Mereduksi Kebesaran Soekarno

Minggu, 27 Agustus 2023 08:55 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menjadikan Bung Karno sebagai ikon politik partai sesungguhnya cenderung mereduksi kebesaran Bung Karno. Secara sadar ataupun tidak, Bung Karno terkesan sebagai milik partai.

Sebagai proklamator kemerdekaan bersama Bung Hatta, nama Bung Karno dianggap sebagai magnet yang masih mampu menarik simpati massa. Nama dan gambarnya selalu dimunculkan menjelang pemilihan umum, tentu saja tanpa foto Bung Hatta, sebab konteks pemasangan foto Bung Karno dalam hal ini berbeda. Ketika masa pemilu tiba, untuk mengonsolidasikan dukungan rakyat partai politik membutuhkan figur yang berdaya tarik kuat.

Rasanya tidak ada figur nasional yang sudah wafat tapi masih diusung sebagai magnet partai selain Bung Karno. Nama-nama perintis kemerdekaan lainnya, seperti Bung Hatta, Bung Sjahrir, sebut saja siapa, tidak pernah dimunculkan. Dari masa yang kemudian pun begitu. Golkar, yang notabene merupakan mesin kerja Orde Baru, sejauh ini maskih menghindari dari membawa-bawa nama Pak Harto. Barangkali, karena posisi Pak Harto dalam lintasan sejarah bangsa ini dianggap masih kontroversial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Musim pemilu sudah tiba, meskipun kampanye resmi belum dimulai, tapi kampanye tidak resmi telah berlangsung—sesuatu yang tak terhindari dan dilakukan berbagai partai politik yang sadar-momen. Dalam konteks pemilu inilah, politikus PDI-P selalu membawa serta nama Bung Karno dalam pidato kampanye mereka. Elite politik partai ini berusaha mengesankan bahwa PDI-P merupakan penerus nilai-nilai kejuangan Bung Karno, seperti keberpihakan kepada rakyat kecil. Istilah ‘wong cilik’ kerap disebut-sebut dalam pidato elite partai, seperti halnya Bung Karno memberi sebutan ‘kaum marhaen’ kepada rakyat kecil.

Klaim bahwa PDI-P merupakan penerus nilai-nilai Bung Karno menimbulkan kesan bahwa partai ini memiliki keberpihakan kepada rakyat kecil lebih besar dibandingkan keberpihakan partai-partai lain. Nama Bung Karno diupayakan jadi ikon yang bernilai historis, yang mentautkan partai ini dengan perjuangan di masa lalu, serta dikesankan sebagai penerus perjuangan Bung Karno. Ini sejenis political advantage yang dieksplorasi oleh partai untuk membentuk persepsi masyarakat terhadap tautan sejarah tersebut.

Sepintas, hal itu memang menguntungkan partai secara politik, sehingga tak mengherankan bila dalam setiap kesempatan partai menjaga kesan ketertautan itu. Namun, bila dilihat dari sudut pandang lain, langkah dan klaim partai tersebut sesungguhnya cenderung mereduksi kebesaran Bung Karno sebagai figur proklamator kemerdekaan bangsa menjadi sosok perumus ideologi partai yang nilai-nilainya (diklaim telah) diwarisi. Langkah mengidentifikasi diri sebagai (satu-satunya) partai politik yang mewarisi ideologi Bung Karno cenderung mereduksi sosok proklamator ini sebagai bapak bangsa menjadi ideolog partai.

Klaim sebagai pewaris nilai-nilai perjuangan Bung Karno agaknya tidak terlepas dari ikatan darah antara Megawati, yang menjabat Ketua Umum PDI-P, serta Puan Maharani dengan Bung Karno. Jelas bahwa tidak ada elite politik dari partai lain yang memiliki hubungan seperti itu, sehingga tidak dapat memetik political advantage. Namun, menjadikan Bung Karno sebagai ikon politik partai sesungguhnya cenderung mereduksi kebesaran Bung Karno. Secara sadar ataupun tidak, Bung Karno terkesan sebagai milik partai. Ini berbeda dengan di masa perjuangan kemerdekaan. Sekalipun pada masa itu Bung Karno seorang pemimpin partai politik, namun Bung Karno dipandang oleh rakyat dari banyak golongan sebagai pemimpinnya, sebab ia menempatkan dirinya lebih sebagai pemimpin perjuangan kemerdekaan ketimbang sebagai ketua sebuah partai. >>

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Catatan Dari Palmerah

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Catatan Dari Palmerah

Lihat semua