x

Gibran Rakabuming Raka. Foto: Taufan Rengganis/Tempo

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Kamis, 2 November 2023 06:36 WIB

Lima Alasan Publik Mempersoalkan Gibran sebagai Bakal Cawapres

Publik sesungguhnya tidak menolak Gibran menjadi bakal Cawapres, toh itu hak dia sebagai warga negara. Publik hanya mempersoalkan warga negara yang mencalonkan atau dicalonkan memimpin negara-bangsa (siapapun dia !) tetapi sejak awal sudah berani menegasikan keadaban, bermental nepotis, bersyahwat besar menyuburkan dinasti politik, minus pengalaman, dan nir-adab secara politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hingga saat ini ruang publik masih terus dipenuhi oleh perbincangan kontroversial perihal majunya Gibran sebagai bakal Cawapres mendampingi Prabowo. Berbasis pencermatan terhadap pemberitaan, opini dan komentar di berbagai platform media, baik media mainstream maupun media sosial, suara-suara yang mempersoalkan nampaknya lebih dominan.
 
Lantas mengapa banyak pihak yang mempersoalkan, atau lebih tegasnya menolak pencalonan Gibran sebagai bakal Cawapres? Hemat saya setidaknya ada 5 (lima) alasan mengapa publik menolak Gibran.
 
Cara yang ditempuh
Alasan pertama adalah soal cara bagaimana akhirnya Gibran sampai pada posisi bakal Cawapres. Publik melihat cara atau jalan yang ditempuh dan dilalui Gibran menjadi bakal Cawapres adalah cara yang buruk, tidak sehat secara politik.
 
Cara buruk yang dimaksud yakni adanya dugaan penggunaan otoritas Mahkamah Konstitusi (MK) melalui mekanisme judicial review terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 terkait syarat usia Capres-Cawapres yang telah dipersiapkan sedemikian rupa.
 
Mulai dari pembentukan opini seputar kepemimpinan anak muda oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan elektoral terhadap Gibran, glorifikasi terhadap sosok Gibran oleh relawan dan elit-elit partai di Koalisi Indonesia Maju (KIM), penyiapan para pihak pemohon perkara, hingga ke “penyelundupan hukum” (meminjam istilah Prof. Yusril Ihza Mahendra) oleh Ketua MK, Anwar Usman yang tidak lain adalah pamannya sendiri.
 
Dugaan adanya manipulasi putusan, atau “ganjil dan aneh” dalam ungkapan hakim Konstitusi, Prof. Arif Hidayat dan Prof. Saldi Isra itu kemudian berujung pada pemeriksaan semua hakim Konstitusi oleh Majelis Kehormatan MK saat ini. Mereka dilaporkan oleh sejumlah pihak dengan dugaan telah melanggar kode etik sebagai hakim Konstitusi.
 
Anak Presiden
Alasan publik berikutnya berkenaan dengan posisi Gibran sebagai anak Presiden sekaligus keponakan dari Ketua MK, Anwar Usman.
 
Dalam persepsi publik Gibran telah memanfaatkan posisinya sebagai anak Presiden yang masih menjabat sekaligus keponakan Ketua MK yang mengabulkan gugatan terkait usia Capres-Cawapres untuk memenuhi ambisi politiknya. Dalam konteks ini Gibran dinilai telah terjerumus atau menjeruskan diri ke dalam model-model politik nepotisme sebagai salah satu penyakit kebangsaan yang justru harus diberangus.
 
Selain itu, posisi tersebut juga dianggap sangat potensial menjadi preseden politik yang tidak sehat dalam kerangka pembangunan masa depan kehidupan politik dan penguatan demokrasi elektoral.
 
Potensial melahirkan dinasti politik
Majunya Gibran sebagai bakal Capres pada saat ayahnya masih menjabat sebagai Presiden dianggap sebagai praktik politik dinasti yang berpotensi makin menyuburkan gejala dinasti politik dalam lanskap kepolitikan Indonesia ke depan.
 
Isu ini menjadi faktor ketiga yang telah memantik banyak orang kemudian menolak pencalonan Gibran sebagai bakal Cawpares Prabowo. Terlepas dari pembelaan akademik-teoritik terkait terma politik dinasti dan dinasti politik oleh para pendukungnya, yang pasti banyak masyarakat yang memahami politik dinasti dan dinasti politik itu sebagai sesuatu yang buruk.
 
Sekedar menyebut beberapa contoh ironis. Sejumlah pendukung Jokowi saja, seperti Ahok mantan Gubernur DKI dan budayawan Butet Kartaredjasa mengecam aura politik dinasti ini.
 
Minim pengalaman
Faktor berikutnya yang membuat banyak orang tidak yakin dengan kapasitasnya dan karena itu menolak pencalonan Gibran sebagai bakal Cawapres adalah karena pengalaman kepemimpinan politiknya yang belum dianggap memadai untuk memimpin negara sebesar Indonesia.
 
Bahwa sudah berpengalaman sebagai Walikota iya, tetapi sebuah Kota tentu saja berbeda dengan negara. Bukan hanya soal keluasan wilayah, tetapi yang terpenting adalah besaran dan kompleksitas permasalahan yang bakal dihadapi, diurus dan harus diselesaikan. Dalam konteks ini Gibran masih dianggap terlalu dini untuk menghadapi kompleksitas permasalahan, kebutuhan, dan tantangan masa depan Indonesia.
 
Mengabaikan adab politik
Faktor terakhir adalah soal etika atau adab dan fatsun politik. Masyarakat tahu persis bahwa Gibran adalah kader PDIP. Ia maju dan terpilih menjadi Walikota Solo karena peran kunci partainya. Benar bahwa yang memilih adalah rakyat. Tetap yang menawarkan dan mempromosikan dirinya kepada rakyat adalah partainya. PDIP pula yang setiap saat “pasang badan” ketika Gibran diserang lawan-lawan politiknya.
 
Keberaniannya maju mendampingi Prabowo yang diusulkan poros Koalisi Indonesia Maju (KIM) justru pada saat partainya sedang membutuhkan figurnya sebagai salah satu kader terbaik dinilai telah menabrak etika dan fatsun politik. Penilaian ini bukan saja datang dari lingkungan PDIP, tetapi juga berasal dari masyarakat yang bahkan bukan konstituen PDIP. Gibran dianggap minus adab secara politik.
 
Bagaimana dengan usianya yang relatif masih terlalu muda untuk menjadi pemimpin nasional? Saya tidak melihat, kecuali sangat sedikit, pihak-pihak yang mempersoalkan usia muda Gibran sebagai faktor penolakan.
 
Artinya, usia muda memang bukan persoalan bagi setiap warga negara untuk maju menjadi calon pemimpin, bahkan di level nasional sekalipun. Bangsa ini punya pengalaman cukup memiliki pemimpin-pemimpin muda usia terutama di zaman pergerakan kemerdekaan dan awal-awal republik ini berdiri. Soal pemimpin muda, publik mempersilahkan.
 
Ringkasnya, publik memang tidak mempersoalkan Gibran sebagai warga negara menjadi bakal Cawapres. Publik hanya mempersoalkan warga negara yang mencalonkan atau dicalonkan memimpin negara-bangsa (siapapun dia !) tetapi sejak awal sudah berani menegasikan keadaban, bermental nepotis, bersyahwat besar menyuburkan dinasti politik, minus pengalaman, dan nir-adab secara politik. Ini yang publik tidak bisa menolerir !
 

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu