x

Iklan

Adiani Viviana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 11 Oktober 2023 15:56 WIB

Perempuan yang di Dalam Kepalanya Ada Sepatu

Perempuan kerap menjadi inisiator sebuah gerakan sosial. Gerakan Sosial Sedekah Sepatu Layak Pakai, adalah sebuah gerakan yang lahir dan datang dari ranah domestik. Gagasan ini tercetus dari dalam  rumah oleh seorang Ibu Rumah Tangga (saat itu) pada musim pandemi Covid-19. Hingga saat ini, telah tersebar sekitar 3800 pasang sepatu dengan target penerima prioritas anak sekolah dengan status yatim/ piatu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perempuan kerap menjadi inisiator sebuah gerakan sosial. Gerakan Sosial Sedekah Sepatu Layak Pakai, adalah sebuah gerakan yang lahir dan datang dari ranah domestik. Gagasan ini tercetus dari dalam  rumah oleh seorang Ibu Rumah Tangga (saat itu) pada musim pandemi Covid-19. Hingga saat ini, telah tersebar sekitar 3800 pasang sepatu dengan target penerima prioritas anak sekolah dengan status yatim/ piatu yang tidak tinggal di panti dan anak berprestasi dengan latar belakang keluarga kurang mampu. Tidak ada batasan wilayah sebaran. Perempuan ini bergerak hingga daerah-daerah terpencil di Kabupaten Purbalingga khususnya, Banyumas, Banjarnegara, Cilacap, hingga beberapa kabupaten di Yogyakarta.Ia ingin gerakannya dapat menyentuh banyak pihak dan aspek pendidikan secara utuh. Siapa perempuan itu? 

----

“Belilaah sepatu baru. Nie kaya punyaku beli on line. Ntar kukasih tahu toko yang bagus”, seru Ita membujukku dengan antusias. Waktu itu kami sedang duduk santai di ruang tunggu Bank Jateng. Aku menunjukkan sepatu kets yang sedang kupakai. Sudah bulukan, tapi masih berfungsi. Kubeli sekitar sembilan tahun lalu di Botani Square, sebuah pusat perbelanjaan berlokasi di dekat Kebun Raya Bogor. Sepatu bertali ungu yang kubeli dengan harga diskon 50 persen itu relatif awet. Kesetiaannya padaku mendalam. Melangkah bersama kakiku menuju tujuan-tujuan dekat dan jauh di Nusantara ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ita mencintai sepatu dengan dalam. Dibanding tas atau jaket misalnya, sepatu lebih menarik baginya. Sepatu di rumahnya menumpuk. Tapi dia bukan kolektor sepatu. Dia mengaku tipe orang yang setia pada banyak hal, termasuk sepatu. Pada suatu hari di Musim Pandemi Virus Covid-19, tepatnya pada 4 Juni 2020, ide Gerakan Sedekah Sepatu mencuat dari kepala Ita. Saat itu dia sedang beberes sepatu-sepatu miliknya, suami, dan anak lelaki satu-satunya. Jumlah sepatu di rumahnya itu ternyata cukup banyak dengan kondisi yang masih bagus, namun sana-sini berdebu. Tidak ingin hanya sekedar ide, Ita mulai bertindak mewujudkan gagasan itu. Pertama yang ia lakukan adalah pergi ke jasa pencucian sepatu di Purwokerto.

Ita menyampaikan maksud kedatangan dan gagasannya. Ia ingin sepatu-sepatu berdebu yang di rumahnya berubah jadi bersih. Lalu akan disedekahkan kepada orang lain yang membutuhkan. Pemilik jasa pencucian sepatu dengan nama Spatoo Purwokerto mendukung gagasan Ita. Ia akan memberikan tarif murah untuk tiap pencucian sepatu yang akan disedekahkan. Jadilah Gerakan Sedekah Sepatu pertama kalinya beroperasi. Sepatu-sepatu berasal dari rumah Ita. Suami Ita, Spen, dan Narendra anak lelakinya adalah dua orang mitra pertama Ita yang mendukung gerakan ini terwujud. Penerima sedekah pertama adalah Ponpes Baitul Quran Asy Suyuthi Desa Maribaya Kecamatan Karanganyar, Purbalingga.

Hingga saat ini telah ada sekitar 3800 pasang sepatu yang disedekahkan. Ita tidak membatasi target penerima. Baik sebaran wilayahnya, jenis kelamin, maupun latar belakang agama, suku, warna kulit maupun ras. Karena tentang konsep kasih sayang dan memberipun justru Ita belajar dari seorang sahabatnya yang berbeda dalam segala; agama, suku, dan ras. Meski tidak membatasi, namun Ita punya target prioritas penerima sepatu, yaitu anak-anak yatim piatu yang tidak tinggal di panti dan anak berprestasi dari keluarga kurang  mampu. Sejauh ini sepatu-sepatu telah tersebar ke warga-warga di pelosok, sejumlah pondok pesantren dan panti asuhan di Purbalingga, Banyumas, Banjarnegara, Cilacap, Wonosobo, bahkan ke provinsi tetangga;  beberapa kabupaten/ kota di Provinsi Daerah Istimewa  Yogyakarta.

Membagi sepatu, berbeda dengan membagi sembako. Tidak pula sesederhana seperti membagi pakaian. Informasi tentang calon penerima kadang datang dari teman-teman Ita, kadang juga usulan dari warga. Sering pula Ita jemput bola meminta data kependudukan ke Dinas Sosial di wilayah target sebaran penerima. Setelah Ita mengantongi informasi, ia akan melakukan kroscek data. Dalam kroscek data calon penerima sekaligus untuk memastikan ukuran nomor sepatu calon penerima, sehingga nantinya sepatu yang akan mereka terima langsung dapat dipakai. Sepatu yang akan disedekahkan dipastikan telah melalui proses pencucian sehingga bersih dan wangi, kemudian disteril, diwrap dengan plastik.

Tak seberuntung Ita kecil yang sedari TK sudah bersepatu cinderela, sepatu olah raga, dan jenis sepatu lainnya, Eva, anak perempuan dengan thalamesia -sebuah penyakit kelainan darah dengan gejala kelelahan, kelemahan, pucat- harus pergi ke sekolah dengan berjalan kaki menembus hutan. Eva memilih jalur hutan agar lebih cepat sampai di sekolah. Sebenarnya dia bisa lewat jalan umum, tapi rutenya sangat jauh sehingga harus naik ojek, artinya harus keluar biaya dengan tarif lumayan besar.

Eva tinggal bersama Ibu dan kakanya di Desa Gunung Wuled Kecamatan Rembang Kabupaten Purbalingga. Gunung Wuled merupakan desa wisata yang relatif terpencil. Berada di perbatasan antara Kabupaten Purbalingga dan Banjarnegara. Ibu Eva dan kedua anaknya mengidap thalamesia. Mereka telah menaun mengkonsumsi obat kimia dan kadang harus transfusi darah. Kakak Eva tidak sekolah, Eva sudah SMP. Keberadaan Eva sampai juga ke telinga Ita. Ita bersama relawan menyalurkan sepatu-sepatu untuk Eva.

Dalam menyalurkan sepatu, khususnya di daerah terpencil dan minim akses transportasi umum, Ita sering kali harus naik ojek untuk dapat mencapai ke tujuan pembagian sepatu. Misalnya waktu mereka ke Desa Merden Banjarnegara. Target Ita adalah anak berprestasi yang tiap hari harus berjalan kaki dengan waktu tempuh 1 jam melalui medan yang naik turun. Desa Merden relatif terpencil.

Semakin terpencil tempat sasaran Gerakan Sedekah Sepatu, justru semakin membuat Ita tertantang dan termotifasi untuk terus melanjutkan pergerakan. Ita membuka diri selebarnya untuk semua pihak yang punya iktikad baik dan punya visi misi yang sejalan untuk bergabung dengan gerakan ini. Baik menjadi relawan, maupun donatur.

Berawal dari mendonasikan sepatu sendiri, dari dalam rumah sendiri, sekarang Gerakan Sedekah Sepatu Layak Pakai sudah memiliki beberapa donatur dan mitra lokal yang sejauh ini konsisten mendukung gerakan Ita. Misalnya, distributor sepatu lokal di Purbalingga, Paguyuban Warga Keturunan Tionghoa Banyumas, ada pula donatur perorangan. Beberapa perusahaan swasta yang pernah mengirim sepatu untuk gerakan ini antara lain FR Kids Bandung yang mengirim 266 pasang sepatu, Milo sejumlah 500 pasang sepatu, Cerelia Bogor sebanyak 200 pasang.

Bagaimana kalau Anda juga tergerak untuk mendukung gerakan ini? Menjadi donatur, atau mau memberikan sepatu layak pakai yang sudah tidak dipakai? Untuk mensedekahkan sepatu, cukup siapkan sepatu yang ingin disedekahkan. Pilihlah sepatu yang masih layak dan kuat untuk dipakai lagi. Jika sempat dicuci dulu itu lebih baik, tapi jika tidak sempatpun tidak masalah. Lalu kirim ke homebase Gerakan Sedekah Sepatu yang beralamat di Perum Puri Babakan Baru Blok D16 RT 39/ 10 Kalimanah Purbalingga Jawa Tengah. Bila Anda ingin mendukung dalam bentuk uang, bisa melalui transfer ke rekening Bank BCA atas nama Yuspita Anjar Palupi.

Yuspita Anjar Palupi adalah nama lengkap Ita. Ita punya harapan, ke depan Gerakan ini mampu menyentuh banyak pihak dan aspek pendidikan secara utuh, khususnya bagi anak-anak sekolah di daerah terpencil. Sepatu, hanyalah bagian sangat kecil yang mendukung anak-anak dalam bersekolah.

“Jangan ada anak-anak yang minder, atau enggak mau sekolah hanya gara-gara enggak punya sepatu. Ilmu adalah modal untuk semua orang meraih cita-cita, meningkatkan taraf hidupnya”, terang Ita. Siang itu, Ita mengajakku makan nasi pecel bersama. Aku ingin sekali memenuhi ajakannya sembari ingin menunjukkan sepatu baruku, tapi aku tidak bisa. Dan pergilah dia sendiri bersama sepasang sepatu di kakinya.

Ikuti tulisan menarik Adiani Viviana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu