x

gelembung informasi

Iklan

Rizaldy Rahadian

Mahasiswa Akhir
Bergabung Sejak: 5 Juli 2023

Minggu, 10 September 2023 09:18 WIB

Filter Bubble Media Sosial dan Polarisasi Politik

Filter bubble dalam media sosial dapat menyebabkan polarisasi politik bagi masyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemilihan presiden telah menjadi salah satu momen paling penting dalam kehidupan politik sebuah negara demokrasi. Saatnya rakyat memilih pemimpin mereka, yang akan memengaruhi arah dan kebijakan negara selama lima tahun ke depan.

Di era modern, peran media sosial dalam membentuk opini publik dan memengaruhi dinamika politik terutama dalam pemilihan presiden semakin signifikan. Tentu saja, dampak baik dan buruk selalu mengikuti. Kali ini dampak buruknya adalah polarisasi politik yang disebabkan oleh media sosial.

Polarisasi politik adalah suatu fenomena dimana masyrakat terbelah pemahaman dan pandangannya secara berbeda disebabkan oleh politik. Perpecahan atau pembelahan tersebut bisa terjadi karena saling silang beda pendapat mengenai isu, ideologi, kebijakan hingga identitas. Kemudian dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, seperti media sosial, semakin memperkuat polarisasi tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Media sosial erat kaitannya dengan kebebasan berpendapat sehingga memfasilitasi polarisasi dengan menyediakan berbagai macam platform untuk menyampaikan pandangan politik yang bahkan dapat cenderung lebih ekstrem dan meningkatkan kemungkinan terpapar informasi yang hanya membenarkan pandangan tersebut. Fenomena ini kemudian menghujani ruang publik dengan isu-isu yang mungkin tidak terbukti kebenarannya atau hoaks sehingga menyesatkan dan menjerumuskan.

Salah satu fitur yang menggerakkan dalam media sosial adalah algoritma digital. Algoritma digital ini yang memproses suatu data serta membuat keputusan otomatis di dalamnya, salah satunya adalah filter bubble. Filter bubble merujuk pada situasi di mana individu hanya terpapar kepada informasi, berita, atau pandangan yang sesuai dengan pandangan politik atau preferensi mereka sendiri. Ini terjadi ketika algoritma media sosial secara otomatis memilih dan menampilkan konten yang diyakini akan disukai oleh pengguna, berdasarkan perilaku dan interaksi mereka sebelumnya.

Ketika filter bubble mendominasi pengalaman kita dalam menggunakan media sosial, maka kita menjadi rentan terhadap bias konfirmasi, yaitu kecenderungan untuk mencari dan menerima informasi yang hanya mengkonfirmasi keyakinan kita sendiri dan cenderung menghalangi untuk mengeksplorasi sudut pandang yang beragam atau berseberangan dengan apa yang kita yakini. Dampaknya adalah bahwa pemilih cenderung semakin terpolarisasi, sulit menerima pandangan yang berbeda, dan terpapar pada disinformasi yang beredar dalam lingkaran mereka sendiri. Filter bubble dapat menghambat dialog yang konstruktif, menghambat kompromi, dan mengurangi kemampuan pemilih untuk membuat keputusan berdasarkan informasi yang seimbang.

Polarisasi politik yang semakin memburuk dan filter bubble di media sosial memiliki dampak yang signifikan pada proses pemilihan presiden 2024. Pertama-tama, pengaruh polarisasi politik mempengaruhi cara kampanye politik dilakukan. Calon-calon presiden dan partai politik cenderung menerapkan strategi yang memaksimalkan dukungan dari basis mereka sendiri, daripada mencoba meraih suara dari berbagai kelompok pemilih. Hal ini dapat mengarah pada kampanye yang lebih ekstrem dan pesan-pesan yang berfokus pada isu-isu yang memecah belah daripada mempersatukan.

Filter bubble juga memainkan peran dalam menggiring pemilih ke dalam persepsi yang sempit tentang isu-isu politik. Pemilih yang terperangkap dalam filter bubble seringkali hanya terpapar kepada satu sudut pandang politik, yang membuat mereka cenderung kurang memahami argumen dari pihak lawan atau bahkan informasi yang kontra dengan pandangan mereka sendiri. Dalam pemilihan presiden, ini dapat berarti bahwa pemilih kurang mampu membuat keputusan yang berdasarkan pemahaman yang kuat dan seimbang tentang kandidat dan isu-isu penting yang dibawa.

Selain itu, pengaruh polarisasi dan filter bubble terhadap pemilihan presiden juga dapat terlihat dalam perdebatan dan retorika kampanye. Pihak-pihak yang terlibat dalam politik dapat menggunakan pesan-pesan yang lebih radikal dan emosional untuk memobilisasi basis mereka, yang bisa meningkatkan ketegangan politik dan menciptakan lingkungan yang kurang kondusif untuk dialog yang konstruktif. Ini juga dapat mengakibatkan peningkatan penggunaan retorika yang memecah belah dan polarisasi dalam upaya untuk memenangkan pemilih.

Akhirnya, pengaruh polarisasi dan filter bubble dapat memengaruhi cara pemilih menerima dan mengolah informasi selama pemilihan presiden. Mereka cenderung mencari konfirmasi terhadap pandangan mereka sendiri, yang menguatkan keyakinan mereka yang sudah ada, sementara meremehkan atau mengabaikan pandangan yang berlawanan. Ini membuat proses pengambilan keputusan menjadi lebih sulit, karena pemilih memiliki akses terbatas pada berbagai sudut pandang yang beragam. Dalam pemilihan presiden 2024, penting untuk memahami bahwa pengaruh polarisasi dan filter bubble bukan hanya memengaruhi cara kampanye politik dilakukan, tetapi juga bagaimana pemilih mendekati dan memahami proses pemilihan itu sendiri.

Pengalaman pada pemilihan presiden tahun sebelumnya menjadi tolak ukur polarisasi politik yang terjadai di ruang public media sosial. Istilah “cebong” yang merujuk ke pendukung presiden terpilih Jokowi dan “kampret” yang merujuk ke pendukung Prabowo. Hal ini dikarenakan rivalitas antar keduanya yang sudah terjadi semenjak pemilihan presiden 2014. Dua istilah tersebut akan sering kita temui Ketika pagelaran pilpres tahun 2019 disebabkan perpecahan dan pembelahan masyarakat yang diakibatkan oleh bias konfirmasi sebagai akibat fitur bubble media massa.

Tantangan dan Solusi

Pemilihan presiden 2024 di Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan yang muncul dari peran media sosial, polarisasi politik, dan filter bubble. Salah satu tantangan utama adalah penggunaan media sosial yang ekstensif dalam kampanye politik. Calon-calon presiden dan partai politik dapat memanfaatkan media sosial untuk mengampanyekan pesan-pesan yang bersifat ekstrem atau merendahkan lawan politik, yang dapat meningkatkan ketegangan dan memecah belah masyarakat. Solusi untuk tantangan ini melibatkan pengawasan yang ketat terhadap konten politik di platform media sosial serta upaya untuk mendorong diskusi yang lebih beradab dan informatif di ruang digital.

Tantangan lainnya adalah memerangi efek filter bubble yang mempersempit sudut pandang pemilih. Filter bubble cenderung membuat pemilih hanya terpapar kepada pandangan politik yang sejalan dengan keyakinan mereka sendiri, menghalangi pemahaman yang seimbang tentang isu-isu politik. Solusinya melibatkan upaya untuk meningkatkan literasi media di antara pemilih, dengan mengajarkan keterampilan evaluasi kritis terhadap informasi yang mereka temui di media sosial. Pendidikan dan kesadaran yang lebih baik tentang bagaimana algoritma bekerja dan bagaimana pengguna dapat mengatasi filter bubble dapat membantu pemilih menjadi lebih terinformasi dan kritis.

Selain itu, tantangan yang tidak kalah penting adalah polarisasi politik yang semakin dalam. Polarisasi politik dapat menghambat kompromi dan dialog yang konstruktif, yang penting dalam sistem demokratis. Solusi untuk mengatasi polarisasi politik melibatkan upaya untuk mempromosikan dialog lintas kelompok dan memfasilitasi pertemuan antara kelompok-kelompok dengan pandangan politik yang berbeda.

Inisiatif yang mendorong pemahaman dan empati terhadap pandangan yang berbeda dapat membantu meredakan ketegangan politik dan memungkinkan proses pemilihan berjalan dengan lebih damai dan adil. Masuknya Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebagai Menteri di kabinet Jokowi tidak serta merta menjadi penghubung antara kesenjangan dua kelompok karena hal tersebut adalah manuver elite politik, bukan akar rumput. Diperlukannya masing-masing tokoh dari kedua kelompok untuk berkampanye secara sehat dan tidak saling menjatuhkan.

Dengan pemahaman yang lebih baik tentang tantangan ini dan upaya yang tepat, kita dapat mengatasi dampak negatif dari media sosial, polarisasi, dan filter bubble, serta memastikan bahwa pemilihan presiden 2024 di Indonesia berjalan dengan lebih baik dan memberikan hasil yang sesuai dengan kehendak rakyat.

 

Ikuti tulisan menarik Rizaldy Rahadian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu