x

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Minggu, 4 Februari 2024 08:36 WIB

Saat ini Mendesak Jokowi Jadi Negarawan Lebih Penting daripada Debat Pilpres

Saat ini, di sisa waktu kampanye dan masa tenang, mendesak Jokowi menjadi negarawan sekaligus menghentikan manuver-manuver keberpihakan para menteri dan aparatnya di bawah jauh lebih penting daripada debat. Penting agar debat tetap berguna, Pemilu berlangsung fair, jurdil serta berintegritas, dan hasilnya diterima oleh rakyat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Minggu malam besok (4 Februari 2024), Debat Pilpres pamungkas bakal digelar. Hari ini Kompas.Id menurunkan sebuah artikel menarik, menguraikan hasil survei terakhir Litbang Kompas seputar agenda Debat Pilpres terakhir yang bakal berlangsung besok. Salah satu poin penting hasil survei ini mengungkapkan, bahwa bahwa 86,4 persen publik mengaku kandidat yang dipilih tidak akan berubah setelah menonton debat meski responden tetap antusias ingin mengikuti keseruan acara debat tersebut.

Jika demikian halnya, lantas apakah debat masih tetap penting digelar? Bukankah debat diasumsikan sebagai forum melalui apa pemilih akan mencerna, menimbang, membanding dan akhirnya memutuskan pilihan Capres-Cawapres?

Pertanyaan “apakah debat masih tetap penting digelar” itu juga perlu dikemukakan dalam situasi terkini hajat elektoral. Kita tahu, proses Pemilu yang semakin mendekati klimaks ini belakangan telah memantik para cendekiawan kampus keluar dari “pertapaan akademiknya” dan lantang menyuarakan keprihatinan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka mengirim sejumlah pesan moral kepada Presiden Jokowi, yang inti dan ujung pesannya mendesak Jokowi agar (kembali) menjadi negarawan. Pesan itu, sejak dimulai di Bulaksumur UGM, disusul UII di Kaliurang, kemarin dan hari ini terus saling bersahutan dari berbagai kampus di berbagai kota.

Kembali ke soal Debat Pilpres. Tentu saja debat masih tetap penting, setidaknya untuk sejumlah 13.6 persen publik yang masih mungkin berubah preferensinya berdasarkan hasil survei tersebut. Debat juga tetap penting sebagai forum dimana publik bisa melihat bagaimana isu-isu strategis dipaparkan para kandidat, dieksplorasi para panelis, dan “dipertengkarkan” para kandidat. Tidak mustahil diantara 86.4 persen publik tadi juga ada yang kemudian mengubah pilihannya setelah menonton paparan, eksplorasi dan “pertengkaran”.

Debat bahkan juga penting dan akan selalu penting sebagai bagian dari ikhtiar merawat dan menghidupkan gagasan, sikap dan pandangan-pandangan diskursif bernegara dalam tradisi demokrasi.

 

Pendidikan, Ketenagakerjaan, dan Kesejahteraan Sosial

Debat Pilpres terakhir besok bakal mengusung 8 tema strategis, yakni : kesejahteraan sosial, kebudayaan, pendidikan, teknologi informasi, kesehatan, ketenagakerjaan, sumber daya manusia, dan inklusi.

Survei Litbang Kompas mengungkapkan, 3 dari 8 tema itu mendapat perhatian publik paling tinggi. Yakni isu ketenagakerjaan 27.2 persen, pendidikan 25.6 persen, dan kesejahteraan sosial 24.1 persen. Hemat saya, angka-angka ini cukup presisi dengan realitas yang sebenarnya. Dibandingkan dengan lima tema lainnya, ketiga isu ini memang menjadi kebutuhan ril sekaligus problematika masif yang dihadapi masyarakat mayoritas.

 

Bagaimana Cara Mewudukan, Bukan Sekedar Mendeklarasikan

Terkait ketiga isu paling diminati publik itu, dari dokumen visi-misi para kandidat seperti yang sudah sering dikemukakan di berbagai kesempatan kampanye mereka, saya mencatat antara lain pernyataan-pernyataan misi berikut ini.

Anies-Gus Imin. Dalam aspek ketenagakerjaan, salah satu misinya adalah mengentaskan rakyat dari kemiskinan dengan memperluas kesempatan berusaha dan menciptakan lapangan kerja. Sementara dalam sektor pendidikan mereka antara lain mengusung program andalan menyediakan pendidikan berkualitas, dengan biaya terjangkau dan tuntas, serta membangun anak Indonesia sehat, cerdas, berprestasi, dan bahagia.

Prabowo-Gibran. Dalam bidang ketenagakerjaan, Paslon yang didukung koalisi tambun ini menjanjikan target penciptaan 19 juta lapangan pekerjaan. Sementara di sektor pendidikan mereka berkomitmen untuk membangun SDM unggul yang didukung oleh kecukupan gizi yang baik.

Ganjar-Mahfud. Dalam sektor ketenagakerjaan, mereka menjanjikan lapangan kerja baru sebanyak 17 juta selama periode 2024-2029. Sementara dalam bidang pendidikan Paslon ini menawarkan program andalan dan menarik, yakni satu keluarga satu sarjana.

Semua pernyataan misi dan program para kandidat itu tentu saja baik, bisa dibayangkan oleh publik dan mestinya mampu mambangunkan harapan masa depan. Hanya saja, dalam forum debat, pernyataan-pernyataan misi dan program itu saja tentu tidak cukup.

Agar harapan publik layak terbangun dan masa depan gemilang pantas diimpikan, para kandidat perlu menjelaskan bagaimana cara mewujudkan komitmen dan janji-janji programatik itu akan dilakukan. Seberapa mendesak ketiga isu diprioritaskan, sekaligus tanpa harus mengabaikan kebutuhan-kebutuhan publik lainnya. Seberapa realistis pula misi dan program mereka terkait isu-isu ini.

Sekedar mengulas sedikit contoh. Prabowo-Gibran menjanjikan 19 juta lapangan kerja, sementara Ganjar-Mahfud hanya berkomitmen di angka 17 juta. Penting bagi publik untuk tahu dan faham bagaimana angka 19 juta dan 17 juta itu muncul, berbeda target kuantitasnya padahal kedua Paslon tentu berangkat dari studi pemetaan terhadap kondisi lapangan pekerjaan terkini yang relatif sama.   

Atau terkait biaya pendidikan terjangkau dan berkualitas dari Anies-Gus Imin. Bagaimana caranya janji ini akan diwujudkan. Skema apa yang disiapkan untuk mewujudkan sekolah dan kuliah murah tapi berkualitas. Karena kita, tahu rezim berganti pendidikan tetap mahal, sementara semuanya juga menjanjikan hal yang sama setiap kali kampanye Pemilu digelar.

 

Debat Penting tapi Bisa Tak Berguna

Sekali lagi, debat tetap penting. Penting sebagai bagian dari kampanye agar publik tahu apa yang mereka tawarkan dan tidak jatuh pada kebiasaan lama “membeli kucing dalam karung”. Penting sebagai sarana pendidikan dan pencerahan politik. Penting sebagai instrumen untuk merawat kebaikan-kebaikan diskursus pemikiran dalam tradisi demokrasi, sekaligus penting sebagai wujud partisipasi dan kebebasan berekspresi sebagaimana dijamin konstitusi.

Hanya saja, dalam konteks situasional kompetisi Pemilu yang cenderung makin unfair, debat yang penting itu bisa menjadi tidak berguna. Dalam arti tidak akan memberikan efek insentif atau disinsentif bagi para kandidat.

Situasi itu bisa terjadi karena preferensi pemilih sudah terdistorsi. Preferensi pemilih sudah “dikerangkeng” oleh instrumen-instrumen tak sehat seperti Bansos yang diklaim sebagai bantuan pribadi, tebaran cinderamata kampanye dalam berbagai bentuk, ketidaknetralan Presiden dan para pejabat negara, atau mobilisasi aparat pemerintah secara terstruktur, sistemik dan masif untuk kepentingan paslon tertentu.

Itulah yang disuarakan secara moral oleh para begawan intelektual non-partisan. Para cendekiawan kampus yang “berumah di atas angin” (meminjam istilah almarhum WS Rendra) yang kini saling bersahutan di berbagai kota. Mereka meminta dan mendesak agar Presiden Jokowi dan para pejabat segera menghentikan cara-cara unfair dan tak sehat itu, dan kembali menjadi negarawan, yang mengayomi semua golongan dan kelompok, serta berdiri tegak di titik tengah “paling ekstrim” perhelatan elektoral.

Jadi, debat memang tetap penting. Tapi dalam situasi sekarang, di sisa waktu kampanye dan masa tenang, mendesak Jokowi menjadi negarawan sekaligus menghentikan manuver-manuver keberpihakan para menteri dan aparatnya di bawah jauh lebih penting.  Semuanya penting dilakukan, sat-set, agar debat berguna, Pemilu berlangsung fair, jurdil serta berintegritas, dan hasilnya diterima oleh rakyat.      

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler