x

cover buku Bapak Saya Pejuang Buku

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 9 September 2023 08:07 WIB

Selamat Ulang Tahun Toko Buku Gunung Agung

Bapak Saya Pejuang Buku, adalah karya Ketut Masagung yang didedikasikan kepada Sang Ayah sekaligus Peringatan Ulang Tahun ke-50 Toko Buku Gunung Agung.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Bapak Saya Pejuang Buku

Penulis: Ketut Masagung

Tahun Terbit: 2003

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: PT. Gunung Agung Tbk.

Tebal: 182

ISBN: 979-3398-01-9

 

Buku ini adalah buku kedua tentang Haji Masagung alias Tjio Wie Tay yang saya baca. Buku pertama adalah biografi Haji Masagung yang ditulis oleh Murthiko yang dijuduli “Di Usia Senja Ingin Mengharumkan Nama Islam.” Buku karya Murthiko memfokuskan kepada keinginan Haji Masagung untuk mengabdikan sisa hidupnya untuk mengharumkan nama Islam.

Saya senang membaca buku “Bapak Saya Pejuang Buku” karya Ketut Masagung ini. Sebab buku ini memberikan banyak informasi dan fakta yang belum saya dapatkan di buku yang pertama. Selain membahas lebih mendalam sisi kiprah Haji Masagung dalam perbukuan di Indonesia, buku ini juga mengungkap sisi keluarga lebih mendalam. Posisi Ketut Masagung sebagai putra Haji Masagung tentu mempunyai informasi yang mendalam dan akurat tentang keluarga Tjio Wie Tay.

Seperti judul buku, karya Ketut Masagung yang dibantu oleh Rita Sri Hastuti ini memang memfokuskan kepada peran Haji Masagung di kancah perbukuan Indonesia. Melalui dunia buku inilah Masagung menjadi dekat dengan para pejabat negara. Meski begitu, Ketut juga menyinggung serba sedikit masa kecil Tjio Wie Tay, hubungannya dengan ibunya, istrinya dan pernikahannya yang kedua.

 

Kiprah Tjio Wie Tay di Dunia Perbukuan

Keterlibatan Tjio Wie Tay dalam dunia perbukuan sudah diawali sejak ia membangun kongsi usaha bernama Thay San Kongsi dengan dua rekannya The Kie Hoat dan Lie Tay San. Usaha patungan yang awalnya untuk berdagang rokok dan beer ini kemudian beralih berdagang buku. Perubahan jenis usaha ini adalah dipicu dengan Kemerdekaan Indonesia, dimana bangsa yang Merdeka memerlukan banyak buku (hal. 109). Perubahan jenis usaha ini ternyata membawa keberuntungan yang besar bagi Masagung.

Pada tahun 1953, tepatnya 8 September 1953, Tjio Wie Tay mendirikan Firma Gunung Agung. Nama Gunung Agung adalah terjemahan dari Thay San yang artinya gunung besar. Nama Gunung Agung juga dipilih karena Tjio Wie Tay mempunyai darah Bali. Dengan memakai nama gunung yang ada di Pulau Bali maka Tjio menabalkan bahwa ia adalah seorang keturunan Bali (hal. 10).

Kiprahnya dalam dunia perbukuan bukannya mulus saja. Pada tahun awal, yaitu tahun 1953, Tjio mendapatkan hadangan dari Notosoetardjo yang saat itu menjadi ketua IKAPI. IKAPI yang saat itu heroik ingin memberangus penerbitan asing, menolak Gunung Agung bergabung dengan IKAPI. Notosoetardjo menganggap bahwa Gunung Agung adalah usaha yang dimiliki oleh Cina yang tidak nasionalis (hal. 11). Namun setelah ada pembicaraan yang lebih mendalam dan campur tangan Presiden Sukarno, Gunung Agung diterima sebagai anggota IKAPI.

Gunung Agung adalah Perusahaan yang berbisnis di bidang buku yang berhasil membuat pameran buku pertama di Indonesia. Pameran buku pada tahun 1954 ini sangat sukses. Sebab pameran dihadiri oleh Presiden Sukarno, Wakil Presiden Muhammad Hatta, Mendikbud Muhammad Yamin dan pejabat elite Republik lainnya. Ajang pameran inilah yang memperkenalkan Tjio Wie Tay dengan Sukarno, Hatta dan pejabat Pemerintah lainnya. Selain mengadakan pameran di Jakarta, Gunung Agung ikut serta dalam pameran buku di Osaka Jepang pada tahun 1970, berhasil menyelenggarakan pameran buku di Kuala Lumpur pada tahun 1971 (hal. 22). 

Haji Mas Agung berperan sangat besar dalam memasok buku berbahasa Indonesia dan alat-alat tulis bagi Irian Barat yang baru kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Bekerja sama dengan tentara, Gunung Agung melakukan pengiriman buku dan alat-alat tulis ke berbagai kota di Irian Barat (hal. 19).

Selain mengadakan buku, membuat pameran dan menyuplai alat tulis di Irian, Gunung Agung juga mempunyai peran khusus dalam menerbitkan buku-buku Bung Karno. Dua buku karya Bung Karno yang sangat legendaris, yaitu “Di Bawah Bendera Revolusi” dan “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” diterbitkan oleh Gunung Agung. Gunung Agung juga menerbitkan biografi tokoh-tokoh pejuang Kemerdekaan.

Satu lagi peran Gunung Agung dalam perbukuan adalah menyelenggarakan buku murah untuk pelajar dan mahasiswa. Bekerjasama dengan Yayasan Lektur yang didukung oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Toko Buku Gunung Agung memberikan diskon 50% dari tahun 1960-1963 (hal. 30). 

 

Keislaman dan Keluarga

Kisah keislaman Tjio Wie Tay sudah banyak dibahas oleh Murthiko di buku “Di Usia Senja Ingin Mengharumkan Nama Islam.” Buku karya Ketut ini memberikan informasi tambahan bagaimana evolusi keislaman Haji Masagung. Sama seperti diuraikan oleh Murthiko, Tjio Wie Tay memeluk Islam melalui tokoh kejawen bernama Pagruki Aji alias Ny. Tien Fuad Muntaco. Ketut menambahkan bahwa keislaman Tjio dianggap kurang tepat oleh Buya Hamka karena dianggap masih bercampur dengan kejawen (hal. 58). Bahkan Buya Hamka sampai meminta H. Alifuddin el Islami, seorang ulama keturunan Cina untuk mengislamkan Tjio. Barulah melalui usaha K. H. Gaffar Ismail, keislaman Tjio bisa diluruskan (hal. 60).

Buku ini mencuplik sedikit hubungan Masagung dengan ibunya Poppi Nio (hal. 97). Hubungan Masagung dengan ibunya tidak pernah rukun sejak Tjio masih kecil. Namun demikian di masa tua Poppi Nio, justru Masagung mengajak ibunya tinggal bersamanya. Haji Masagung sangat sayang kepada ibunya.

Haji Masagung menikah dua kali. Pertama ia menikah dengan seorang gadis bernama Nio Hian Nio yang di kemudian hari berganti nama menjadi Aju Agung. Pernikahannya dengan Nio Hian Nio, Masagung dikaruniai tiga putra, yaitu Putra Masagung, Made Oka Masagung dan Ketut Masagung.

Di masa tuanya, Masagung menikah lagi dengan sekretarisnya yang bernama Sri Lestari. Ketut tak menyembunyikan rumor bahwa hubungan ayahnya dengan Sri Lestari menimbulkan kecemburan sang Ibu (hal. 70). Namun Ketut juga menyampaikan informasi bahwa pernikahan Masagung dengan Sri Lestari didasarkan kepada banyaknya kesamaan tujuan hidup diantara keduanya. Sri Lestari meminta syarakt supaya dia tidak termasuk yang menerima warisan kekayaan Masagung, meski menjadi istrinya (hal. 71). 773

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

10 jam lalu

Terpopuler