x

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Minggu, 29 Oktober 2023 08:54 WIB

Sumber Kegaduhan Pemilu dan Beban Baru Demokrasi

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai usia Capres-Cawapres potensial memicu kegaduhan perhelatan Pemilu sekaligus menjadi beban baru demokrasi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam pendekatan kelembagaan baru (new institusional) di lingkungan ilmu politik ada satu tesis menarik. Bahwa demokrasi politik tidak hanya bergantung pada kondisi sosial dan ekonomi, tetapi juga pada desain kelembagaan politik (Political democracy depends not only on economic and social conditions, but also on the design of political institution).  

Tesis itu dikemukakan oleh James March dan Johan Olsen, dua ilmuwan politik yang mempromosikan pendekatan kelembagaan baru (new institusionalism) dalam disiplin ilmu politik.

Salah satu kelembagaan politik paling penting sebagaimana dimaksud dalam tesis March dan Olsen itu adalah Pemilu. Artinya, selain sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, Pemilu sesungguhnya juga berfungsi sebagai instrumen kelembagaan untuk mengonsolidasikan demokrasi politik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Merujuk pada cara pandang demikian, maka desain Pemilu yang buruk akan berdampak buruk pula terhadap demokrasi. Begitu pun sebaliknya, desain Pemilu yang baik akan berkontribusi positif terhadap demokrasi.

Selain aspek desain, Pemilu yang dapat berkontribusi positif terhadap pematangan demokrasi adalah Pemilu yang diselenggarakan secara jujur dan adil serta terhindar dari cara-cara kotor dalam memenangi kontestasi.

Cara-cara memenangi kontestasi yang kotor itu misalnya adalah dengan mengkapitalisasi aspek-aspek primordial (agama, ras, etnik, kedaerahan) secara brutal, menggunakan strategi kampanye hitam dan menebar fitnah membabi buta. Alih-alih berkontribusi positif, Pemilu yang diwarnai cara-cara kotor seperti ini justru akan membebani demokrasi itu sendiri.

Pemilu yang sejatinya hadir sebagai instrumen penguatan demokrasi justru terdistorsi menjadi arena pertengkaran, ruang saling menyakiti antar elemen bangsa, dan meretakkan bangunan kohesivitas sosial serta mengancam keutuhan dan persatuan negara-bangsa.

Tanpa bermaksud membuka luka lama, Pemilu 2019 silam telah menghadirkan satu fenomena buruk yang membebani demokrasi kita. Yakni fenomena polarisasi (pembelahan) sosio-politik secara tajam dan ekstrim. Polarisasi ini dipicu oleh politisasi identitas dan stigmatisasi buruk antar dua kubu pasangan Capres-Cawapres kala itu.

Polarisasi sebagai beban demokrasi ini terus berkelanjutan hingga Pemilu usai dan pemerintahan baru hasil Pemilu terbentuk. Sampai batas tertentu, polarisasi itu bahkan masih menghantui bangsa ini sampai sekarang.

 

Beban baru Buntut Putusan MK 

Sejak memasuki tahapan Pemilu 2024 pertengahan Juni tahun lalu, berbagai elemen masyarakat sepakat dan mendesak agar para pihak yang bakal berkontestasi menghindari cara-cara meraih dukungan konstituen yang potensial memicu lahirnya kembali polarisasi. Salah satunya adalah politisasi identitas itu.

Mencermati narasi-narasi yang kerap dikemukakan oleh para elit, baik di pemerintahan, parlemen maupun partai politik, desakan itu jelas disambut positif. Sebagai gantinya wacana politik kebhinekaan kemudian ramai diperbincangkan, meski tak seriuh perbincangan di seputar pra-kandidasi Capres-Cawapres.

Tetapi sayang. Bermula dari dinamika pra-kandidasi kemarin itu merebak  sejumlah isu kontroversial yang nampaknya bakal menjadi beban baru bagi demokrasi elektoral 2024 nanti. Isu ini dipicu oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berkenaan dengan usia Capres-Cawapres.

Sedikitnya ada 3 (tiga) isu krusial yang potensial menjadi pemicu kegaduhan Pemilu 2024 (khususnya pada masa kampanye) yang sekaligus bisa menjadi beban baru demokrasi lantaran putusan tersebut. Pertama, dugaan telah terjadinya kooptasi kekuasaan atas putusan Mahkamah Konstitusi. Kedua isu politik dinasti. Ketiga isu keperpihakan pemerintah dan aparaturnya.

 

Kooptasi Politik atas Putusan MK

Seperti yang sudah banyak diekspose media dan menjadi perbincangan panas di ruang publik, putusan MK terkait usia Capres-Cawapres itu diduga merupakan putusan yang telah dipersiapkan sedemikian rupa untuk semata-mata memenuhi syahwat kekuasaan dari aktor-aktor politik yang berkepentingan.

Dugaan kooptasi kekuasaan negara atas putusan Mahkamah itu kini telah menjadi pengetahuan publik dan dipercaya kesahihannya. Masyarakat faham betul, bahwa putusan ini telah berdampak langsung pada proses perhelatan Pemilu. Gibran yang semula tidak memenuhi syarat maju sebagai bakal Cawapres kini melenggang karena putusan tersebut.

Isu tersebut, besok atau lusa potensial akan menjadi bahan yang mudah untuk dipersoalkan pada masa kampanye. Legitimasi Prabowo-Gibran sebagai pasangan calon Presiden-Cawapres akan sangat rentan menjadi sasaran serangan lawan dan para pendukungnya. Dan akan sangat berbahaya jika misalnya pasangan ini akhirnya memenangi kontestasi. Kemenangannya potensial dipersoalkan dan akan kehilangan legitimasi.

 

Politik Dinasti

Beban demokrasi lainnya terkait isu politik dinasti. Putusan Mahkamah yang telah memberi jalan bagi Gibran untuk maju sebagai bakal Cawapres dilihat dan dipercaya publik telah mengonfirmasi secara akurat dan kongkret dugaan selama ini. Bahwa Jokowi memang tengah mempersiapkan bangunan dinasti politik di ujung kekuasaannya.

Isu politik dinasti ini hemat saya juga akan menjadi beban baru, baik bagi perhelatan Pemilu 2024 maupun bagi masa depan demokrasi kita. Dalam arti ia akan menjadi salah satu isu yang bakal ramai dipersoalkan pada masa kampanye, dan tidak mustahil menjadi faktor pembelah (polarisasi) masyarakat menggantikan isu politik identitas di Pemilu 2019 silam.

Penting disadari, bahwa terlepas dari perdebatan akademik dan teoritik, dalam persepsi publik isu politik dinasti atau dinasti politik sesungguhnya telah hampir sampai pada kesimpulan akhir: buruk dan memuakkan!

 

Potensi Ketidaknetralan Pemerintah

Isu terakhir yang potensial membebani Pemilu dan demokrasi kita adalah soal netralitas pemerintah dan aparaturnya, terutama di jajaran birokrasi sipil, termasuk penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu)

Majunya Gibran sebagai bakal Cawapres di poros Koalisi Indonesia Maju (KIM) -- dan ini adalah dampak dari putusan MK-- diduga kuat, atau lebih tepatnya dikhawatirkan akan mendorong pemerintah dan aparaturnya menjadi tidak netral dalam perhelatan Pemilu nanti.

Kekhawatiran dan dugaan itu tentu beralasan karena Gibran adalah anak Presiden Jokowi. Dalam ketatanegaraan kita, selain sebagai kepala negara, Presiden adalah juga kepala pemerintahan yang mengendalikan birokrasi. Mulai dari kementerian dan lembaga negara setingkat menteri sampai aparatur birokrasi hingga ke jajaran terbawah di Kelurahan/Desa.

Terhadap situasi demikian rasa-rasanya sangat bisa fahami jika publik kemudian menyimpulkan bahwa tidak mungkin Presiden Jokowi membiarkan anaknya berjuang tanpa sokongan, dan membiarkannya menjadi pecundang dalam pertarungan. Impossible!

 

 

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu