x

Iklan

Anggita Sibarani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 Agustus 2023

Selasa, 15 Agustus 2023 07:53 WIB

Lima Penyebab Kekerasan Seksual Sering Terjadi di Lingkungan Kampus

Adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban kekerasan seksual membuat si korban memiliki ketakutan untuk melapor.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oknum dosen Universitas Andalas (Unand) menghebohkan jagat media. Banyak yang menyayangkan aksi bejat tersebut terjadi di lingkungan akademik dan dilakukan oleh akademisi.

Pertanyaan yang sering muncul ke publik adalah mengapa kekerasan seksual sering terjadi di lingkungan kampus? Bukankah kampus menjadi gawang moral bagi generasi bangsa di masa depan?

Sejumlah pertanyaan ini sebetulnya sudah muncul selama bertahun-tahun. Namun hingga kini,kekerasan seksual masih saja marak terjadi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam catatan Komnas Perempuan 2022, tercatat sebanyak 338.496 kasus kekerasan seksual yang telah diadukan pada tahun 2021, mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya.

Pada tahun 2021, Komnas Perempuan juga mencatat bahwa perguruan tinggi menempati urutan pertama dalam hal terjadinya kekerasan seksual terbanyak antara tahun 2015-2021.

Sementara itu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kemendikbud Ristek pada tahun 2020 di 29 kota pada 79 kampus, terdapat 63% kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan semata-mata untuk tetap menjaga nama baik kampus.

Lantas, apakah yang menjadi penyebab kekerasan seksual terjadi di lingkungan pendidikan tinggi?

1. Adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban kekerasan seksual

Relasi kuasa antara korban dan pelaku kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi menunjukkan bahwa pelaku memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibanding korban.

Hal ini persis yang dialami korban dugaan kekerasan seksual di Unand yang mendapatkan perlkauan tak senonoh dari doesnnya, hingga mengalami traumatis.

Adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban kekerasan seksual membuat korban memiliki ketakutan untuk melapor.

2. Budaya victim-blaming yang banyak terjadi sebelumnya

Menurut Sophia Hage, direktur kampanye di Lentera Sintas, ada stigma sosial bahwa isu kekerasan seksual merupakan isu yang tabu untuk dibicarakan.

Hal ini menjadi salah satu sinyal bahwa ketika korban berani melaporkan justru masyarakat menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya (victim blaming).

Anggapan tersebut juga didukung oleh hasil survei yang dilakukan Statista pada tahun 2020 tentang faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual di Indonesia.

Hasil survei tersebut menjelaskan perilaku genit yang dilakukan oleh korban dan persepsi bahwa penggunaan baju yang cenderung terbuka oleh korban dapat mendorong terjadinya perilaku pelecehan.

Melalui data tersebut, terlihat bahwa masih adanya budaya victim-blaming yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

3. Mahasiswa masih kurang memahami konsep kekerasan seksual

Penelitian yang dilakukan oleh Fitri dkk. (2021) mengungkapkan bahwa sebagian besar mahasiswa masih berada pada tahap awal dalam kesadaran dan pemikiran kritis akan isu kekerasan seksual.

Selaian itu, salah satu bentuk kekerasan seksual, seperti penggunaan istilah seksis yang membuat tidak nyaman dan memberi komentar terhadap orang dengan istilah seksual yang merendahkan, masih cenderung mudah diabaikan atau kurang dipahami oleh mahasiswa (Alpian, 2022).

4. Minimnya laporan atas kekerasan seksual

Fenomena ini akrab disebut dengan istilah fenomena gunung es (iceberg phenomenon), yakni kasus yang ada di permukaan belum tentu mencerminkan jumlah kasus sebenarnya yang terjadi.

Karena dapat dipastikan masih banyak kasus yang tidak terlaporkan atau diadvokasi oleh pihak kampus (BEM BIMA FIKOM UNPAD, 2020).

Dengan demikian, data yang ada cenderung terbatas pada data yang memang dilaporkan oleh korban pada pihak-pihak tertentu yang menangani kasus kekerasan seksual (Salampessy dalam VOI, 2021).

5. Pihak kampus yang menutupi kasus kekerasan seksual.

Penelitian yang dilakukan Fitri dkk. (2021) pun mengungkapkan beberapa kasus atau kejadian kekerasan seksual di kampus, tetapi kasus yang ada cenderung ditutup-tutupi oleh pihak kampus.

Alasan utamanya adalah untuk mempertahankan reputasi yang dimiliki oleh kampus. Di Indonesia, tendensi suatu institusi melakukan hal tersebut cenderung dipengaruhi oleh aspek agama dan budaya (Istiadah, dkk., 2020).

Alhasil, institusi tersebut pun cenderung menunjukkan support yang terbatas dan korban pun cenderung termotivasi untuk diam agar dapat melindungi dirinya dan institusinya. 

Ikuti tulisan menarik Anggita Sibarani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu