Kenapa Gugatan B2W Indonesia Perlu
Senin, 29 Januari 2024 17:17 WIBMenganggap Pemerintah DKI Jakarta melakukan malapraktik tata kota, B2W Indonesia akan menggugat ke pengadilan. Langkah ini tepat untuk dilakukan demi menuntut pemerintah bersungguh-sungguh menjalankan kewajibannya. Ini patut dicoba, apa pun hasilnya.
Seorang pengamat perkotaan belum lama ini menyarankan Bike to Work (B2W) Indonesia membatalkan rencananya menggugat Pemerintah DKI Jakarta mengenai apa yang disebut “malapraktik tata kota” dalam menjamin keamanan dan keselamatan pengguna sepeda. Menurut dia, B2W Indonesia sebaiknya “memilih berdialog, dan mendampingi Pemerintah DKI Jakarta” untuk mewujudkan kota ramah sepeda di Jakarta.
Andaikata kita bisa percaya bahwa usul itu tulus, tidak dilatarbelakangi motivasi apa pun yang bisa mengundang prasangka, saya pikir tidak ada salahnya juga organisasi pergerakan yang memperjuangkan sepeda dijadikan sebagai sarana transportasi dan mobilitas itu bertahan. Ini bukan semata-mata dukungan yang dasarnya adalah keyakinan bahwa B2W Indonesia pasti tidak sependapat dengan alternatif dialog itu. Menurut saya, tetap menggugat merupakan langkah yang, menimbang saatnya, memang tepat untuk dilakukan--menempuh jalur hukum demi menuntut pemerintah bersungguh-sungguh menjalankan kewajibannya. Ini patut dicoba, apa pun hasilnya.
Mengenai rencana maju ke pengadilan itu, B2W Indonesia telah mengumumkannya, dengan alasan yang mendasarinya. Ada sederet langkah Pemerintah DKI Jakarta yang dianggap sebagai bukti malapraktik tersebut. B2W Indonesia tidak semata-mata memandang perlunya prasarana, yang oleh Pemerintah DKI Jakarta telah ditunjukkan kemajuan pembangunannya, melainkan juga bagaimana memastikan perlindungan terhadap keamanan dan keselamatan pengguna sepeda, di antaranya melalui kualitas dan kepastian berfungsinya prasarana yang ada sebagaimana seharusnya.
Proses hukum sudah pasti akan berjalan, dan bisa panjang waktunya--kecuali ada hal-hal yang menghentikannya. Hasil di pengadilan, kelak, bisa saja seperti yang diharapkan B2W Indonesia atau sebaliknya. Tapi, dengan menempuh upaya hukum, B2W Indonesia betapapun telah melebarkan jalan bagi siapa saja, perorangan atau kelompok masyarakat, untuk memanfaatkan saluran hukum yang memang tersedia demi keadilan dan kesetaraan, juga perlindungan terhadap keamanan dan keselamatan, dalam penyediaan prasarana dan fasilitas publik.
Gugatan itu juga bisa menjadi titik tolak perdebatan publik yang sehat mengenai kesalahkaprahan dalam pemanfaatan ruang jalan. Tanpa disadari, atau sebetulnya ada yang menyadarinya tapi memilih tak mengacuhkannya, barangkali tersebab oleh kepentingannya yang bisa terganggu, kesalahkaprahan ini telah menjadi privilese bagi kelompok masyarakat tertentu. Harapannya adalah perdebatan yang ada bisa mendorong timbulnya perubahan pola pikir, khususnya di kalangan perencana kota, yang selama ini mengutamakan pengguna kendaraan bermotor.
Cerita tentang Bicycle Transportation Alliance (BTA), barangkali, bisa menjadi tempat berefleksi. Pintu masuknya adalah memori Rex Burkholder. Memori yang dia catat ini adalah tentang gelombang pembangunan jalur sepeda di Oregon segera setelah Mahkamah Agung memenangkan gugatan BTA terhadap pemerintah Kota Portland pada 1995. Dia mengaku mendengar para perencana dan insinyur di berbagai kota di salah satu negara bagian di Amerika Serikat itu berkata, “Kita harus memasukkan jalur sepeda atau para aktivis sepeda yang sinting itu akan menggugat kita.”
Burkholder bukan orang asing bagi BTA. Dia termasuk di antara pendirinya. Sebagai organisasi sukarelawan, yang mulai aktif pada 1993, BTA berfokus pada upaya mendorong pemerintah Kota Portland menjalankan amanat regulasi (semacam peraturan daerah) yang diberlakukan sejak 1971. Dalam regulasi ini, pengadaan prasarana bersepeda--yang tujuannya adalah untuk melindungi keamanan dan keselamatan pengguna sepeda--bukan saja diwajibkan, melainkan juga pengalokasian anggaran untuk merealisasikannya. Besarannya bahkan ditetapkan minimal satu persen dari anggaran untuk sektor transportasi per tahun.
Regulasi itu rupanya hanya dipandang sebagai janji di atas kertas. Percaya terhadap penafsirannya, terutama karena ada pengecualian di dalamnya, Pemerintah Kota Portland sama sekali tak merealisasikan kewajiban yang dibebankan kepadanya, hingga saat BTA dibentuk.
Terdiri atas para sukarelawan yang kebanyakan berbasis di Portland, dan karenanya di sinilah pusat perhatian kegiatannya, aliansi itu berupaya meyakinkan Departemen Transportasi Kota Portland bahwa ada kebutuhan dan permintaan akan fasilitas sepeda. Menurut mereka, tuntutan pengadaan itu bahkan berlaku pula untuk jalan-jalan besar, lokasi yang paling ramai dan paling membahayakan pengguna sepeda.
Berulang kali BTA mencoba melobi dan berdiskusi dengan pemerintah kota. Tapi, karena merasa frustrasi serta kecewa terhadap respons yang ada, mereka tak punya opsi lain. Tantangan wali kota kala itu, Vera Katz, yang mengatakan “nah, gugat kami” sambil menatap satu per satu delegasi BTA, menambah alasan untuk menyelesaikan perselisihan di pengadilan.
Kasus BTA versus Kota Portland bergulir selama dua tahun. Aliansi, yang menjadikan gugatannya sebagai uji coba perjuangan, memerlukan bantuan 10 pengacara yang bekerja sukarela. Di pengadilan tingkat pertama, hakim memenangkan pemerintah kota. Pengadilan banding membalikkan arah angin: hakim mengeluarkan putusan yang memperjelas makna peraturan, yang memang sesuai dengan keinginan pengusulnya, legislator bernama Don Stathos. Pemerintah kota mengajukan kasasi, tapi Mahkamah Agung Oregon sependapat dengan putusan pengadilan banding. Aliansi menang.
Putusan itu memaksakan adanya perubahan. Selain menjadikan para perencana dan insinyur tak mau luput memberi ruang bagi prasarana bersepeda, ia juga akhirnya mendorong Departemen Transportasi Oregon melampirkan teks lengkap putusan dalam rencana resmi tentang pesepeda dan pejalan kaki. Rencana ini secara gamblang memaparkan tanggung jawab Departemen Transportasi dan pemerintah semua kota di Oregon untuk memastikan bahwa perancangan jalan sudah mengakomodasi pesepeda dan pejalan kaki. Oregon, khususnya Portland, kini merupakan wilayah di Amerika Serikat yang paling bersahabat untuk pesepeda.
Aliansi, yang sejak 2017 mengubah nama menjadi The Street Trust, menurut Burkholder, tak melihat pencapaiannya sebagai hasil kerja yang mudah. Dan malah mulanya di dalam Aliansi tak ada yang optimistis. “Kami di BTA hanya beberapa orang saja, tanpa banyak sumber daya, tapi punya ide bagus, dan rupanya hukum ada di pihak kami,” katanya.
Saya percaya, dengan menggugat, B2W Indonesia malah sedang berupaya menguji keberpihakan hukum sebagaimana dengan gamblang tercantum dalam undang-undang dan berbagai peraturannya.
*Opini ini pendapat pribadi penulis, yang kebetulan merupakan bagian dari kepengurusan B2W Indonesia saat ini
...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
3 Pengikut
Menyoal Fasilitas Parkir Sepeda di Stasiun
Sabtu, 21 September 2024 06:58 WIBMenularnya Motonormativity
Jumat, 13 September 2024 12:55 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler