x

Iklan

Muhammad Farhan Maulana Putra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 April 2023

Senin, 6 November 2023 08:38 WIB

Manuver Politik ala Dinasti Jokowi

Langkah nepotis Jokowi bukan hanya merusak prinsip-prinsip demokrasi yang memungkinkan persaingan sehat, tetapi juga menciptakan ketidaksetaraan dalam akses terhadap kekuasaan politik. Indonesia yang dahulu meraih kemenangan bersejarah dengan Reformasi tahun 1998, kini sedang terjerumus dalam krisis moral dan hukum yang mengancam pondasi demokrasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indonesia, yang dahulu meraih kemenangan bersejarah dengan Reformasi tahun 1998, kini sedang terjerumus ke dalam krisis moral dan hukum yang mengancam pondasi demokrasinya. Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan kebijakan politik yang merusak dan praktik nepotisme yang merajalela, yang telah mengguncang keyakinan masyarakat terhadap proses demokratis. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kekuatan oposisi yang mampu menantang tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Alih-alih menjadi pemimpin oposisi, Prabowo Subianto justru menerima tawaran Jokowi dan bergabung dalam pemerintahan sebagai Menteri Pertahanan setelah kekalahan dalam pemilihan presiden tahun 2019 kemarin.

Bentuk nepotisme dalam pemerintahan Indonesia yang semakin menguat pada akhir-akhir ini telah membawa konsekuensi serius terhadap sistem demokrasi. Jokowi, yang awalnya dipilih oleh mayoritas rakyat sebagai alternatif untuk menghindari kebangkitan era Orde Baru yang diwakili oleh Prabowo Subianto, kini mendukung Prabowo sebagai calon presiden pada tahun 2024. Bahkan lebih jauh, ia telah menempatkan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden. Fenomena ini tidak hanya merusak proses pemilihan yang seharusnya adil dan terbuka bagi semua pihak, tetapi juga menciptakan ketidaksetaraan dalam akses terhadap kekuasaan politik.

Selain itu, langkah Jokowi ini bukan hanya merusak prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya memungkinkan persaingan yang sehat, tetapi juga menciptakan ketidaksetaraan dalam akses terhadap kekuasaan politik. Alih-alih mempertimbangkan kualifikasi, pengalaman, dan rekam jejak calon pemimpin, kita menyaksikan bahwa banyak calon yang dipilih tidak memiliki kompetensi yang memadai atau pengalaman yang relevan dalam pemerintahan. Sebagai contoh, penggantian pejabat-pejabat kunci dengan individu yang memiliki hubungan dekat dengan Jokowi adalah bentuk konkret dari upaya untuk memanipulasi politik di pemerintahan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, krisis ini tidak hanya berkaitan dengan nepotisme, tetapi juga dengan peran Mahkamah Konstitusi dalam proses pemilihan. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Jokowi, untuk menjadi calon wakil presiden dalam pemilihan tahun 2024 telah menjadi sorotan kuat. Keputusan ini mengundang pertanyaan serius tentang independensi lembaga ini dan apakah lembaga hukum tersebut sekarang menjadi alat untuk melanggengkan politik dinasti.

Gugatan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengubah Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu yang mengatur batas usia calon presiden dan calon wakil presiden telah dikabulkan. Meskipun batas usia tersebut tetap 40 tahun, penambahan klausa "atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten-kota" menjadi perhatian. Keputusan ini membuka jalan bagi Gibran, yang saat ini berusia 36 tahun dan menjabat sebagai Wali Kota Solo, untuk mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden pada tahun 2024.

Intervensi politik dalam proses peradilan ini mengguncang independensi Mahkamah Konstitusi dan merongrong kepercayaan masyarakat pada sistem peradilan. Langkah-langkah yang diambil oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam mendukung agenda politik keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, telah merusak keadilan dan memicu pertanyaan serius tentang integritas lembaga ini.

Elektabilitas Gibran jika dibandingkan dengan kandidat calon wakil presiden Prabowo yang lain bisa dibilang rendah. Pencalonan Prabowo-Gibran tampaknya didasari oleh dukungan yang kuat dari Jokowi. Dengan mengajak Gibran, Prabowo mendapatkan garansi dukungan dari Jokowi beserta para pendukungnya. Dengan dukungan Jokowi, Prabowo akan memiliki akses yang lebih besar ke sumber daya, terutama di dalam pemerintahan. Prabowo juga memiliki kemampuan untuk mendapatkan dukungan dari aparatur negara. Mobilisasi aparat bukanlah hal yang aneh dalam pemilihan umum di negara-negara berkembang seperti Indonesia ini.

Perlu adanya langkah-langkah reformasi yang signifikan untuk mengatasi krisis moral dan hukum yang mengancam demokrasi Indonesia. Reformasi sistem pemilihan, penguatan lembaga pengawas demokrasi, reformasi Mahkamah Konstitusi, dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya demokrasi yang sehat adalah langkah-langkah yang diperlukan. Hanya dengan upaya bersama dan perubahan yang komprehensif, Indonesia dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat pada demokrasi dan memastikan masa depan yang lebih adil, transparan, dan demokratis bagi semua warganya.

Ikuti tulisan menarik Muhammad Farhan Maulana Putra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

8 jam lalu

Terpopuler