Sebuah tiang bercabang tiga di samping rumah kehidupan
berdiri tegar dengan simbol-simbolnya
tak luntur dipeluk musim dan waktu.
Matahari adalah pencipta
tanah adalah pemberi makanan
air adalah darah-darahnya
lembah dan bukit-bukit adalah sayap-sayapMu.
Batu-batu karang penerjemah pesan-pesan pada leluhur
menumpuk mengelilinginya
sebagai jembatan tetesan-tetesan syukur
untuk meminta panas dan hujan
sebab benih-benih padi, jagung dan kacang-kacang
telah siap untuk ditanam.
Kami membentuk lingkaran
perempuan, laki-laki, muda-mudi, anak-anak
syair bete lala… dinyanyikan
muti funan
uhhhh palate… (menghentakkan kaki)
dipadukan tarian tebe
sebagai buah kedamaian dan persaudaraan
bahwa persembahan untukmu adalah jejak napas kami.
Sirih-pinang menandai dahi kami
dalam nama yang menghidupkan lidah kami
dalam darah yang mempertemukan nyawa kami.
Kini para ibu telah menanam untuk tahun ini
hasil panennya dipersembahkan pada anak cucuMu
yang polos berdiri di hadapanMu
sambil menggendong ayam-ayam jantan dan betina
seraya menyebut namaMu.
Oh, usi!
amoet apakaet.
Atambua, 02 Januari 2024
Ikuti tulisan menarik Silivester Kiik lainnya di sini.