x

Iklan

Film Indonesia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 September 2023

Senin, 4 September 2023 10:29 WIB

Perkembangan Industri Film di Indonesia dalam Periode Terkini, Yuk Ketahui!

Film tetap menjadi sebuah bentuk hiburan yang populer dalam masa kini. Banyak di antara kita yang menggolongkannya sebagai kegemaran pribadi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Film tetap menjadi sebuah bentuk hiburan yang populer dalam masa kini. Banyak di antara kita yang menggolongkannya sebagai kegemaran pribadi, karena film bukan sekadar hiburan, tetapi juga merupakan medium untuk mengungkapkan ide, konsep, dan bahkan sebagai alat pendidikan.

Film, sesuai dengan definisi yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merujuk pada sebuah narasi visual yang diwujudkan dalam bentuk gambar bergerak. Pengertian ini sejalan dengan asal-usul kata "film," yang berasal dari "cinema," yang artinya gerak, "phytos" yang berarti cahaya, dan "graphy" yang berarti gambar. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa film adalah representasi gambar yang bergerak melalui cahaya.

Di seluruh dunia, film pertama kali diperlihatkan kepada publik di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris, pada tanggal 28 Desember 1895. Oleh karena itu, film selama ini erat kaitannya dengan bioskop. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman dan hadirnya media lain seperti TV, VCD, dan bahkan aplikasi film saat ini, kita memiliki fleksibilitas untuk menikmati film di mana saja dan kapan saja.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bermula dari Paris, perkembangan film menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Saat ini, dengan kehadiran banyak sineas Indonesia, apakah Anda tertarik untuk mengetahui sejarah perkembangan film di Indonesia? Di bawah ini, kami akan memberikan penjelasan tentang sejarah perkembangan film di Indonesia.

Era Pada Jaman Penjajahan (1900-1945)

Sebelum munculnya film, seni pertunjukan tradisional seperti ludruk, wayang orang, dan komedi stamboel merupakan bentuk hiburan yang mendominasi di Nusantara.

Pada awal abad ke-20, tepatnya pada tanggal 5 Desember 1900, film pertama kali diperkenalkan di Batavia (kini Jakarta). Pada masa itu, film dipertunjukkan di Tanah Abang dengan nama "Gambar Idoep" dan mengisahkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Namun, pertunjukan awal ini tidak meraih kesuksesan besar karena harga tiketnya dianggap terlalu tinggi.

Kemudian, pengaruh film dari Amerika mulai menyebar di Indonesia. Pada tahun 1905, film-film impor Amerika pertama kali dikenal di Indonesia. Film-film ini mengalami perubahan judul dari bahasa Inggris ke bahasa Melayu.

Karena adanya adegan kekerasan dan kurangnya batasan dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam film-film tersebut, pemerintah kolonial mengambil langkah untuk menerapkan peraturan perfilman pada tahun 1916. Peraturan ini juga mengakibatkan pembentukan komisi sensor di empat kota, yaitu Medan, Batavia, Semarang, dan Surabaya.

Film cerita lokal pertama yang diproduksi adalah "Loetong Kasaroeng" (1926) yang diproduksi dan disutradarai oleh L. Heuveldorp. Produksi film ini dilakukan oleh NV Java Film Company. "Loetong Kasaroeng" adalah salah satu film bisu pertama yang mengambil latar legenda Sunda.

Film lokal selanjutnya adalah "Eulis Atjih" (1927), yang juga diproduksi oleh perusahaan yang sama. Setelah itu, muncul beberapa perusahaan film lain seperti Halimun Film Bandung, Lily Van Java, dan Central Java Film Coy di Semarang.

Pada tahun 1931, industri film lokal baru mampu menghasilkan film bersuara pertamanya, yang berjudul 'Atma de Vischer'. Dalam enam tahun sebelumnya, dari tahun 1926 hingga 1931, sudah ada 21 film yang diproduksi. Pada tahun 1936, salah satu majalah, yaitu Filmrueve, mencatat bahwa terdapat 227 bioskop di Indonesia.

Era Pada Jaman Orde Lama (1945-1965)

Setelah kemerdekaan Indonesia, industri perfilman semakin berkembang. Meskipun pada awal-awal kemerdekaan, perfilman Indonesia sempat mengalami tantangan ekonomi, pada tahun 1950, Perusahaan Film Nasional (PERFINI) dan Persatuan Seniman Indonesia (PERSARI) didirikan untuk memajukan perfilman Indonesia. Selanjutnya, pada tahun 1954, Djamulid Malik dan Usmar Ismail mendirikan Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI).

Seorang tokoh dalam industri film, Djamaludin Malik, menjadi pelopor Festival Film Indonesia (FFI) yang pertama kali diadakan pada tanggal 30 Maret hingga 5 April 1955. Karya film "Lewat Jam Malam" karya Usmar Ismail menjadi pemenang dalam festival ini, meraih penghargaan sebagai film terbaik. Selain itu, film ini juga terpilih untuk mewakili Indonesia dalam Festival Film Asia II di Singapura.

Film-film yang juga memiliki signifikansi pada era ini meliputi "The Long March" (Darah dan Doa) karya Usmar Ismail pada tahun 1950, "Si Pintjang" yang disutradarai oleh Katot Surwadi pada tahun 1951, dan "Turang" yang digarap oleh Bachtiar Siagian pada tahun 1957. Pada tanggal 30 Maret 1950, Soekarno secara resmi menetapkan Hari Film Nasional karena ini merupakan tonggak sejarah dengan dirilisnya film "The Long March Siliwangi" sebagai film lokal berciri khas Indonesia pertama. Selain itu, film "Tiga Dara" (1956) karya Usmar Ismail juga menjadi film musikal pertama di Indonesia.

Periode Tahun 2010 Hingga Sekarang

Seiring dengan perubahan zaman, perkembangan industri film di Indonesia juga semakin pesat. Ini terlihat dari kemajuan dalam penyutradaraan, teknik sinematografi, aspek artistik, tema yang diangkat, serta perancangan riasan dan busana dalam produksi film. Selain itu, semakin banyak aktor dan artis Indonesia muda yang bermunculan di industri ini.

Salah satu karakteristik perkembangan film dalam periode ini adalah tren adaptasi dan pembuatan ulang film, yang menjadi daya tarik bagi sebagian sutradara. Sebagai contoh, film "Pengabdi Setan" (2018) yang di-remake oleh Joko Anwar, "Warkop DKI Reborn" (2016), dan juga film "Bebas" (2019) yang diadaptasi dari film Korea berjudul "Sunny."

Di periode ini, banyak film komedi yang diproduksi oleh para komika Stand up Comedy, seperti karya-karya dari Raditya Dika dan Ernest Prakasa. Selain itu, film laga dan aksi juga semakin menarik, seperti "The Raid" (2011), "The Raid" (2014), "Buffalo Boys" (2018), "Foxtrot Six" (2019), dan "Gundala" (2019).

Ciri lainnya adalah banyak masyarakat yang telah meninggalkan penggunaan VCD atau DVD pada periode ini. Masyarakat mulai beralih untuk menonton melalui aplikasi film yang menjadi tren belakangan ini. Meskipun demikian, bioskop tetap menjadi tempat utama untuk menonton film-film Box Office.

Demikian ulasan tentang perkembangan Industri Film seperti yang dilansir lk21, Semoga bermanfaat 

Ikuti tulisan menarik Film Indonesia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu