x

Tri Satya dan Dhasa Dharma

Iklan

Mpu Jaya Prema

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 4 April 2024 15:45 WIB

Gerakan Pramuka dan Budi Pekerti Sebagai Ekstra Kurikuler

Gerakan Pramuka ternyata tidak dihapuskan, cuma bukan wajib diikuti oleh siswa. Setiap sekolah diminta untuk membuat minimal satu eskul. Bolehkan siswa tak mengikuti eskul sama sekali karena masalah kemiskinan? Bisakan pendidikan budi pekerti dihidupkan lagi untuk menjaga martabat dan moral bangsa bersanding dengan eskul Pramuka?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Mpu Jaya Prema, pemerhati budaya

Di saat perhatian tertuju kepada Mahkamah Konstitusi yang menyidangkan sengketa hasil pemilu, Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengumumkan kebijakan yang membuat heboh. Tentang keberadaan Pramuka dikaitkan dengan ekstrakurikuler (eskul) di jenjang pendidikan dari bawah sampai menengah atas. Hebohnya itu karena kementerian pada awalnya memberi kesan gerakan Pramuka dihapuskan dari eskul. Mayjen TNI (Purnawirawan) Bachtiar Utomo dari Kwarnas Pramuka sampai meminta Menteri Nadiem Makarim meninjau ulang kebijakan itu. Mantan Menkopolhukam Mahfud MD pun sampai memposting di medsos X, menyayangkan penghapusan Pramuka di sekolah.

Bachtiar Utomo bahkan mengutip berbagai keputusan presiden tentang gerakan Pramuka dan sampai pada kesimpulan betapa pentingnya gerakan Pramuka yang membangun karakter bangsa dan berperan stratergis dalam mencapai tujuan pendidikan. Akan halnya Mahfud MD menyayangkan jika Pramuka dihapuskan dari kurikulum meski sifatnya ekstra mengingat betapa besar jasa gerakan ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ternyata ketika menjelaskan di dalam rapat dengar pendapat DPR, Nadiem Makarim membantah kalau Pramuka dihapus dari eskul. Kemendikbud Ristek justru menegaskan eskul Pramuka wajib disediakan sekolah dan tidak dihapus. Tetapi tidak wajib dipilih siswa. Sifatnya adalah sukarela dan ini sesuai dengan kebijakan UU No 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka. Siswa itu mau ikut Pramuka atau tidak terserah. Tak ada paksaan.

Namun, bahasa yang dipakai Kemendikbud Ristek sempat bikin orang bertanya-tanya. Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah itu jelas mewajibkan sekolah menyelenggarakan minimal satu ekstrakurikuler. Kemudian, dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka juga ada kewajiban satuan pendidikan untuk memiliki gugus depan Pramuka. Nah, kalau misalnya sekolah punya satu eskul dan eskul itu bukan gerakan Pramuka, bagaimana sekolah itu punya gugus depan Pramuka?

Persoalannya baru jelas ketika Nadiem sendiri yang bicara. Eskul Pramuka tetap ada bahkan Nadiem minta disediakan di sekolah, tetapi anak-anak didik tidak wajib mengikuti. Apakah dalam praktek nanti diberlakukan? Bukankah saat ini, sepengetahuan saya yang punya keluarga masih di SD, anak kelas IV sampai VI SD wajib ikut Pramuka? Pada hari tertentu mereka harus memakai seragam Pramuka. Jika tidak berseragam Pramuka tak bisa ikut belajar meski pun mata pelajaran yang bukan terkait Pramuka.

Ada baiknya kurikulum yang kini disebut Kurikulum Merdeka lebih tegas lagi menjelaskan apa itu eskul. Seperti namanya ekstra, seharusnya anak didik yang tidak ikut eskul apa pun tetap dibenarkan dan tak ada hambatan dalam menempuh pendidikan. Bukannya harus memilih salah satu. Para elit termasuk para menteri seringkali lupa kalau penduduk negeri ini masih banyak orang miskin. Anaknya bisa bersekolah saja sudah bersyukur. Bisa membeli pakaian seragam bekas saja masih bernasib baik. Pulang sekolah anak-anak itu ikut membantu orang tuanya. Ya menanam singkong, cari kayu bakar, bahkan berburuh diajak orang tuanya. Itulah sesungguhnya eskul anak-anak pedesaan membantu orang tuanya mencari nafkah. Jangan dibayangkan seperti anak-anak perkotaan yang bersekolah diantar-jemput secara khusus.

Apa yang disampaikan Mayjen TNI (Purn) Bachtiar Utomo bahwa gerakan Pramuka demikian penting dalam membentuk dan membangun karakter bangsa ada benarnya. Juga pernyataan Menteri Nadiem bahwa Kurikulum Merdeka wajib menyediakan pilihan ekskul bagi siswa, suatu hal yang baik. Tapi bagaimana siswa harus memilih ekskul sesuai minat dan bakat sementara siswa itu tak punya waktu dan biaya? Dalam dunia nyata saat ini sudah lazim di setiap eskul ada biaya.

Dikaitkannya gerakan Pramuka sebagai pembentuk karakter bangsa memang diakui banyak hal. Termasuk cuitan Mahfud MD di medsos X. Namun tentu itu bukan satu-satunya penyeban. Karaktek bangsa kita merosot oleh banyak hal dan itu sungguh memprihatinkan saat ini. Jangan-jangan penyebabnya masalah kurikulum yang setiap ganti menteri ganti kurikulum. Atau mungkin juga, siapa tahu, pelajaran agama di sekolah-sekolah terutama pada sekolah dasar sudah tidak efektif lagi untuk memberi bekal moral kepada anak didik sehingga karakter bangsa jadi kedodoran. Pelajaran agama sudah bersifat hafalan dan tidak membekas kepada anak-anak jika dikaitkan dengan moralitas dan karakter bangsa. Bahkan antara yang dihafal dengan praktek kesehariannya sangatlah jauh, seperti tidak menyambung. Karena itu sejumlah pendidik menginginkan pelajaran budi pekerti dikembalikan seperti dulu, sementara mata pelajaran agama bisa diselipkan sebagai bagian dari pelajaran budi pekerti.

Di tahun 1960-an budi pekerti menjadi mata pelajaran pokok dari sekolah dasar (waktu itu disebut sekolah rakyat) sampai sekolah menengah. Di pelajaran budi pekerti itulah diselipkan pelajaran agama, meski pun hanya dasar-dasarnya saja. Karena pelajaran agama dianggap lebih pas diberikan oleh keluarga di luar sekolah atau komunitas tertentu di masyarakat.

Berbagai perubahan dalam masyarakat membuat adanya pergeseran. Orang tua dianggap tak mampu lagi memberikan pelajaran agama kepada anak-anaknya karena kesibukan dalam berbagai pekerjaan. Kebutuhan mendapatkan pendidikan agama dianggap hal yang sangat penting. Maka kurikulum pun disusun, pelajaran agama wajib diberikan di sekolah dan itu kemudian menggeser pelajaran budi pekerti, yang justru dianggap tidak jelas arahnya.

Namun tak semua menganggap pelajaran budi pekerti diabaikan. Perguruan Tzu Chi Indonesia, misalnya, menyelenggarakan pendidikan informal yang disebut pendidikan karakter dan budi pekerti. Kelas yang diberi nama Kelas Budi Pekerti itu sudah dimulai tahun 1997, di masa awal berdirinya Tzu Chi Indonesia. Kelas itu pun berjenjang. Ada kelas untuk usia 5-8 tahun (disebut Qin Zi Ban), anak-anak usia 8-12 tahun (Er Tong Ban) dan remaja usia 13-16 tahun (Tzu Shao Ban). Perguruan yang berlokasi di Cengkareng, Jakarta, ini juga memberi kesempatan kepada orang tua murid untuk ikut mempelajari bagaimana praktek budi pekerti dilakukan.

Kementrian  Pendidikan dan Kebudayaan (sebelum Ristek bergabung) pada Juli 2015 sempat meresmikan program yang disebut Penumbuhan Budi Pekerti (PBD). Program tersebut merupakan pembiasaan sikap dan perilaku positif yang diterapkan terhadap siswa sekolah sejak masa orientasi peserta didik baru hingga masa kelulusan. Tujuannya adalah menjadikan sekolah sebagai taman untuk menumbuhkan karakter-karakter positif peserta didik di semua tingkatan sekolah, baik Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, maupun Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan. Cuma masalahnya program itu diterapkan melalui jalur nonkurikuler. Jadi semacam eskul.

Apa sebenarnya pendidikan budi pekerti itu? Budi pekerti berasal dari Bahasa Sanskerta. Budi dari kata Budh yang berarti sadar, bangun, atau bangkit (kejiwaan). Pekerti berarti bekerja, berkarya, berlaku, bertindak. Budi pekerti mengandung makna perilaku yang baik, bijaksana, serta manusiawi. Di dalam kata itu tercermin sifat dan watak seseorang dalam perbuatan sehari-hari.

Para leluhur kita sudah mewarisi berbagai dongeng yang menyangkut budi pekerti. Juga cerita pewayangan sangatlah efektif untuk mengajarkan budi pekerti. Sambil bercerita itu disebutkan contoh-contoh perbuatan yang tidak baik dan perbuatan yang patut dijadikan teladan. Sasaran yang mau dicapai lewat pendidikan ini adalah menjadikan anak itu berkelakuan baik, menghindari perbuatan yang salah, bersikap sabar, tidak egois, tanggap dan peka terhadap lingkungan sosial. Dari sinilah moral dibina. Kalau sejak dini moral sudah dibina dengan baik maka diharapkan terbawa sampai dewasa.

Kemerosotan moral dan martabat yang dewasa ini sudah dianggap mengkhawatirkan bisa ditangkal jika pendidikan budi pekerti diberikan sejak dini. Andai budi pekerti disatukan dalam eskul gerakan Pramuka, barangkali klop. ***

Ikuti tulisan menarik Mpu Jaya Prema lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB