x

Iklan

Raja Faidz el Shidqi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 31 Januari 2023

Senin, 14 Agustus 2023 18:49 WIB

Feodalisme dan Hipokrisi dalam Organisasi Pergerakan Mahasiswa

Organisasi pergerakan mahasiswa tak lagi menjadi primadona di lingkungan kampus. Sebabnya, antara lain, adanya feodalisme mengatasnamakan ketertiban ber-organisasi. Selain itu muncul senioritas di kalangan aktifis yang mengaagungkan pergerakan di jaman mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Raja Faidz El Shidqi, Mahasiswa FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Hari ini diskursus mengenai kematian dari organisasi pergerakan mahasiswa semakin populer dibahas. Selalu ada argumen-argumen yang bertujuan membela dan mendorong mahasiswa baru untuk tetap aktif ber-organisasi di kampus. Akan tetapi pada sudut pandang yang lain juga tak sedikit yang melontarkan argumentasi bahwa saat ini organisasi kampus tak lagi penting dalam upaya meningkatkan kualitas diri.

Pasalnya, berdasarkan pengalaman yang ditemui di lapangan ada setidaknya beberapa faktor yang membuat organisasi pergerakan tak lagi menjadi primadona di dalam lingkungan kampus. Sebabnya, antara lain, adanya feodalisme mengatasnamakan ketertiban dalam ber-organisasi/ Selain itu ada kemunafikan dari para pejabat organisasi yang selalu memunculkan paradoks dalam menyikapi sesuatu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Feodalisme di Ruang Kebebasan Intelektual

Senioritas menjadi salah satu faktor utama terbentuknya karakter feodal di dalam organisasi pergerakan. Ada banyak senior-senior di organisasi yang memaksakan kehendaknya terhadap teman-teman yang sedang aktif menjabat untuk menjalankan suatu agenda sesuai keinginan dan standar yang mereka tetapkan.

Misalnya saja, dalam agenda tertentu keterlibatan dan campur tangan senior sangatlah kuat dalam memberikan tekanan terhadap pengurus yang sedang menjabat. Alih-alih mengatasnamakan saran dan nasihat serta ketertiban dalam organisasi, justru ketika saran para senior ini tidak dijalankan mereka meluapkan emosi yang tidak substansial terhadap teman-teman pengurus. Bahkan dalam beberapa kasus terjadi pemaksaan kehendak senior kepada juniornya ketika pengurus yang aktif memberikan suatu gebrakan atau inovasi baru dalam agenda-agenda tertentu.

Tekanan, intimidasi, hinaan, makian kerap terlontar kepada siapa saja yang tidak menjalankan saran atau ‘arahan’ dari senior dan kebetulan inovasi yang dijalankan berakhir dengan kegagalan. Ada banyak wacana yang dilemparkan dari teman-teman pengurus organisasi dalam upaya melawan feodalisme dan kebebasan berpikir serta mengambil keputusan. Namun, menjadi ironis dan sebatas wacana belaka ketika teman-teman pengurus justru kembali datang merangkak menghadap senior seolah dirinya siap disalahkan atas apapun yang telah diupayakannya, “Siap salah senior!” atau “Siap, apa arahan senior?” begitu kira-kira kalimat yang terlontar.

Selain senioritas yang menjadi faktor utama dalam suburnya budaya feodalisme di dalam kampus yang katanya menjadi ruang kebebasan intelektual para manusia merdeka itu juga terdapat beberapa alasan mengapa feodalisme begitu mudah ditemukan di lingkungan kampus, yaitu pertama, para aktivis ini terkadang terlalu berlebihan dalam mengagumi senior atas cerita-cerita nabi ‘Zaman Abang dulu, Dik’.

Kedua, merasa memiliki hutang budi terhadap senior tertentu karena dibantu dalam pengajuan beasiswa. Ketiga, memandang individu berdasarkan ‘siapa orang dibelakangnya’ atau aktivis yang merasa superior tak terkalahkan karena merasa memiliki privilege lebih dengan memiliki ikatan spesial dengan senior yang lebih di-tuakan.

Nah, dengan demikian organisasi pergerakan mahasiswa selama ini dipandang paradoks dengan mempertahankan budaya feodal itu tetap ada bahkan subur dengan alasan membimbing dan mengkader, memalukan kita sering menyuarakan Pemerintah untuk tegak lurus tanpa adanya intimidasi pihak luar dan menjauhi budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) tapi sebagian aktivis tersebut justru memelihara budaya feodal di dalam organisasinya. Senior dengan khusu bercerita tentang bagaimana otoriternya pemerintah di era mereka dan saat ini lalu memberikan contoh otoritarianism terhadap juniornya yang sedang menjalani proses memimpin organisasi.

Hipokrit Organisasi Pergerakan Mahasiswa

Ada banyak hipokrisi yang dipertontonkan organisasi gerakan hari-hari ini. Entah organisasi gerakan berbasis di dalam kampus maupun di luar kampus. Dalam banyak diskursus kita ditanamkan untuk menjadi manusia yang ideal, sebagai seorang mahasiswa yang memiliki fungsi social control untuk mengkritisi apapun ketidak beresan yang merugikan orang banyak khususnya masyarakat.

Mahasiswa saat ini selalu diberikan cerita-cerita nabi atas bagaimana pahitnya perjuangan aktivis senior dalam melawan kezaliman pemerintah dari masa ke masa. Kezaliman yang diakibatkan atas kesewenang-wenangan pejabat dan menempatkan orang-orang yang tidak berkompeten pada posisi tertentu hanya karena kedekatan secara personal dan hutang budi politik.

Organisasi pergerakan kini tak lebih dari sebuah wadah untuk memenuhi hasrat berkuasa teman-teman aktivis, tak lagi memiliki fungsi kontrol atas kondisi sosial masyarakat yang ada bahkan tak lagi menjalankan pengabdian kepada masyarakat. Mungkin dalam beberapa hal pernyataan barusan bisa dibantah dengan adanya program kerja pengabdian atau bahkan adanya Kuliah Kerja Nyata (KKN). Tapi apakah pengabdian hanya sebatas itu? Hanya sebatas pemenuhan program lantas menghabiskan anggaran yang bersifat sementara? Lalu setelahnya kita kembali ke rumah kita masing-masing, kembali merebahkan tubuh, pergi menikmati secangkir kopi di kedai yang instagramable tanpa memberikan dampak positif apapun khususnya menyebarkan ilmu pengetahuan yang kita miliki kepada masyarakat awam?

Kira-kira itulah kondisi pergerakan kita hari ini, tenggelam dalam euforia perjuangan generasi ’66 dan ’98 namun tutup mata atas pengkhianatan yang terjadi di setiap generasi. Kita mendambakan kalangan mahasiswa yang mampu mendobrak setiap kebodohan yang ada di masyarakat, tapi masih banyak teman-teman mahasiswa yang berfikir egois, tak memperdulikan kondisi sosial.

Kita mendambakan sebuah kebebasan, tapi membelenggu pikiran di ruang akademis. Lantas, bagaimana dengan nasib organisasi pergerakan hari ini dan ke depan? Mati? Atau mampu untuk survive ditengah tantangan yang besar, dihadang program yang memaksa mahasiswa untuk menjadi mesin pekerja, dan senior organisasinya masih sibuk mengurusi persoalan-persoalan teknis belaka?

Ikuti tulisan menarik Raja Faidz el Shidqi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

11 jam lalu

Terpopuler