x

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Jumat, 20 Oktober 2023 07:23 WIB

Mendorong Gerakan Moral Merespon Putusan Ganjil Mahkamah Konstitusi

Putusan MK itu memang mengonfirmasi kecurigaan publik selama ini. Bahwa judicial review terkait usia capres-cawapres memang ditunggangi kepentingan kotor politik. Para aktor yang terlibat dalam konspirasi culas ini segera tobat, jangan sampai bom waktu kemarahan publik meledak!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait usia Capres-Cawapres terus menuai badai kekecewaan publik. Sejak Senin (16/10) sore kemarin hingga hari ini timeline berbagai media mainstream maupun platform media digital disesaki dengan pemberitaan dan opini seputar putusan Mahkamah yang dinilai ganjil dan aneh itu.

Tidak tanggung, ganjil dan aneh itu bahkan dikemukakan secara terbuka oleh dua orang hakim konstitusi, Saldi Isra dan Arief Hidayat pada saat pembacaan dissenting opinion masing-masing.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ganjil dan Aneh

Sebagaimana kita ketahui, putusan MK kemarin itu tidak bulat. 5 hakim menyetujui, 4 hakim lainnya dissenting opinion (berpendapat berbeda). Keempat hakim yang memilih dissenting opinion adalah Arief Hidayat, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo.

Pada saat pembacaan putusan, Arief Hidayat mengemukakan beberapa keganjilan yang ia rasakan. Pasalnya lewat putusan tersebut, MK membolehkan orang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.

Padahal pada hari yang sama, sebelumnya MK menolak tiga putusan batas usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun.

Menurut Arief, ia merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada lima perkara a quo yang ditangani MK soal batas usia capres dan cawapres. Keganjilan ini harus saya sampaikan karena mengusik hati nurani saya.

"Hal ini mengusik hati nurani saya sebagai seorang hakim yang harus menunjukan sikap penuh integritas, independen, dan imparsial, serta bebas dari intervensi politik manapun dan hanya berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara yang berdasar pada ideologi Pancasila," kata Arief saat membacakan dissenting opinion di Gedung MK, Jakarta Pusat.

Selain terkait substansi putusan, Arief juga merasakan adanya keganjilan lain, yakni berkenaan dengan penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda. Dia mengatakan, lamanya penjadwalan sidang memang tidak melanggar hukum acara, baik yang diatur dalam UU tentang MK maupun Peraturan MK. Namun, penundaan berpotensi menunda keadilan, dan pada akhirnya akan meniadakan keadilan itu sendiri (justice delayed, justice denied).

Berbeda artikulasi namun memiliki substansi yang sama diungkapan oleh Hakim Saldi Isra. Di tengah pembacaan dissenting opinionnya, Saldi merasa bingung.

Soal yang membuat Saldi bingung adalah bahwa lewat putusan tersebut, MK membolehkan orang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum. Putusan ini dibacakan pada siang menjelang sore hari ini, usai MK menolak tiga putusan batas usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun pada pagi harinya.

"Sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi pada 11 April 2017 atau sekitar enam setengah tahun lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Sadar atau tidak, ketiga putusan (tadi pagi) tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang," ucap Saldi pada saat pembacaan dissenting opinion. Peristiwa aneh itu, kata Saldi, saat MK bisa berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat.

Sebagaimana kita saksikan kemarin, pada sidang pagi harinya dalam perkara Nomor 29-51-55/PUU XXI/2023, MK dengan tegas menolak secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya, yakni DPR.

Namun pada keputusan yang baru dalam perkara Nomor perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, MK mengabulkan permohonan bahwa kepala daerah yang belum berusia 40 tahun bisa menjadi capres atau cawapres selama memiliki pengalaman menjadi kepala daerah.

Poin lain dari Saldi yang “ngeri-ngeri sedap” adalah ketika ia juga menyampaikan, bahwa dalam rapat permusyawaratan hakim untuk memutus perkara gelombang pertama pada tanggal 19 September 2023, Ketua MK Anwar Usman tidak ikut memutus perkara. Dan hasilnya enam hakim konstitusi sepakat menolak dan memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang," kata Saldi. 

Tetapi kemudian dalam perkara gelombang kedua yakni perkara 90/PUU-XXI/2023 dan 91/PUU-XXI/2023, Ketua MK Anwar Usman ikut memutus dalam perkara tersebut dan turut mengubah posisi para hakim yang dalam gelombang pertama menolak menjadi mengabulkan.

Penyelundupan Hukum

Putusan MK itu akhirnya memang mengkonfirmasi kecurigaan publik selama ini. Bahwa judicial review terkait usia capres-cawapres memang ditunggangi oleh kepentingan kotor politik.

Yusril Ihza Mahendra, yang sesungguhnya merupakan bagian dari pimpinan poros KIM yang diduga bakal menyandingkan Gibran dengan Prabowo bahkan bereaksi keras atas putusan tersebut.

"Kalau ditanya kepada saya ini problematik atau tidak, iya, penyelendupan hukum macam-macam. Boleh saya katakan putusan ini mengandung sebuah cacat hukum yang serius, putusan ini bahkan mengandung sebuah penyelundupan hukum karena putusannya mengatakan mengabulkan sebagian,” ungkap Yusril seperti dikutip banyak media nasional.

Senada dengan Yusril, Dosen FH Universitas Islam Malang yang juga Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Basarah, juga menilai terdapat persoalan mendasar dalam amar putusan MK yang membolehkan warga negara belum berusia 40 tahun dapat mencalonkan diri sebagai Capres-Cawapres asalkan pernah/sedang menduduki jabatan  kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk Pilkada (Detik.Com, 16 Oktober 2023).

Dimana letak persoalan mendasarnya? Basarah menyimpulkan bahwa sebenarnya putusan MK ini tidak mengabulkan petitum pemohon, melainkan menolak permohonan pemohon. Karena dari 9 hakim konstitusi, 4 hakim diantaranya memilih dissenting opinion (pendapat berbeda) dan 2 hakim menyatakan concurring opinion (alasan berbeda).

Sikap dan pernyataan concurring opinion oleh dua hakim lainnya, yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh sejatinya juga merupakan dissenting opinion sebab kedua hakim konstitusi itu memiliki pendapat berbeda soal amar putusan.

Menurut hakim konstitusi Enny Nurbaningsih, amar putusan seharusnya, "Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang."

Sementara menurut hakim konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, amar putusannya seharusnya, "Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi." Jadi keduanya sependapat: bukan untuk kepala daerah tingkat kabupaten atau kota, melainkan provinsi.

Introspeksi atau “Bersih-bersih”

Lantas apa yang harus dilakukan terhadap fakta-fakta memuakan dan putusan yang diduga manipulatif serta sarat kepentingan politik itu? Jika terkait materi putusan tentu tidak ada yang bisa dilakukan karena putusan MK bersifat final and binding, tuntas dan mengikat.

Gerakan moral. Inilah yang masih bisa dilakukan seperti yang bakal digelar oleh BEM UI 20 Oktober mendatang. Gerakan moral mendesak agar aktor-aktor yang terlibat dan bernafsu besar mengangkangi mahkamah demi kepentingan politik sesaat segera introspeksi, buruan tobat, dan jangan melangkah lebih jauh lagi.  

Atau seperti yang akan dilakukan Petrus Selestinus, Koordinator Persatuan Advokat Nusantara, yang berencana melaporkan Ketua MK kepada Majelis Kehormatan MK dengan dugaan pelanggaran kode etik sekaligus ke Bareskrim dengan dugaan pelanggaran aspek pidananya (Jawa Pos, 18 Oktober 2023).

Ikhtiar moral penting untuk menjaga marwah dan wibawa MK di mata masyarakat sekaligus menjaga kepercayaan publik terhadap integritas lembaga-lembaga tinggi negara.

Demikian juga langkah melaporkan Ketua MK, penting dalam rangka sebutlah “bersih-bersih” MK dari kotoran-kotoran kepentingan politik.

Selain untuk menjaga kondusifitas situasi politik-keamanan menjelang pendaftaran Capres-Cawapres, juga penting untuk merawat kepercayaan publik terhadap rangkaian proses Pemilu yang makin mendekati fase-fase krusial. Atau, mau menunggu “bom waktu” meladak ?

Perlu disadari semua pihak, bahwa kelak ketika hasil penghitungan suara dan penetapan hasil Pemilu serta paslon Presiden-Wapres terpilih oleh KPU tidak diterima oleh salah satu atau lebih kontestan, muara pencarian keadilan juga ada di Mahkamah Konstitusi.

Ngeri membayangkan bagaimana jadinya jika MK sebagai benteng penjaga konstitusi sekaligus pengadil bagi para pencari keadilan elektoral melalui mekanisme gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sejak kini sudah kehilangan kepercayaan publik.

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

6 jam lalu

Terpopuler