x

Sukibayashi Jiro

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Jumat, 29 Desember 2023 09:55 WIB

Dilema Inovasi dan Pembaruan

Mungkinkah orang bisa tumbuh dengan keunikan yang dimilikinya, disaat dunia mendewakan inovasi dan pembaruan? Mengapa kita menghabiskan waktu untuk copras-capres kalau masih bicara soal gunung dan lautan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sekarang ini, zaman melahirkan manusia sebagai mesin yang bergerak. Kita bangun ketika matahari belum terbit, berangkat bekerja saat hari masih gelap, bekerja seharian, pulang saat hari telah sama gelapnya ketika kita berangkat, dan pergi tidur tanpa sempat memandang kagum bintang-bintang. Keeseokan harinya kita mengulang-ulang "kehidupan" kita yang hanya sekali itu dengan rutinitas yang nyaris sama persis. Kita bertemu orang-orang yang sama, makan di jam yang sama dan mengoceh tentang cerita yang sama. Di titik itu, kita merasa bosan.

Sabtu dan Minggu terasa begitu spesial bagi hidup kita. Dua hari yang begitu mahal. Meskipun waktu untuk keluarga itu seringkali kita habiskan hanya untuk mengganti kekurangan tidur pada hari Senin sampai Jumat. Maka sebenarnya tidak ada yang spesial. Tidak ada hari spesial. Tidak ada waktu yang mahal.

Pekerjaan modern menghargai inovasi di atas segalanya. Dan seringkali kita harus menanggapinya dengan toleransi yang berlebih. Karena kita tahu bahwa tidak setiap perubahan adalah inovasi. Orang yang mengubah bentuk ban mobil menjadi segitiga tidak dapat disebut sebagai inovator. Sesuatu yang telah berjalan sesuai dengan fungsinya, tidak seharusnya diperbaiki. Di tengah zaman seperti ini, mungkinkah orang bisa tumbuh dengan keunikan yang dimilikinya, dalam dunia yang serba mendewakan inovasi dan pembaruan?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Maka mau tidak mau kita harus memiliki ruang tersendiri untuk memastikan keunikan yang kita miliki itu tidak hilang digilas zaman. Sebuah kapal yang memastikan bahwa pikiran kita tidak semata-mata ikut terseret arus peradaban. Untuk sekadar melawan dengan tidak ikut-ikutan.

Mengapa harus bicara politik saat pemilu kalau kita masih bisa bercerita tentang ikan dan lautan. Mengapa harus sebegitu heboh dengan konflik Israel-Palestina kalau kita masih bisa membacakan dongeng tentang seekor kancil dan petani kepada anak-anak kita sebelum tidur malam. Ada begitu banyak hal-hal kecil yang kita lewatkan, ketika pikiran kita sibuk mengurusi hal-hal besar yang sejatinya tidak menjadi urusan kita. Padahal di dalam hal-hal kecil itulah makna hidup kita ditentukan.

Jiro Ono sekarang berumur 98 tahun. Ia telah membuat sushi sejak umur 7 tahun. Artinya, 91 tahun hidupnya dihabiskan untuk membuat sushi. Sukibayashi Jiro, restoran sushi miliknya adalah restoran sushi terbaik di dunia yang menuai pujian dari mantan presiden Amerika, Barack Obama. Apa kuncinya? Sederhana saja, sebuah hal kecil: setiap hari ia bangun lebih awal dari pemilik restoran lain agar dapat menjadi yang pertama memilih ikan segar di pasar. Kegiatan itu kurang lebih ia lakukan jam 3 pagi. Ia tidak mengurusi urusan orang lain, begitu ikan terbaik telah di dapat, ia pulang.

Perbedaan restoran sushi terbaik di dunia, Sukibayashi Jiro, dan restoran sushi yang lain adalah hal kecil yaitu pemiliknya bangun lebih pagi. Sebuah hal kecil yang selama 91 tahun tak terlewatkan.

Pertanyaannya, apa yang membedakan Jiro Ono dengan kita? Mengapa ia tidak bosan dengan rutinitasnya sedangkan kita bosan? 

Saya kira karena ia memiliki "ruang kesendirian" di dalam dirinya yang mengatakan bahwa hidupnya adalah untuk menghidangkan sushi terbaik. Maka tingkat kebahagiaan yang ia dapatkan saat bangun, saat memilih ikan di pasar, maupun saat mendapatkan pujian dari presiden Amerika berada pada taraf yang sama. Sedangkan kita tidak punya itu.

Lebih lagi, inovasi yang begitu dibanggakan oleh masyarakat modern sekarang ini tidak begitu didewakan oleh Jiro Ono. Ia mempertahankan resep sushi tradisional. Resep yang ia buat sekarang adalah resep yang sama dengan yang ia buat ketika umurnya masih 7 tahun. Restorannya hanya ada satu di Ginza yang terletak di jantung kota Tokyo, Jepang. Kursinya hanya ada sepuluh. Tidak ada inovasi. Dan tetap saja, di dalam "ruang kesendirian" itu, kesuksesan menghampirinya begitu saja sebagai seorang sahabat lama.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu