x

Pater Kons Beo SVD\xd Tinggal di Roma, Italia

Iklan

Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Oktober 2022

Selasa, 8 Agustus 2023 08:19 WIB

Di Balik Persekongkolan Itu....

Para elitis ‘partai dan golongan’ di Yerusalem sekian tak nyaman akan aura Yesus yang semakin memikat, penuh simpatik tak terbendung. Andaikan saja pula bahwa sekiranya dibikin ‘survey kepuasan khalayak’ akan citra dan sikap – tindakan Yesus, tidakkah Ia bisa meraih titik tertinggi prosentase kepuasan sosial yang massif dan melambung? Dan selanjutnya...

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di Balik Persekongkolan Itu....

(satu catatan lepas seadannya)

 Jika secara sepintas renungkan kematian tragis Yesus di salib, semula semuanya berawal dari satu episode kelam, yakni ‘persepakatan.’ Persekongkolan ‘suram dan seram’ itu bisa ditelisik dalam kisah-kisah Injil. Ambil saja tulisan Yohanes, Penginjil. Imam-imam kepala dan orang Farisi kumpul-kumpul di sentrum Pengadilan Agama. Dan di situ, nota kesepakatan gelap dirancang:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apakah yang harus kita buat? Sebab orang itu membuat banyak mujizat. Dan apabila kita biarkan Dia, maka semua orang akan percaya kepadaNya....” (Yohanes 11:47-48). Dan pada konklusinya, tercatat, “Mulai hari itu mereka sepakat untuk membunuh Yesus” (Yohanes 11:53).

Konspirasi rapih untuk ‘hentikan Yesus’ mesti segera dilaksanakan. Tentu dengan modus ‘tipu muslihat yang tertata’ (cf Markus 14:1). Dan ini semua diandaikan saja bermula dari distorsi psikologis yang tampak dalam kecemasan, ketakutan, ketaktenangan yang terbungkus dalam irihati yang menebal terhadap Yesus.

Para elitis ‘partai dan golongan’ di Yerusalem sekian tak nyaman akan aura Yesus yang semakin memikat, penuh simpatik tak terbendung. Andaikan saja pula bahwa sekiranya dibikin ‘survey kepuasan khalayak’ akan citra dan sikap – tindakan Yesus? Tidak kah Ia bisa meraih titik tertinggi prosentase kepuasan sosial yang massif dan melambung? Dan selanjutnya?

Jangan-jangan Yesus akan diangkat jadi raja. Didaulat sebagai pemimpin, pun bahwa  Ia masih punya pengaruh pada ‘kepemimpinan di Yerusalem’ selanjutnya? Popularitas Yesus demi ‘Yerusalem dan Israel baru’ sungguh jadi tantangan dan gangguan yang mesti dibereskan.

Maka, dan bukan tak mungkin bahwa kaum elitis Yerusalem tak ingin terganggu dalam kepentingan mereka yang sekular – jasmani dan fana, walau ‘dibungkus-bungkus’ dalam citra spiritual dan jubah agamis serta demi bangsa. Sebab kata mereka, “Apabila kita biarkan Dia, maka semua orang akan percaya kepadaNya dan orang-orang Roma akan datang dan akan merampas tempat suci kita serta bangsa kita”  (Yohanes 11:48).

Tetapi apakah aura kepuasan khalayak tetap bertahan hingga momentum krusial pada penetapan Yesus sebagai terpidana mati oleh Pilatus? Nyatanya tidak! Tidakkah teriakan masa berhasil ciutkan nyali Pilatus? “Salibkanlah Dia! Salibkanlah Dia” (Yohanes 19:6) dan “Jika engkau membebaskan Dia, engkau bukan sahabat kaiser” (Yohanes 19:12) sudah cukup memborgol hati dan pikiran Pilatus. Dan  Pilatus pun harus berkeputusan tak adil dan keji terhadap Yesus.

Patut diduga bahwa para elitis Yerusalem telah bertindak  gesit dan penuh kelicikan sebagai bohir demi ‘mendanai aksi premanisme pengadilan terhadap Yesus.’ Dan memang semuanya bermuara pada palu Pilatus ketika, “Akhirnya Pilatus menyerahkan Yesus kepada mereka untuk disalibkan” (Yohanes 19:16a).

Adakah satu suasana khaos lahir dari ‘begitu saja, singkat, tiba-tiba atau mendadak?’ Dalam alam kompetitif yang liar dan tak terkendali, potensi untuk situasi suram tentu segera diubah jadi kisah tragis penuh kegetiran.

Kuasa, pangkat, kedudukan atau jabatan telah jadi ‘entitas yang rentan untuk keretakan dan perpecahan.’ Di balik semuanya terdapat kepentingan yang harus dijaga atau diperjuangkan. Tak ada yang sanggup membantah bahwa kompetisi atau persaingan itu membawa kemajuan hidup dan perubahan. Namun kompetisi tanpa pengakuan adalah satu kekejian.

Di alam penuh kompetisi ini kemenangan telah jadi harga mati. Sebab kemenangan adalah ‘jalan bebas hambatan’ demi melajunya hasrat amankan kepentingan itu. ‘Mematikan pergerakan lawan’ adalah keharusan tindak politik. Dan berbagai strategi cantik atau pun penuh maksiatnya adalah modus yang ‘diamini dan tetap dianggap waras.

Sudah mengalir deras berita palsu dan penipuan. Hoaks mudah merayap di sana-sini. Akal sehat dan daya berpikir kritis sudah jebol oleh apa yang disebut ‘energi gelap dan materi gelap’ (B.P Schmidt). Tabrakan varian isi berpikirpun jadi tak terhindarkan. Ini terjadi saat berpikir positif, benar, cerdas, dan berpikir bijak mesti bertarung sengit berhadapan dengan geliat berpikir negatif, sesat, tendesius, dan radikal.

Sungguh manikeisme tarung politik tak terhindarkan dalam situasi jelang ‘kursi kosong dan siapakah yang pantas mendudukinya di kesempatan berikutnya.’ Dalam perhelatan penuh sikut-sikut ini, kerjasama antara kelompok bisa jadi satu chanel yang mesti dikaroseri. Ada koalisi yang dianggap ‘sehat dan wajar.’ Tetapi, tak ditampik kemungkinkan adanya konspirasi, kerjasama atau pertautan antara gang politik yang beraura gelap.

Solidaritas negatif lahirkan black campaign (kampanye gelap). Kongkalikong negatif pun jadi gesit dalam teror character assassination (pembunuhan karakter) yang keji. Persekongkolan negatif mendesain cara-cara kotor apapun untuk khaoskan suasana. Dalam praksi yang simpel, cara-cara liar dan sungguh ‘bajingan dan tolol pun’ digaungkan demi membangkitkan ‘rasa penuh kebencian dan memancing suasana panas.’

 

Maka di titik ini, keteduhan sikap mesti jadi satu pilihan cerdas. Tak termakan umpan untuk sebuah risiko kegaduhan apalagi merusakkan. Tidak kah sebenarnya dapat ‘terbaca jelas meski samar’ siapakah sebenarnya di balik semua persengkokolan jahat yang hendak merusakkan dan bikin kelam suasana? Yang cemarkan rasa damai dan alam demokrasi Negeri?

 

Di hari-hari ini para perancang persengkongkolan, para bohir lagi menanti suasana asap, bara api panas membara. Dan mereka lalu ingin tampil sebagai penyelamat murah meriah bagi negeri.

 

Akhirnya, Tanah Air memang mesti cerdas dan bijak dalam pilihan dan sikap politik.

 

Mari kembali pada kisah Yesus dari Nazareth. Saat hari kematianNya, Kepala Pasukan dan para prajuritnya menjadi sangat takut oleh gempa bumi dan apa yang telah terjadi. Dan mereka mesti bersaksi, “Sungguh, Ia adalah Anak Allah” (Matius 27:54).

 

Indonesia belum terlambat. Indonesia, bagaimanapun, harus tetap dipimpin oleh pemimpin yang lahir dari identitas, keluhuran martabat bangsa dan tanah air yang bercitra.

 

Dan bukannya dinahkodai oleh pemimpin dan kepemimpinan yang lahir dari balik persekongkolan eksklusif, yang diborgol oleh politik identitas, yang hanya akan mengakali negeri demi mengusung kepentingan sendiri.

 

Verbo Dei Amorem Spiranti

 Collegio San Pietro - Roma

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu