x

Iklan

Anwar Syafii Pulungan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 November 2021

Sabtu, 23 September 2023 19:33 WIB

Solusi Konflik Rempang, Jangan Korbankan Hak Rakyat!

Tanah Ulayat dianggap sebagai warisan nenek moyang di Pulau Rempang. Penyelesaian konflik di tanah ulayat harus menjadi perhatian serius pemerintah dengan memperhatikan hak-hak masyarakat dan nilai-nilai kearifan lokal yang ada.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pulau Rempang adalah wilayah administratif pemerintah kota Batam, kota metropolitan yang memiliki julukan kota industri dengan ikon jembatan Barelang. Nama Barelang adalah singkatan nama empat pulau, yaitu Batam-Rempang dan Galang.

Pulau Rempang di Batam dalam Provinsi Kepulauan Riau ini dalam waktu dekat akan dijadikan lokasi Mega Proyek Rempang Eco City. Sebuah kawasan perdagangan, industri, pariwisata, dan real estate. Rempang Eco City ini juga termasuk dalam kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam yang diharapkan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi nasional.

Sejak 28 Agustus 2023 lalu, proyek ini masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023 berdasarkan Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. Pulau Rempang akan dikembangkan menjadi Rempang Eco City oleh PT Makmur Elok Graha, anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tomy Winata.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tomy adalah pemilik berbagai proyek properti sekaligus salah satu penguasa perekonomian Indonesia. Dengan investasi sebesar Rp381 triliun. Pemerintah memberikan konsesi kerja selama 80 tahun kepada pihak pengelola proyek ini - 270 tahun lebih singkat dari masa penjajahan yang dalam buku pelajaran sejarah disebutkan 350 tahun.

Selain itu, kawasan ini juga akan menjadi lokasi pabrik kaca terbesar kedua di dunia milik perusahaan Tiongkok Xinyi Group. Investasi proyek itu mencapai US$11,6 miliar atau sekitar Rp. 174 triliun.

Kesepakatan Rempang Eco City ini ditindaklanjuti pada 28 Juli 2023 lalu dalam bentuk tanda tangan MOU oleh menteri investasi Bahlil Lahadalia, disaksikan langsung Presiden Joko Widodo. Salah satu butir penting kesepakatan MOU: pemerintah wajib menyediakan atau memenuhi kesiapan tanah prioritas seluas 1.154 hektare dengan penyerahan tanah clear and clean selama 30 hari. Penyerahan lahan terhitung sejak ditandanganinya MOU. Inilah penyebab utama pemerintah terburu-buru, mendadak, tiba-tiba memaksakan pembebasan lahan Rempang secepatnya.

Persoalannya, Mega Proyek ini menuai penolakan keras dari masyarakat Rempang. Konflik yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, perusahaan, dan masyarakat adat, yang bersaing untuk mempertahankan hak-hak mereka atas tanah Ulayat yang dianggap sebagai warisan nenek moyang masyarakat adat di Pulau Rempang.

Sekitar 7.500 hingga 10 ribu menempati 16 kampung Adat di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau ini. Warga Pulau Rempang dan Pulau Galang khususnya yg termasuk kawasan kampung tua sudah ratusan tahun mendiami pulau tersebut jauh sebelum Indonesia merdeka. Sejak Kesultanan Riau-Lingga 1720 Masehi.

Banyak diantara warga Rempang dan Galang adalah keturunan para prajurit kesultanan Riau-Lingga masa Sultan Sulaiman Badru Alam Syah 1. Bahkan pada masa Sultan Mahmud Riauat Syah berhijrah ke Daik-Lingga pada tahun 1787, Pulau Rempang-Galang dan Bulang adalah basis pertahanan terbesar kesultanan Riau-Lingga. Mereka disebut "Pasukan Pertikaman Kesultanan" alias pasukan berani mati.

Sejarah pasukan di Pulau Rempang-Galang itu tertulis dalam kitab Tuhfat Al-Nafis karya Raja Ali Haji. Klaim warga adat di Rempang ini juga dapat dibuktikan dengan berkunjungnya seorang pejabat Belanda, P. Wink pada 1930 dan menulis hasil kunjungannya dalam artikel berjudul Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang (Kemendikbud Ristek, 2020).

Dalam pengaturan tanah ulayat telah disebutkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang berbunyi dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Dalam tingkat peraturan pelaksananya telah disahkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, akan tetapi dalam Peraturan Pemerintah ini tanah ulayat tidak termasuk obyek pendaftaran tanah. Hal ini dikaitkan dengan Pasal 9 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah ini yaitu ayat (1) bahwa obyek pendaftaran tanah meliputi: a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai, b. Tanah hak pengelolaan, c. Tanah wakaf, d. Hak milik atas satuan rumah susun, e. Hak tanggungan, f. Tanah negara. Ayat (2) bahwa dalam tanah negara sebagai obyek pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah negara dalam daftar tanah.

Kemudian, tanah ulayat juga tidak bisa diperjual belikan dan bukan menjadi objek pendaftaran tanah berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Tanah ulayat ini kemudian dapat diwariskan kepada anak cucu hingga sekarang.

Berdasarkan pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria dijelaskan bahwa hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Pengakuan itu disertai dengan dua (2) syarat yaitu mengenai eksistensi dan pelaksanaannya. Selanjutnya, penerapan kebijakan yang menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 diatas tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), tentu saja jadi landasan penting dalam upaya penyelesaian konflik tanah ulayat.

Penyelesaian konflik di tanah ulayat di Pulau Rempang, tentunya harus menjadi perhatian yang serius pemerintah dengan tetap memperhatikan hak-hak masyarakat dan nilai-nilai kearifan lokal yang ada. Diantaranya, pertama, pemerintah diharapkan memilih jalan persuasif dibandingkan represif. Rakyat pasti sepakat dengan gagasan pembangunan pemerintah, tapi bukan dengan merampas lahan rakyat dengan cara dipaksa relokasi tanpa kepastian hunian keberlanjutan hidup yang layak.

Kedua, pemerintah harus memperhatikan keberlangsungan eksitensi kebudayaan melayu Islam di pulau Rempang. Yang khawatirnya tergantikan dengan budaya modern ala China. Ketiga, Pemerintah harus memberikan solusi dari mata pencaharian masyarakat yang terancam hilang, bagaimana cara mereka melanjutkan hidup, memenuhi kebutuhan hidup setiap hari dan penguatan ekonomi masyarakat.

Keempat, pemerintah harus siap mencegah dampak kawasan industri terhadap pencemaran lingkungan yang mengakibatkan polusi air, udara, tanah yang berbahaya bagi masyarakat di sekitar kawasan industri.

Para warga yang tinggal di Pulau Rempang sebenarnya tidak menolak proyek pemerintah tersebut. Mereka hanya ingin agar tanah nenek moyang mereka di Kampung Tua yang ada di dalam pulau tidak mengalami penggusuran. Dengan upaya negosiasi yang baik, mengajak masyarakat berdialog, menjaga hak-hak masyarakat adat dan memberikan jaminan dan kepastian hidup yang layak pada masyarakat pemerintah dapat menciptakan kesepakatan bersama untuk menyelesaikan sengketa tanah ini dengan adil dan berkelanjutan.

Semoga pemerintah memberikan solusi terbaik untuk masyarakat pulau Rempang yang berkeadilan dan membawa kesejahteraan masyarakat Rempang di masa depan.

Ikuti tulisan menarik Anwar Syafii Pulungan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

15 jam lalu

Terpopuler