x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 15 Februari 2024 17:56 WIB

Siapapun Pemenangnya, Adakah yang Siap Jadi Oposisi?

Akankah sejarah pilpres 2019 berulang ketika kompetitor yang kalah memilih bergabung dengan si pemenang? Ia yang tega meninggalkan rakyat dan jeri menjadi oposisi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemenang pilpres versi hitung cepat mengarah kepada pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, tapi pemenang pilpres versi real count masih menunggu pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sembari menunggu KPU yang sedang bekerja, juga Bawaslu dan tim partai-partai yang mengawal proses penghitungan, rakyat bertanya-tanya adakah di antara partai-partai yang capresnya kalah akan memilih jadi oposisi pemerintahan yang terbentuk nanti?

Pertanyaan ini muncul karena pengalaman traumatik rakyat dari pilpres dan pileg 2019. Dalam pilpres saat itu, pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno kalah bersaing dengan pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Ketika itu, rakyat berharap Prabowo akan mengambil posisi oposisi untuk mengimbangi dan mengawasi pemerintahan Jokowi. Namun rakyat kecewa karena ternyata Prabowo memilih bergabung dengan Jokowi dengan memperoleh kursi menteri pertahanan dalam kabinetnya.

Alasan yang digunakan Prabowo untuk mau menerima ajakan Jokowi untuk duduk di kabinetnya ialah demi rekonsiliasi pasca pilpres. Langkah Prabowo ketika itu melupakan fungsi penting oposisi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat banyak yang mungkin tidak terakomodasi atau bahkan dirugikan oleh kebijakan pemerintah. Ketika Prabowo yang dalam pilpres mendapat banyak dukungan dari rakyat memilih untuk bergabung dengan pemenang pilpres, rakyat praktis berjuang sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Semula, ada tiga partai yang tidak bergabung ke dalam pemerintahan Jokowi, yaitu Demokrat, PAN, dan PKS—ketiga partai ini mendukung pencapresan Prabowo ketika itu. Mereka berusaha berada di sisi rakyat banyak, tapi PAN belakangan tidak tahan menjadi oposisi dan akhirnya masuk ke dalam kabinet dengan imbalan kursi menteri untuk ketua umumnya. Dengan merangkul banyak partai ke dalam pemerintahan, Jokowi tampaknya merasa aman dalam menjalankan pemerintahan walaupun kabinetnya terlihat gemuk. Jokowi juga lebih mudah mengendalikan elite partai karena ketua umumnya (Gerindra, PAN, dan Golkar) menjadi menteri dalam kabinetnya.

Sepanjang lima tahun pemerintahan Jokowi sejak 2019, rakyat dalam posisi harus mewakili kepentingannya dengan kemampuan sendiri, karena mayoritas partai mendukung pemerintahan Jokowi yang disponsori terutama oleh PDI-P. Dua partai di luar pemerintahan, PKS dan Demokrat, tidak mampu melakukan tindakan yang berarti dalam menyuarakan kepentingan rakyat banyak.

Berbagai kritik dan masukan terhadap kepemimpinan dan pemerintahan Jokowi tidak memperoleh perhatian selayaknya. Berbagai undang-undang lahir dengan dibidani kolaborasi pemerintah-DPR yang didominasi partai pendukung pemerintah dengan partisipasi publik yang minim. Ketiadaan gabungan partai-partai yang mampu mengimbangi pemerintah selama 5 tahun terakhir melahirkan konsentrasi kekuasaan di tangan presiden seperti yang terjadi hingga saat ini.

Situasi ini berlanjut ke pilpres 2024. Sejumlah elite partai memilih bersikap aman karena alasan-alasan tertentu, yang bahkan mungkin bersifat personal, di samping barangkali mengkalkulasi potensi kemenangan agar tetap bisa duduk di kekuasaan. Ironisnya, walau cukup kerap mengritik, Demokrat dalam pilpres 2024 ini memilih bergabung dengan mayoritas partai yang mencalonkan Prabowo dan Gibran, putra Presiden Jokowi, hanya karena kekecewaan terhadap keputusan koalisi awalnya yang akhirnya mencalonkan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.

Ambisi serta kepentingan para elite politik inilah yang sesungguhnya berkontribusi besar terhadap lemahnya kekuatan oposisi atau penyeimbang. Tantangannya sekarang, siapapun pemenang resmi pilpres versi KPU nanti, apakah pihak-pihak yang kalah dalam kompetisi akan berani dan mau menempatkan diri sebagai oposisi untuk mengimbangi dan mengawai pemerintahan yang bakal terbentuk. Ataukah para elite mengulangi kembali pengalaman 2019 ketika yang kalah bergabung dengan yang menang serta meninggalkan rakyat berjuang sendirian.

Bila sejarah 2019 berulang, semakin jelas bahwa elite politik sesungguhnya mengabaikan masa depan demokrasi yang sehat dan tidak pernah sungguh-sungguh memperjuangkan perbaikan nasib rakyat banyak. Mereka keliru bila memandang peran oposisi sebagai peran yang tidak penting serta menjadikan pilpres dan pileg sebagai kuda tunggangan untuk berkuasa. Hasrat akan kekuasaan rupanya telah membuat mereka lupa bahwa semua langkah mereka akan dimintai pertanggungjawaban. Tidak ada kekuasaan tanpa pertanggungjawaban. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB