x

Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 2 Februari 2024 09:15 WIB

Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London

Novel yang ditulis berdasarkan pengalaman George Orwell menggelandang di Paris dan London di awal karirnya sebagai pengarang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London

Judul Asli: Down and Out in Paris and London

Penulis: George Orwell

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penterjemah: Widya Mahardika Putra

Tahun Terbit: 2019

Penerbit: DIVA Press

Tebal: 312

ISBN: 978-602-391-744-0

 

Widya Mahardika Putra, sang penerjemah memberikan ulasan pendek tenatng novel ini. Ia menyampaikan bahwa George Orwell memang terkenal dengan Animal Farm dan 1984. Tetapi sebelum itu, novel yang berjudul Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London ini adalah novel yang sangat penting dalam karir kepengarangan penulis yang mempunyai nama asli Eric Blair ini. Novel inilah yang pertama-tama membuatnya dikenal sebagai salah satu penulis handal di Inggris dan Eropa.

Lebih lanjut  Widya menjelaskan bahwa novel ini ditulis berdasarkan pengalaman nyata George Orwell yang hidup miskin di Paris dan kemudian London. Meski Widya memberikan catatan bahwa Orwell tentu tidak benar-benar sangat miskin, tetapi pengamatannya terhadap kehidupan orang-orang miskin di Paris dan London sangat mengilhami penulisan novel ini. Tentu saja pengalaman pribadinya menjadi orang yang kekurangan di kedua kota tersebut.

Eric Blair memang pergi ke Paris dan kemudian London setelah meninggalkan pekerjaannya di Burma.

Seperti novel-novel dan esai-esainya yang telah saya baca sebelumnya, di novel ini Orwell juga menggunakan gaya bertutur orang pertama kepada pembacanya. Ia sangat sedikit menggunakan percakapan langsung antar tokohnya. Kalaupun ada percakapan, ia tetap menulisnya sebagai penuturan penulis kepada pembaca. Atau dibingkainya dalam sebuah monolog.

Sangat menarik bahwa Orwell tidak menulis tentang gelandangan dan orang miskin sebagai sampah masyarakat. Ia justru menulis tentang betapa beratnya perjuangan orang-orang miskin ini.

Orwell menuliskan betapa kerasnya hidup sebagai orang miskin di Paris dan London. Ia menceritakan dengan sangat detail bagaimana suasana kerja dan hidup menggelandang di dua kota besar Eropa ini. Bahkan kadang harus melewati hari-hari tanpa makan sama sekali. Jika di Paris para orang miskin masih berkesempatan bekerja, di London, orang-orang miskin hidup menggelandang mengharap pada kedermawanan/layanan sosial.

Namun jangan dibayangkan bahwa pekerjaan untuk orang miskin itu manusiawi. Orwell mengisahkan bahwa orang miskin harus bekerja 14-17 jam sehari dengan upah yang hanya cukup untuk membeli makan dan sekadar anggur. Kalau masih beruntung bisa melepas penat di warung-warung yang sangat murah sambal menenggak alkohol kualitas buruk. Bagi kebanyakan orang miskin di Paris, punya waktu istirahat selama 15 menit adalah sebuah anugerah.

Di London, orang miskin tidak akan sampai kelaparan. Sebab di London banyak tempat-tempat yang menyediakan dukungan bagi mereka. Tempat-tempat singgah yang menyediakan tempat menginap atau makanan sekadarnya tersedia bagi para gelandangan di London. Meski demikian kehidupan menggelandang di London tidak kalah kerasnya dibanding kehidupan orang miskin di Paris.

Selain kerasnya hidup, Orwell juga banyak mengisahkan persahabatan dan persaudaraan diantara orang miskin. Saat di Paris ia banyak bercerita tentang Boris. Boris adalah mantan seorang tentara yang kehilangan jabatannya karena revolusi di Rusia. Meski hidup miskin, Boris masih mempunyai kebanggaan akan posisi ningrat yang disandangnya sebelumnya. Persahabatan antara Orwell dengan tokoh Boris dipakai untuk menunjukkan betapa solidaritas antar orang miskin bisa begitu kuat. Mereka rela berbagi makanan yang tak cukup untuk dimakan sendiri. Mereka rela berbagi tempat tinggal yang sangat tidak layak, saat salah satu dari mereka kehilangan tempat tinggal.

Jika di Paris ia menampilkan tokoh Boris, di London ia mengisahkan kawannya yang bernama Paddy dan Bozo. Paddy adalah orang Irlandia yang mengasihani dirinya sendiri karena menjadi gelandangan. Ia tetap menjaga penampilannya sebagai orang yang pernah bekerja normal. Sedangkan Bozo adalah seorang pelukis jalanan yang masih bisa mendapatkan uang dari melukis di jalan atau trotoar.

Kehidupan yang keras sebagai orang miskin membuat mereka melakukan apa saja. Mereka mengakali orang lain (tidak menipu), memungut apa saja yang ada di jalan, dan bahkan rela untuk melakukan hal aneh karena lapar. Seperti cerita seorang gelandangan bernama Valenti. Valenti adalah seorang atheis. Tetapi karena lapar ia rela mencoba berdoa kepada seorang Santa.

Menurutku ada dua sisipan dalam novel ini. Sisipan tersebut berupa “cerpen” dan daftar umpatan. Sisipan cerpen terdapat di Bab XVIII. Cerpen yang mengisahkan Charlie yang harus menghadapi kelaparan dengan teman wanitanya yang bernama Yvone. Sedangkan daftar umpatan disajikannya di Bab XXXII.

Novel ini menunjukkan bahwa Orwell adalah seorang pengamat yang rajin. Ia mengingat (mencatat?) tentang hal-hal yang ditemuinya dalam kemiskinan dan orang-orang miskin di sekitarnya. Ia juga mencatat umpatan-umpatan dan istilah-istilah yang dipakai oleh para gelandangan untuk menyebutkan tempat singgah untuk mendapatkan makanan dan sekadar tidur. 815

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

42 menit lalu

Terpopuler