x

Iklan


Bergabung Sejak: 5 Januari 2024

Rabu, 10 Januari 2024 19:49 WIB

Titik Balik Anak Laki-laki dalam Cerpen Sunat Karya Pramoedya Ananta Toer

Datanglah seorang orang tua pada kami dan berkata: “Jangan takut. Tak sakit disunati. Rasanya seperti digigit semut merah. Aku dulu tertawa saja disunati.” Yang pertama yang dimasukan ke dalam gubuk itu adalah anak angkat ayah karena dialah yang tertua diantara kami. Bukan main takutku pada waktu itu...

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Cerpen ini menceritakan seorang tokoh yang bernama Bagas dengan tokoh-tokoh lain di antaranya, seperti Ibu, Ayah, adiknya yang bernama Tato, dan teman-teman Bagas.

Sebagi anak-anak kampung lainnya, kalau malam aku pun datang ke langgar untuk mengaji. Tak ada kesenangan kanak-kanak yang begitu besar daripada di langgar. Untuk dapat mengaji, kami membayar dua setengah sen seminggu guna membeli minyak pelita. Mengaji ini mulai pada jam setengah enam sore hingga jam sembilan malam. Dan mengaji ini adalah kesempatan satu-satunya buat kami untuk menghindarkan diri dari kewajiban belajar malam.

Apa yang kamu namai mengaji itu tidak lain daripada bercanda-canda, berahasia-rahasia mempercakapkan masalah-masalah kejenisan, mengganggu orang yang sholat magrib dan Isa, sambil menunggu giliran. Inilah dunia kami di waktu aku berumur sembilan tahun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku sebagai kawan-kawan yang lain-lain juga ingin jadi pemeluk agama Islam, sekalipun pada waktu itu rata-rata di antara kami belum di sunati. Walaupun dalam lapangan keagamaan kerja kami Cuma mengganggu orang bersembahyang, meninggalkan pelajaran sekolah, beramai-ramai sholat di masjid di tiap hari Jum’at walaupun tak sepatah pun kami mengerti apa yang kami doakan waktu sholat itu, dan walaupun kami belum di sunati, ya kami pemeluk agama Islam sejati.

Kemudian salah seorang di antara kawan-kawan disunati. Peralatan besar di adakan. Dan di kala itulah aku berfikir: betulkah aku orang Islam walaupun belum di sunati? Dengan diam dia hal ini kupikirkan. Aku harus jadi pemeluk islam yang sejati. Tapi mungkinkah ini bila belum disunati? Tapi pikiranku itu tak kukabarkan pada siapapun juga di dunia ini.

Sudah menjadi kebiasaan di daerah kami di kota kecil Blora anak-anak disunati pada umur delapan sampai tiga belas tahun. Dan biasanya ini dirayakan sebaik-baiknya. Anak-anak perempuan disunati pada umur lima belas hari dengan tiada dirayakan sama sekali.

Pada suatu malam Datanglah ayah. Dari mana aku tak tahu. Waktu itu pelita-pelita rumah sudah dipadamkan dan tinggal sebuah saja yang di nyalakan di tengah-tengah rumah. Aku lihat ayah sedang dalam keadaan gembira. Di kala itu aku sedang mendengarkan dongeng ibu tentang seorang haji yang gila kawin. Sangat mengagumkan dongeng itu. Dan Karena kedatangan ayah, dongeng itu pun matilah.

“Nak, engkau sudah berani disunati?” Tanya ayah.

Pada mulutnya tergambar senyum minta hati.

Bukan maen takutku mendengar tawaran itu. Tapi aku mau jadi orang Islam sejati. Dan selamanya aku takut pada ayahku ketakutan yang tak kutahui mengapa. Tapi kali itu, oleh senyum minta hati itu hilanglah semua ketakutanku.

“Berani ayah!” Kataku.

Dan ayah melebarkan senyumnya menjadi tertawa yang sangat ramah. “Apa yang kau sukai kalau disunat nanti? Kain atau sarung?”

“Kain, ayah.”

Kemudian ayah menanyai adiku Tato yang berumur tujuh tahun.

“Dan engkau, Tato beranikah engkau?”

“Tentu, ayah, tentu,” sahut Tato gembira.

Ayah tertawa puas. Nampak dalam cahaya pelita itu giginya yang putih dan gusinya yang merah jambu. Ibu bangun dari kasur yang di gelar di lantai.

“Kapan engkau sunatkan mereka?” Tanya ibu.

“Secepat mungkin,” ayah berkata.

Kemudian ayah berdiri dan pergi, hilang dalam kegelapan malam kamarnya.

Ibu bertiduran lagi. Tetapi tak diteruskannya ceritanya tentang haji yang gila kawin itu.

“Mamuk, dan engkau Tato, bersyukurlah pada tuhan karena telah di gerakan hati oleh ayahmu untuk menyunatkan engkau.”

“Ya, Bu,” kami menyahuti.

“Almarhum nenekmu dan nenek moyangmu yang lain,yang sudah berbahagia disurga akan sangat bersenanghati bila mengetahui engkau semua sudah di sunat.”

“Ya, Bu,” Kami menyahuti.

Malam itu susah betul aku bisa tertidur. Kubayangkan kesakitan dipotong yang akan kuderita. Kubayangkan kain, dan sendal yang mungkin dibeli untuk keperluan itu, baju baru, ikat kepala, peci, tidak bersekolah, tamu-tamu yang banyak, hadiah-hadiah yang besar sekali kemungkinan akan kuterima kelak. Alangkah senangnya bila punya kain dan ikat kepala, karena selaen ingin jadi pemeluk agama Islam yang sejati aku pun ingin jadi orang Jawa yang sejati. Dan alangkah senang mendapatkan sarung, punya sarung dua atau tiga. Nanti kawan-kawan yang belum disunati pasti akan mengiri melihatnya.

Keesokan harinya riang betul aku bangun. Pagi-pagi betul aku dan Tato berangkat ke sekolah. Kaki yang seakan-akan menolak untuk dipakai berjalan ke sekolahan sekarang kini terasa ringan. Semua anak murid mendengar belaka. Dan anak-anak yang belum lagi disunati memandangi kami dengan hormatnya, terutama anak-anak yang umurnya lebih tua dari kami. Tiap pasang mata memandangi kami dengan pandang yang tak pernah kami terima sebelumnya. Juga para guru nampak memanjakan kami dengan pandangannya. Dan sebentar lagi- sebentar lagi kami jadi orang Islam yang betul-betul: orang Islam yang sudah di sunati. Dan kemudian lagi dan inilah yang paling penting diatas segala-galanya kami mempunyai hak menempati surga seperti yang di ajarkan oleh kiai kami. Kalau kami sudah di sunati, kami kelak akan hidup senang di surga. Kami, tak perlu lagi pada barang-barang bagus yang kami ingin pada waktu itu, yakni barang-barang yang tak mungkin kami sebut kepunyaan kami.

Di sekolahan telah dibangunkan gubuk untuk tempat penyunatan. Dan gubuk itu didindingi dengan kelambu tule. Kami yang akan disunati duduk di barisan kursi dekat pada gubuk itu.

Datanglah seorang orang tua pada kami dan berkata: “Jangan takut. Tak sakit disunati. Rasanya seperti digigit semut merah. Aku dulu tertawa saja disunati.”

Yang pertama yang dimasukan ke dalam gubuk itu adalah anak angkat ayah karena dialah yang tertua diantara kami.

Bukan main takutku pada waktu itu. Tetapi aku ingin menjadi orang Islam sejati. Namun ketakutanku itu tak juga gampang dihilangkan begitu saeorang demi seorang masuk ke dalam gubuk itu dan keluar lagi dengan keadaan pucatnya, dan dengan jalannya yang tak betul lagi.

Kemudian datanglah giliran yang aku kutunggu-tunggu. Dua-tiga orang memegangi bahuku, seperti takut kalau aku melarikan diri. Dituntunnya aku masuk ke dalam gubuk penyunatan itu. Aku didudukkan di kursi dan kedua bahuku di pegangi erat-erat. Dibawah sudah di sediakan orang piring tanah yang diisi abu. Kemudian terasa kemaluanku di raba-raba, akhirnya selaputnya di putar kencang-kencang hingga terasa panas sekali. Dan kemudian daging selaput itu di rantaskan oleh pisau cukur. Kami setelah di sunati kembali pulang ke rumah berjalan kaki. Hari itu kami di perlakukan seperti raja-raja..

Sinopsis dari Cerpen “Sunat”

Tokoh Aku, bocah laki-laki yang nan saaat itu deceritakan berumur sembilan tahun. Setiap malam,pukul setengah enam qabliyyah maghrib hingga sembilan malam pergi ke langgar Yang katanya untuk mengaji bersama teman-teman sepermainannya. Yang mengejutkan, yang dilakukan tokoh Aku di langgar tersebut bermain, bercanda-canda, berahasia-rahasia mempercakapkan masalah-masalah kejenisan,mengganggu orang yang bersembahyang maghrib dan Isya sambil menunggu giliran. Hal tersebut dilakukanuntuk menghindari kewajiban belajar malam. Tokoh Aku dan kawan-kawanya ingin menjadi pemeluk agama Islam sejati. Hebat bocah-bocah ini. Ya, walaupun pada waktu itu rata-rata di antara mereka belum disunati. Dalam lapangan keagamaan kerja Mereka hanya mengganggu orang bersembahyang,meninggalkan pelajaran sekolah, beramai-ramai bersembahyang tiap hari JuM’at di Mesjid Walaupun tak sepatah pun Mereka Mengerti apa yang mereka do’a Kan pada waktu bersembahyang itu. Tapi Kekeh Merekea bilang Ya Kami pemeluk agama Islam sejati

Alur cerita ini mengajak kita kembali mengenang masa kanak-kanak yang tidak bisa dilupakan. Anak laki-laki ingin menjadi jagoan. Acara sunatan menjadi momen untuk membuktikan ke-jago-an anak laki-laki tersebut. Selain itu, cerpen ini juga menunjukkan acara sunatan sebagai bentuk perayaan bagi anak laki-laki ke masa remaja sekaligus rasa syukur kepada Allah SWT. Berkaitan dengan keadaan sosial zaman sekarang, masyarakat Indonesia tidak terlepas dari acara-acara lokal yang diturunkan sebagai tradisi, seperti tujuh bulanan hamilan, pernikahan, dan termasuk sunatan.

Sebagai pengarang, Pramoedya mengambil inspirasi untuk cerpen tersebut dari kebiasaan dari tempat kelahirannya, yaitu Blora. Di sana, anak laki-laki berumur delapan sampai tiga belas tahun harus menjalani sunat dengan hajat yang sebaik-baiknya.

 

Ikuti tulisan menarik lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

15 jam lalu

Terpopuler