x

Kepulan Asap

Iklan

erlinda hapsari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 September 2023

Kamis, 14 September 2023 07:22 WIB

Industri Pengecoran Logam, Upaya Mencapai Kemerdekaan Finansial yang Berdampak pada Polusi Udara

Upaya penduduk desa kami untuk mencapai kemerdekaan finansial dari industri pengecoran logam, meskipun kami harus hidup di tengah polusi udara asap pabrik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejak lahir, saya tinggal di sebuah desa kecil di Klaten. Desa kecil ini berpenduduk padat dengan rumah-rumah berdempetan. Meskipun begitu, desa ini masih mempunyai banyak ruang terbuka hijau. Hamparan sawah sejauh mata memandang dengan pemandangan Gunung Merapi berdampingan Gunung Merbabu juga menjadi salah satu panorama khas desa ini.

Tiap pagi banyak penduduk yang sering menyempatkan diri untuk sekedar jalan-jalan pagi menikmati cahaya matahari terbit di tengah-tengah lahan persawahan. Selain itu, harga kebutuhan pokok juga murah, begitu pula dengan harga makanan. Tak heran jika banyak penduduk dari luar kota yang menetap di sini untuk mencari pekerjaan.

Tentu saja, dengan bekerja, kami bisa mencapai merdeka finansial, meskipun belum merdeka sepenuhnya. Meskipun desa, penduduk di sini, baik asli maupun pendatang, mempunyai mata pencaharian yang beragam.  Ada yang menjadi guru, dokter, petani, pedagang sayur, penjahit, penjual makanan, dan pegawai pemerintah. Ada yang menjadi pengusaha konveksi; membuat daster dan celana kolor rumahan untuk dijual di luar kota.  Ada pula yang menjadi pegawai dan pengusaha industri pengecoran logam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jumlah orang yang menjadi pengusaha industri pengecoran logam di desa kami cukup banyak. Penyebabnya mungkin karena sejak jaman dulu desa kami ini menjadi pusat pembuatan senjata Belanda. Banyak industri pengecoran logam di sini, entah itu warisan dari leluhur atau dari usaha baru milik pribadi yang bukan warisan.

Pabriknya tidak terhitung jumlahnya, karena hampir setiap RT ada yang menjadi pengusaha pengecoran logam. Motifnya tentu saja ingin sukses menjadi “bos cor-coran”; begitu kami menyebutnya. Hal ini dikarenakan seorang bos cor-coran identik dengan menjadi orang kaya dan terpandang di desa.

Pabrik pengecoran logam di desa kami bukanlah pabrik besar dengan jumlah pekerja ribuan orang. Namun, menurut analisis saya sendiri, jenis pabriknya bisa dibedakan menjadi dua: (1) pabrik dengan skala besar, yang pelanggannya sudah banyak, atau sudah bisa ekspor, dan (2) pabrik berskala kecil yang pelanggannya belum cukup banyak. Baik pabrik dengan skala besar maupun kecil mempunyai pegawai yang kebanyakan berasal dari tetangga sekitar.

Namun, ada pula yang berasal dari luar kota, sehingga pemilik pabrik menyediakan semacam mess untuk mereka. Pekerjaan mereka banyak macamnya: mandor, tukang bubut, carik, dan supir untuk mengantar barang hasil produksi. Untuk gajinya berbeda-beda, tergantung dari omset pabrik per bulan, bisa juga tergantung dari kesepakatan awal antara pemilik dengan pegawai.

Lalu, apa yang bisa dihasilkan dari industri pengecoran logam ini?

Produk-produk industri pengecoran logam ini, biasanya berupa tiang lampu, roda-roda mesin, handel pintu, wajan, panci, pagar besi, cakar ayam, dan masih banyak lagi produk lainnya seperti kerajinan yang terbuat dari logam. Penghasilan para pengusaha tersebut cukup banyak. Sekali mengirim barang, pendapatan kotornya bisa mencapai ratusan juta. Apalagi jika berhasil menjadi tender suatu proyek. Jadi, di desa kami, jika ada yang menjadi pengusaha pengecoran logam, orang tersebut bisa dipastikan kaya.

Apakah dengan menjadi pengusaha pengecoran logam otomatis pengusaha tersebut bisa langsung merdeka secara finansial? Menurut saya, iya, apalagi jika pengusaha tersebut amanah dan mendapatkan klien terpercaya. Namun, ada juga yang terkadang mendapatkan pelanggan yang tidak segera membayar pesanan. Jika sudah begitu, pabrik akan berhenti beberapa waktu untuk beroperasi. Memang menjadi pengusaha pengecoran logam risikonya tinggi, namun jika sudah sukses, bisa dipastikan sejumlah mobil dari berbagai merek bisa nangkring rapi di garasi.

Bagaimana dengan penduduk sekitar pabrik pengecoran? Apakah mereka juga bisa merdeka secara finansial dari adanya pabrik tersebut?

Saya bukanlah pemilik pabrik. Namun ayah saya dulu pernah menjadi penyetor bahan bakunya: jenis baja dan besi besar-besar yang beratnya mencapai ratusan kilo. Dengan adanya pabrik pengecoran, secara tidak langsung ayah mendapatkan pelanggan. Di desa juga ada kampus yang membuka jurusan pengecoran logam, di mana tempat praktiknya langsung terjun ke lingkungan sekitar. Tidak perlu susah payah mencari tempat untuk menerima praktik lapangan mahasiswa.

Selain itu, tetangga sekitar pabrik juga mendapatkan penghasilan dari menjadi pegawai pabrik. Jika ramai pesanan, pegawai tersebut bekerja tanpa libur setiap harinya. Penghasilannya memang cukup banyak jika ramai, dan bahkan ada yang bisa membangun rumah dari gajinya menjadi pegawai pabrik pengecoran. Meskipun dibayar secara harian, mereka sudah cukup senang karena mendapat banyak penghasilan.

Kebanyakan pegawai pabrik pengecoran adalah laki-laki karena pekerjaannya kasar dan berat. Lalu, bagaimana dengan para perempuan? Biasanya, yang perempuan jika menjadi pegawai pabrik akan ditugasi menjadi carik: mencatat barang baku datang, mencatat pesanan pelanggan, dan mencatat hal-hal lain yang berhubungan dengan operasional pabrik. Terkadang, para carik perempuan ini juga ditugasi untuk membelikan makan siang pegawai dan menghitung gaji para pegawai. Semua dicatat dengan rapi, entah dalam komputer ataupun buku, dan dilaporkan kepada bos. Namun untuk pabrik berskala besar tentu saja sistem kerjanya lebih rapi dan terstruktur jika dibandingkan dengan pabrik berskala kecil.

Bagaimana dengan para lansia atau mereka yang tidak kuat lagi untuk bekerja di pabrik pengecoran logam? Para lansia ini, biasanya perempuan, akan melakukan “melik”. “Melik” adalah kegiatan mencari pecahan besi atau baja dari limbah yang dibuang pabrik. Biasanya pabrik akan membuang limbah pecahan besi atau baja yang tidak terpakai di lahan kosong, biasanya di tepi sawah-sawah, atau ditaruh di luar pabrik begitu saja. Para lansia ini biasanya terlihat sepanjang hari, dari pagi hingga sore, dengan kain penutup kepala, bersenjatakan magnet bergagang kayu—kami menyebutnya “brani”—untuk mencari pecahan besi dan baja. Mereka biasanya berkelompok dan bersepeda agar mudah berpindah tempat ketika mencari tumpukan limbah. Mereka juga membawa ember kecil untuk wadah potongan besi dan baja yang mereka temukan. Kalau sudah merasa cukup, mereka akan menjualnya ke pabrik kecil yang menerima limbah besi dan baja. Biasanya dihargai per kilo; namun saya kurang tahu harga per kilo limbah besi dan baja sekarang. Waktu kecil saya juga pernah ikut-ikutan “melik” bersama teman-teman dan memang menyenangkan mendapat uang dari menjual hasil “melikan” kami.

Industri pengecoran logam memang menjadi salah satu upaya dari penduduk desa kami untuk merdeka secara finansial. Namun, tentu saja setiap industri pasti mempunyai dampak. Limbah potongan besi dan baja bukan menjadi dampak yang mengancam. Namun, dampak polusi udara dari pabrik yang mengancam kesehatan paru-paru kami.

Setiap pagi, jika mesin pabrik sudah beroperasi, bisa dipastikan bahwa cerobongnya akan mengeluarkan asap pembakaran. Yang dibakar adalah bahan baku logam yang kemudian dilelehkan dan diolah lagi menjadi bahan setengah jadi sebelum dilas atau dicetak menjadi produk yang diinginkan. Kami menyebutnya dengan “ngopen”. Asap ini berbeda-beda jenisnya setiap pabrik tergantung dari bahan baku dan bahan bakar yang digunakan. Ada jenis asap tebal berwarna biru. Ada juga jenis asap putih, dan bahkan asap tidak kelihatan warnanya namun baunya tetap terasa di hidung.

Setiap hari, kami terbiasa menghirup asap pembakaran pabrik. Kami terbiasa karena memang sudah sejak jaman dulu seperti itu. Terkadang asap pabrik ini juga membawa pasir kecil-kecil yang sangat halus, mirip debu vulkanik. Lantai rumah kami menjadi kotor jika debu itu terbawa angin, dan kami harus berkali-kali menyapu agar lantai kembali bersih.

Pemandangan orang batuk sudah menjadi hal biasa di desa kami. Entah karena alergi, atau karena paru-parunya sudah terkena radang akibat asap pembakaran. Beberapa jenis asap jika terhirup terkadang membuat pusing dan mual. Jadi biasanya ketika "ngopen" sedang berlangsung, kami menutup pintu dan jendela rapat-rapat agar asap tidak masuk ke rumah. Memang sebetulnya tidak semua pabrik seperti itu--menimbulkan asap "ngopen" yang mengganggu, namun karena jumlah pabrik cukup banyak, berbagai macam bau asap bercampur menjadi satu, di tengah-tengah pemukiman kami.

Sebetulnya sudah banyak cara dilakukan pihak pabrik agar polusi udara tidak menganggu penduduk. Mulai dari membuat cerobong asapnya menjadi lebih tinggi dan menggunakan mesin ramah lingkungan, sampai mengganti bahan baku dan bahan bakar. Namun, tetap saja polusi udara masih terasa. Hal ini dikarenakan partikel asap itu sangat halus dan bisa terbawa angin dengan mudah. Meskipun tidak ada yang “ngopen” di hari itu, partikel asap halus itu masih tertinggal di udara. Jadi, tetap saja bau udaranya berbeda. Rasanya menyesakkan dan pengap, memang. Apalagi jika udara panas seperti sekarang ini.

Mungkin kami memang belum merdeka dari polusi udara. Namun, jika pengoperasian pabrik pengecoran logam dihentikan, justru kami tidak bisa merdeka secara finansial. Jadi kami, tetap menjalani hari-hari seperti ini, di tengah deru mesin pabrik pengecoran logam. Jika ingin menghirup udara segar, kami masih bisa melakukannya. Misalnya di sore hari setelah "ngopen" selesai. Atau di pagi hari, sehabis subuh dengan jalan-jalan di tengah sawah sambil menikmati pemandangan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu yang berdampingan, seperti gambar anak-anak SD. Meskipun keadaanya seperti itu, saya tetap mencintai desa kelahiran saya, seperti halnya saya #CintaIndonesia.

 

 

Ikuti tulisan menarik erlinda hapsari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu