x

Lonceng Gereja

Iklan

Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Oktober 2022

Kamis, 28 September 2023 19:26 WIB

Gema Lonceng Gereja yang kian Menyepi…

Bagaimanapun, kita tak mesti hilang harapan! Kita mesti berjuang menata lonceng suara hati. Yang bergema kapan dan di mana saja. Itulah gema lonceng suara hati personal yang dipertautkan dengan nilai-nilai kemanusian. Yang dari menara gereja, yang terhubung melalui pengeras suara sesungguhnya mesti mengkristal dalam ‘nyanyian suara hati-nurani.’

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Gereja adalah rumah sakit bagi para pendosa, dan bukanlah museum bagi orang-orang  kudus”

(Vance Havner, pengkotbah Amerika, 1901 – 1986).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

  

Suara penuh bising

 

Ribut dan dianggap mengganggu. Itulah tuduhan serius publik tentang berdentangnya lonceng gereja. Kumandang lonceng bersahut-sahutan tak lagi dianggap indah, apalagi harus diterima sebagai gema sakral tanda ‘suara Tuhan memanggil.’ Semua itu cumalah kegaduhan yang hanya ‘bikin ganggu’ para pasien. Itu hanya teror yang mengusik siapapun yang ingin tidur lelap dalam sunyi. Dari menara-menara gereja hanya ada ‘polusi suara.’ Tentu ini berat memang dakwaan ini bagi yang sekian ‘pro pada lonceng gereja.’

 

Gedung gereja, gema lonceng, yang dihubungkan dengan seremoni kultis, telah dipaksa jadi senyap. Iya, itu semua dalam gejolak animo dan interese iman yang anjlok ‘di jalan turun.’ Itulah sebabnya, ambil contoh misalnya, Dewan Distrik Dover- di Inggris tanggapi suara keluhan warga Kent akibat bisingnya gema lonceng gereja. Akibatnya, lonceng gereja St Peter di Sandwich, yang telah berdentang sejak 1779 itu mesti ‘diatur waktu bunyinya’ dalam dengar pendapat yang alot.

 

Kesunyian nan gaduh

 

Suara lonceng bahkan dirasa sebagai suatu keanehan kontradiktif. Penuh pertentangan suasana serius dalam biara-biara pencari dan pengusaha keheningan! Mencari tempat-tempat ‘asing, menyepi, jauh dari keramaian’ dalam aksi aksi fuga mundi, biara-biara itu justru ‘meributkan dan membunuh keheningan’ dengan gema lonceng bersahut-sahutan.

 

Tetapi, gema lonceng yang bertahan di lintasan waktu yang panjang, bukannya bebas tantangan. Sepertinya, dalam rentangan waktu semuanya perlahan redup tak bergetar. Umat Allah kah yang dipanggil untuk segera bergegas ke Rumah Tuhan?

 

Jika jumlah umat semakin tipis dan bahkan tiada, maka gema lonceng bisa ternilai tanpa tujuan, selain warna suaranya dianggap isyarakatkan suasana sakral. Tentu tak semuanya menganggapnya demikian. Beda zaman, beda juga sikap umat dan publik terhadap bunyi lonceng gereja.

 

Gema sakral – Panggilan ke Rumah Suci

 

Di tahun 70-an, waktu itu, atau bahkan sebelum-sebelumnya, mama-ku memang punya telinga yang terlatih untuk bisa dan terbiasa menangkap suara lonceng dari Kathedral Ende - Flores. Tak punya jam tangan pun tiada jam dinding, namun suara lonceng Kathedral sudah amat berarti untuk ingatkan: ‘saatnya Doa Angelus,’ atau panggilan untuk ‘misa hari Minggu.’

 

Namun semuanya sudah berubah! Itulah keharusan perubahan. Dentang lonceng gereja mesti berselancar menantang ‘gemuruh ombak’ knalpot dan klakson serta segala hingar bingar. Ini belum lagi bicara tentang ‘ribut-ribut di ruang batin’ yang sumpek oleh asap segala cemas dan takut di dalam hidup penuh tantangan. Tetapi, apakah sebenarnya manusia beriman sungguh merindukan gema lonceng gereja memanggil?

 

Katanya, kini panitia pembangunan gereja cukuplah berpikir tentang bangunan inti. Hanya tentang tempat umat berhimpun. Terus menara gereja tempat lonceng dipajang? Ya, tak usalah terlalu cemas untuk hal yang dianggap pinggiran. Hanya karena lonceng, mestikah sebuah menara dikontruksi? Terasa makan ongkos!

 

Lonceng gereja dan loudspeaker penuh jebakan

 

Bagaimanapun, seorang pastor senior menuju usia renta, merasa tak nyaman jika tak ada lonceng berikut  suaranya yang bersahut-sahutan! Si pastor masih bisa putar otak. Diusahakannya rekaman suara lonceng gereja, yang lalu dikonek pada pengeras suara (loudspeaker). Itu sudah membuat hatinya nyaman!

 

Wah, walau tak ada om koster yang bunyikan lonceng, ‘gema lonceng gereja per loud speaker’ itu sudah wakili ‘suara yang asli, yang seharusnya.’ “Yang dari pengeras suara itu” seolah-olah ingin mengabarkan bahwa tetap ada aura sakral. Kita tetaplah homo religiosus dengan sensus religiosus yang paten pula. Namun yang dicemaskan sekiranya om koster itu loudspeaker-kan lonceng gereja di pagi yang masih buta, terus ia kembali ke rumahnya untuk lanjutkan tidurnya.

 

Kita sering tak mau dianggap tak religius! Segala atribut, simbol, benda, pun termasuk suara lonceng gereja mesti dilestarikan! Termasuk (walau) lonceng gereja rekaman yang dipancarkan dari pengeras suara.

 

Kita cemas bila dianggap tak bercitra religius lagi. Kita hilang kepercayaan diri sekiranya pada kita tak terlihat dan tertangkap atribut yang nyata dan jelas, yang terhubung pada diri dan kehidupan kita. Sebab itulah, kita mesti gelegarkan suara dari rumah Tuhan. Dari menara lonceng.

 

Namun, mungkinkah ini sebuah prank, -bahkan terhadap Tuhan-, bahwa ‘seolah-olah kita masih hidup dalam dalam citra diri penuh religius? Sudahlah! Hanyalah angin yang mengerti tentang semuanya. Kenyataan apa sebenarnya yang tengah terjadi?

 

Gereja dan lonceng gereja skandal religiositas publik?

 

Di Tanah Air, bisa saja cita rasa religius jadi semarak berkobar-kobar. Posisi ke tujuh  dalam daftar negara paling religius di dunia, dengan skor sebesar 98,7 poin, sudah dianggap cemerlang. Para murid Kristus di Tanah Air pasti juga memberi andil untuk skor sementereng itu. Tapi tentu saja ini bukan karena gereja fisik apalagi dengan menara loncengnya. Sebab, entah mengapa, ia selalu dibikin tersendat-sendat dalam banyak tekanan ini-itu ketika hendak dibangun. Padahal kita ini ‘termasuk bangsa dan negara kelompok 10 besar paling religius di muka bumi. Tapi, sudahlah! Itulah kalkulasi duniawi. Tetapi mari kita lanjut....

 

Nah, sekiranya di suatu waktu nanti “gema lonceng gereja benar-benar kian menyepi” masih kah kita merasa diri religius dan beragama? Ketika diberitakan bahwa sekian banyak gereja telah berubah dan beralih fungsi jadi teater, bar, kantor-kantor publik atau tempat ibadat seperti masjid? Iya, ketika dari gereja tak ada lagi suara dentangan loncengnya yang menggema. Karena zaman telah memberi waktu dan kesempatan kini pada gemuruhnya musik rock, metalic dan dansa reage. Ini sudah jadi diskotik, Bro!

 

Dari gema lonceng gereja ke nyanyian suara hati

 

Bagaimanapun, kita tak mesti hilang harapan! Kita mesti berjuang menata ‘lonceng suara hati.’ Yang bergema kapan dan di mana saja kita berada. Itulah gema lonceng suara hati personal yang dipertautkan dengan nilai-nilai kemanusian dan demi kebaikan bersama. Yang dari menara gereja, yang terhubung melalui pengeras suara (loud-speaker) sesungguhnya mesti mengkristal dalam ‘nyanyian suara hati-nurani.’

 

Bukan kah demikian?

Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro- Roma

 

Ikuti tulisan menarik Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

14 jam lalu

Terpopuler