x

Ilustrasi oleh Pete Linforth Pixabay.com

Iklan

Ida Wayan Mahendra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 Desember 2023

Sabtu, 16 Desember 2023 06:49 WIB

Pajak Karbon, Strategi Fiskal dalam Mengatasi Perubahan Iklim Global

Pajak karbon merupakan langkah penting pemerintah untuk berperan aktif dalam mengatasi perubahan iklim global dengan memanfaatkan pajak sebagai instrumen.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Ida Wayan Mahendra*)

Perubahan iklim global merupakan tantangan yang menjadi ancaman serius tidak hanya bagi manusia tetapi juga bagi makhluk hidup lainnya. Perubahan iklim yang sangat ekstrem disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adanya peningkatan emisi gas rumah kaca. Efek rumah kaca merupakan fenomena alami dimana gas tertentu yang berada pada atmosfer bumi menyerap dan memancarkan kembali sebagian dari radiasi panas yang dipancarkan oleh permukaan bumi.

Gas-gas tersebut, seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan uap air (H2O) yang bertindak seperti “kaca” pada rumah kaca, membiarkan cahaya matahari masuk ke atmosfer dan menghangatkan permukaan bumi. Namun, gas-gas ini juga membatasi jumlah panas yang dapat keluar dari atmosfer, sehingga menyebabkan peningkatan suhu global, kenaikan permukaan laut, gangguan ekosistem, gangguan pada pertanian dan kehilangan keanekaragaman hayati.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Efek rumah kaca disebabkan oleh emisi karbon yang timbul akibat dari peningkatan pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, hasil gas metana dan nitrogen oksida pada pertanian dan peternakan, emisi gas CO2 pada industry, penggunaan Freon dan CFC pada teknologi pendingin, AC dan aerosol serta pengelolaan limbah yang menghasilkan gas etana. Meningkatnya laju produksi CO2 ini jauh lebih cepat dari pada produksi O2 yang merupakan senyawa penting untuk keberlangsungan hidup kita. Sehingga pada 12 Desember 2015, sebanyak 195 negara termasuk Indonesia, menyepakati perjanjian iklim global yang dikenal sebagai Perjanjian Paris (Paris Agreement). Perjanjian ini bersifat sukarela, dimana semua negara yang menyepakatinya berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan memastikan suhu global tidak naik lebih dari 2˚C serta menjaga kenaikan suhu global tetap di bawah 1.5˚C. Perjanjian Paris ini mulai berlaku efektif sejak 4 November 2016.

Menindaklanjuti perjanjian tersebut, pemerintah Indonesia memunculkan kebijakan berupa Pajak Karbon, dimana pajak karbon digunakan sebagai strategi fiskal untuk memotivasi perubahan perilaku ekonomi dan mentransisi perilaku ekonomi menuju ekonomi berkelanjutan dalam mengatasi perubahan iklim. Selain berfungsi sebagai instrument budget air (pendanaan), pajak juga memiliki fungsi sebagai regularend dimana pajak ditempatkan sebagai instrument pemerintah untuk mengatur berbagai kebijakan di bidang ekonomi ataupun bidang lainnya dan fungsi inilah yang digunakan oleh pemerintah dalam memanfaatkan pajak sebagai solusi untuk mengatasi perubahan iklim sekaligus mendapatkan manfaat ekonomi dari penerapannya.

Pajak karbon di Indonesia diatur dalam undang-undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Indonesia telah menjadi salah satu dari sedikit negara, bahkan yang terbesar di Negara berkembang, yang akan mengimplementasikan pajak karbon lebih dahulu. Berdasarkan UU HPP, pajak karbon dikenakan kepada wajib pajak orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu. Pajak karbon di Indonesia untuk saat ini diterapkan dengan skema cap and tax yang di mana akan diintegrasikan dengan kebijakan cap and trade. Cap and Trade adalah kebijakan terhada pentitas yang menghasilkan emisi lebih dari cap diwajibkan membeli sertifikat izin emisi (SIE) entitas lain yang emisinya di bawah cap. Entitas juga dapat membeli sertifikat penurunan emisi (SPE), sementara Cap and Tax adalah skema pemajakan yang ditujukan untuk sisa emisi yang belum bias ditutup dengan pembelian SIE.

Sebagai sebuah kebijakan yang sangat strategis dalam penanganan perubahan iklim, pengenaan pajak karbon memberikan sinyal kuat yang akan mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, dan investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan. Dalam konteks pembangunan, penerimaan Negara dari pajak karbon dapat dimanfaatkan untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberikan dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial. Pajak ini dapat menciptakan insentif ekonomi yang kuat untuk mengurangi jejak karbon dan merangsang investasi dalam teknologi bersih dan terbarukan.

Pendekatan ini menciptakan alur ekonomi yang seimbang, di mana kegiatan ekonomi yang berdampak negatif pada lingkungan tidak hanya menghasilkan produk atau layanan, tetapi juga membayar biaya atas dampak lingkungan yang dihasilkannya. Meskipun demikian, tujuan utama dari pengenaan pajak karbon adalah mengubah perilaku (changing behavior) para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.

Guna mendukung ekosistem penerapan dari pajak karbon tersebut, pemerintah melalui Bursa Efek Indonesia meluncurkan Bursa Karbon pada bulan September 2023. Kehadiran bursa karbon merupakan instrument penting dalam penerapan pajak karbon, selain itu bursa karbon juga dapat menawarkan diversifikasi investasi sekaligus melestarikan lingkungan untuk mewariskan bumi yang lebih baik untuk generasi kedepannya. Hasil dari seluruh proses perdagangan karbon melalui bursa karbon akan dapa kembali direinvestasikan kepada upaya menjaga keberlanjutan lingkungan hidup, terutama pengurangan emisi karbon yang dimulai secara bersama-sama.

Dengan potensi karbon yang besar, Indonesia bias menjadi poros karbon dunia dengan tetap konsisten membangun dan menjaga ekosistem karbon di dalam negeri. Dari besaran target pengurangan emisi gas rumah kaca, potensi perdagangan karbon ditaksir mencapai Rp 3.000 triliun. Namun penerapan pajak karbon di Indonesia bukan tanpa kendala laju deforestasi yang masih tergolong tinggi sebesar 113,5 ribu hektar di tahun 2020-2021 dan walaupun mengalami penurunan sebesar 8,4% di tahun 2021-2022 menjadi 104 ribu hektar dapat menjadi kendala serius yang mengganggu potensi penyerapan karbon di Indonesia, selain itu bursa karbon juga masih menjadi barang baru sehingga masih banyak belajar, butuh waktu dan proses pengembangannya dimana perputaran perdagangan yang tidak intens atau setiap hari.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pajak karbon sebagai strategi fiskal memiliki potensi besar untuk mengatasi perubahan iklim global sekaligus dapat memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi Indonesia, namun manfaat ekonomi tersebut bukan merupakan tujuan utama dari penerapan pajak karbon. Tujuan utamanya adalah untuk menurunkan emisi karbon di dunia dan mendorong perilaku ekonomi yang bepedoman pada keberlanjutan dan pengembangan energy yang bersih dan terbarukan. Melalui pemahaman mendalam tentang implementasi dan dampak dari penerapan pajak karbon ini, setiap Negara dan masyarakat internasional dapat mengambil langkah-langkah konkret untuk mencapai target emisi dan menciptakan dunia yang lebih berkelanjutan bagi generasi mendatang. Dengan terus menggali dan mengembangkan konsep ini, kita dapat bersama-sama menciptakan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.

*) Ida Wayan Mahendra, Mahasiswa S2 Ilmu Manajemen Universitas Pendidikan Ganesha

Ikuti tulisan menarik Ida Wayan Mahendra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu