembangunan membuat ‘planet hijau’ bumi ini menjadi tak bergetah. Kehijauan sebagai simbol spontanitas kehidupan tergerus bahkan menghilang tatkala dominasi manusia atas alam dibumbui bahkan dibingkai oleh ideologi antropomorfisme modern yang mendudukan manusia sebagai ‘penguasa tertinggi’ atas alam lingkungan. Planet hijau ‘menguning’ dan derita demi derita membajiri kanal-kanal kehidupan manusia.

Berhadapan dengan persoalan global ini, Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) yang berkantor di Waibalun Flores Timur NTT didukung Oxfam di Indonesia telah menginisiasi Program “Komunitas Tangguh terhadap Iklim dan Bencana di Indonesia” atau ICDRC (Indonesia Climate and Disaster Resilient Communities). Program yang bertajuk ‘Sekolah Adaptasi Kekeringan’ yang dilaksanakan di Kabupaten Flores Timur dan Lembata sejak tahun 2018 ini berakhir pada Juni 2023. Seluruh proses pembelajaran bersama ini didokumentasikan dalam sebuah karya berjudul ‘Ura Timu’ (Hujan Timur). Tulisan  ini merupakan sebuah selipan untuk karya ini.

Iklim yang berubah dalam pola dan intensitasnya dalam kurun waktu yang lama disertai pelbagai bencana klimatologi seakan membuat bumi terasa ‘tak nyaman-tak berjiwa’ untuk ditinggali. Pengetahuan modern dan kesaksian-kesaksian masyarakat desa tempatan YPPS dalam karya ‘ura timu’ mengafirmasi pengetahuan modern dan tradisional tentang perubahan iklim tersebut. Bahwasanya, bentuk perubahan tersebut berkaitan dengan perubahan kebiasaan cuaca atau perubahan persebaran kejadian cuaca dengan penyebab utamanya pemanasan global. 

Bagi saya, ‘ura timu’ merupakan sebuah karya hasil pergumulan epistemologi rangkap tiga. Pertama, perjumpaan pembelajaran tentang pengetahuan berbasis ilmu dan teknologi modern tentang iklim dan perubahan iklim makro (mendunia) dengan pengetahuan tradisional tentang iklim mikro (tempatan) terutama yang berkaitan langsung dengan daur usaha tani perladangan lahan kering, cara-cara pengolahan lahan dan tanda-tanda alam pergantian musim. Dapat dikatakan perjumpaan ini sebagai penciptaan pengetahuan tingkat pertama.

Kedua, perjumpaan pertama melahirkan pengetahuan tingkat kedua yang mengandung substansi tentang perbedaan dan persamaan sistem pengetahuan modern dan tradisional tentang iklim dan perubahan iklim.

Ketiga, kedua perjumpaan itu melahirkan pilihan berbagai kemungkinan tindakan mitigasi (pencegahan) risiko bencana iklim serta tindakan penyesuaian (adaptasi) dalam pola dan cara-cara budidaya perlandangan menghadapi perubahan iklim terutama berbagai kemungkinan kendala dan beban kerja dalam penerapannya, cara-cara menjaga keberlangsungan daya dukung layanan alam tempatan serta kalender musim dan kerja perladangan yang lebih sesuai.

Bagi saya, inisiasi dan kerja-kerja lapangan YPPS ini merupakan sebuah ‘kerja yang memiliki pengaruh yang besar: membangun kesadaran masyarakat tentang relasi tridimensi (manusia dengan lingkungan, relasi manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan wujud tertinggi) berbasis epistemologi modern dan tradisional. Muara akhirnya tidak terbatas pada kesejahteraan manusia dalam skala mikro (rumah tangga, suku, kampung-desa) dan pola berladang-bertani melainkan lebih dari itu mengembalikan posisi ‘planet hijau yang bergetah’ dalam skala global.

Secara tak kasat mata ‘ura timu’ sedang mendokumentasikan pengetahuan tentang sebuah dimensi etis dan spiritual tentang bagaimana manusia seharusnya berhubungan satu sama lain dan dengan alam dengan mengacu pada budaya lokal, keluarga, komunitas masyarakat (kampung-desa), kebajikan (universal dan partikular), agama (Bdk. Ritus lokal dan respon Gereja), dan rasa hormat terhadap kebaikan bersama.

Proses belajar bersama dan kerja bersama YPPS bersama para mitra dan warga di delapan desa (Posiwatu, Lerahinga, Waeinga, Helan Langowuyo, Nelelamawangi, Bedalewun, Kimakamak dan Gekeng Deran) dalam bingkai ‘pertanian adapatif kekeringan’ pada titik tertentu merupakan sebuah upaya untuk merevisi kembali hubungan manusia dengan alam dan memodifikasi konstruksi manusia tentang alam. Dapat disebutkan bahwa revisi dan modifikasi ini merupakan sebuah kebajikan manusia terhadap alam semesta yang melingkupinya.

Revisi dan modifikasi itu menyata dalam dua hal. Pertama, memahami secara mendalam tentang fisika bentang alam, biologi kehidupan dan senyawa kimiawi yang dikandung makluk hidup serta pranata sosial (seperti desa dan Gereja) dan nilai-nilai yang terkadung di dalamnya (seperti gemohing) berkat ‘belajar bersama’ di Pondok Liberty dan di ruang-ruang sosial lainnya.

Kedua, pola pertanian yang tidak mengandalkan pupuk kimia, teknologi mekanisasi atau moda produksi industri pertanian modern lainnya yang hemat saya dapat menyumbang bagi peningkatan pemanasan global sebagai faktor penyebab perubahan iklim. Persis di titik inilah gagasan ekosofi itu terbaca dengan gamblang. Idealisme ekosofi dan praksis baru yang berdimensi adaptif yang diperankan oleh para petani ladang bersama kawan-kawan dari YPPS dan para mitranya hendak mengajarkan tentang bagaimana manusia bijak berpandangan tentang alam, bijak mengolah alam, bijak memijaki bumi demi keselamatan bumi dan keselamatan manusia. 

Dalam perspektif Paus Fransiskus, kebijaksanaan itu menyata dalam tulisannya pada Laudato Si’: “Rasa persekutuan dengan alam tidak dapat terwujud jika hati manusia tidak memiliki kelembutan, belas kasih dan kepedulian terhadap sesama manusia. Kepedulian terhadap lingkungan hidup harus disertai dengan cinta yang tulus kepada sesama manusia dan komitmen yang teguh untuk menyelesaikan masalah-masalah masyarakat” (LS, art. 91).

Ekosofi ala ‘ura timu’ kiranya dapat menjadi milik bersama semua orang yang berkehendak baik untuk adapatif terhadap iklim yang tak menentu, yang menginginkan agar planet bumi ini tetap hijau dan bergetah.***

Ikuti tulisan menarik Anselmus Dore Woho Atasoge lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu