x

Santri adalah penggerak Masyarakat

Iklan

MAULIDA ASLAMIYAH

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 Maret 2024

Selasa, 26 Maret 2024 06:34 WIB

Pengaruh Perundungan Santri terhadap Kualitas Pendidikan di Pondok Pesantren

Banyak kasus yang menimbulkan sebab-akibat perundungan terjadi, di sekolah maupun pondok pesantren. Dari banyaknya kasus kekerasan yang dialami para santri di pondok pesantren, perlu perhatian khusus dari pemerintah dalam perlindungan anak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perundungan hal yang tak jarang ditemukan di berbagai tempat, salah satunya berada di pondok pesantren. Pondok pesantren memanglah tempat menuntut ilmu agama, tetapi kesempurnaan itu tidaklah terlepas dari kekurangan, karena masih terjadi perundungan.

Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA), perundungan adalah kekerasan fisik dan psikologis panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu bertahan diri. Perundungan memengaruhi mental seseorang yang berakibat dari kegiatan bullying seperti  ancaman, paksaam, terror, niat untuk mencederai, dan penindasan jangka panjang. 

Terdapat 4 unsur dalam perundungan

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hal yang dikemukakan oleh Diena Haryana terdapat unsur-unsur perundungan yang perlu diketahui yaitu pelaku, korban, dan saksi. Adapun menurut B. Coloroso, terdapat 4 unsur perilaku perundungan kepada seseorang yaitu:

  1. Ketidakseimbangan kekuatan

Pelaku perundungan biasanya lebih dominan dari segala sisi seperti lebih tua, besar, kuar, mahir verba, tinggi status social, beragam ras, dan jenis kelamin yang beda sehingga semua itu menciptakan ketidakseimbangan.

  1. Niat untuk mencederai

Terdapat penyebab luka emosional dan fisik, tindakan melukai, dan menimbulkan rasa senang hati sang pelaku.

  1. Ancaman agresi lebih lanjut

Kejadian perundungan berulang kali dilakukan

  1. Terror

Terror menjadi tujuan tindakan perundungan dengan mengintimidasi dan memelihara dominasi.

Perundungan selalu terjadi di sekitar kita

Banyak kasus yang menimbulkan sebab-akibat perundungan ini terjadi, termasuk di sekolah maupun pondok pesantren. Berikut ini eberapa kasus perundungan yang terjadi di pesantren:

  1. Kasus perundungan terjadi di Kediri, Jawa Timur, tepatnya di Pondok Pesantren Tartilul Qur’an Al Hanifiyyah pada Februari 2024. Seorang santri berinisial BB (16) meninggal dunia akibat penganiayaan empat orang yang kini sudah dotetapkan sebagai tersangka oleh polisi. Korban merupakan asli warga Desa Karangharjo, Banyuwangi yang merantau ke Kediri demi menuntut ilmu. Korban ditemukan terjatuh di kamar mandi nampak luka lebam di sekujur tubuh, luka seperti jeratan leher, hidung terlihat patah, mata bengkak, dan sundutan rokok di paha. Polisi menetapkan empat pelaku yait inisial MN (18), MA (18), AK (17), dan AF (sepupu korban, 16) merupakan senior di ponpes yang sama. Sebelum korban menghembuskan nafas terakhir, korban meminta dijemput oleh orangtua dengan ketakutan, tetapi orangtua memiliki keterbatasan jarak dan ekonomi. Motif pelaku melakukan penganiayaan terhadap korban dikarenakan korban tidak mematuhi beberapa aturan, seperti mengikuti salat berjamaah dan piket. Tindak kekerasan santri yang terjadi di Kediri karena tidak ada izin operasional dari Kemenag, kurangnya sistem pantau yang bisa memonitor dan memitigasi kejadian, juga peluang senioritas yang terbuka untuk tindakan kekerasan.
  2. Kasus penganiayaan santri Pondok Pesantren Husnul Khotimah di Kuningan, Jawa Barat pada awal Desember 2023. Seorang santri berinisial H (18) meninggal dunia akibat penganiayaan teman seangkatan. Korban ditemukan di dalam ruangan gudang yang sudah terkunci pada hari Jumat (1/12/2023) kemudian dibawa ke RS Juanda dan meninggal dunia pada hari Senin (4/12/2023). Berdasarkan hasil visum terdapat luka lebam dan memar di bagian wajah, tangan, punggung, dan bagian lainnya di tubuh korban. Motifnya diduga korban melakukan pencurian (meski belum tentu kebenarannya). Polisi menetapkan 18 tersangka dengan 12 pelaku masih di bawah umur sehingga 6 pelaku dijerat Pasal 170 Kitab UU Hukum Pidana ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan sisa 12 pelaku menunggu keputusan kejaksaan dan kehakiman terkait sistem peradilan anak. Saat ini semua pelaku dikeluarkan dari ponpes.
  3. Kasus penganiayaan santri Pondok Pesantren Sirajurrokhim di Temanggung, Jawa Tengah, pada September 2023. Seorang santri berinisial M (15) meninggal dunia akibat pengeroyokkan. Polisi menetapkan 8 pelaku yang masih di bawah umur yang berinisial MS (13), NF (12), M (17), WA (14), TS (13), MA 12), AR (13) dan MR (13). Motif penganiayaan tersebut dilakukan karena korban sering mencuri uang milik temannya dan pada 10 September 2023 lalu korban sempat dinasehati temannya dan korban pun mengakuinya. Hasil keputusan Kapolres, para pelaku tidak ditahan karena pelaku masih di bawah umur.
  4. Kasus penganiayaan santri Pondok Pesantren Ta’mirul Islam di Sragen, Jawa Tengah, pada November 2022. Seorang santri berinisial DWW (14) meninggal dunia akibat penganiayaan oleh seniornya MHN (16) dengan aksi tending dan pukulan bagian dada korban. Motif penganiayaan tersebut dikarenakan korban lalai dalam menjalankan aturan tugas piket. Pelaku dijatuhkan sanksi dan dikeluarkan dari ponpes. Pemberian hukum kedepannya diberlakukan tidak dalam bentuk fisik hanya dalam bentuk hafalan ayat suci Al-Qur’an dan membersihkan WC.
  5. Kasus penganiayaan santri Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor 1, di Ponorogo, Jawa Timur, pada Agustus 2022. Seorang santri berinisial AM (17) meninggal dunia akibat penganiayaan yang tidak diketahui atas motifnya. Pelaku penganiayaan berinisial MFA (18) asal Sumbar dan IH (17) asal Pangkal Pinang yang dikeluarkan dari ponpes secara permanen. Wakil Presiden, Ma’ruf Amin ikut meminta kematian korban diusut secara jelas agar megetahui penyebab tewasnya korban. Ma’ruf mengharapkan pendidikan akhlak para santri ditanamkan kembali demi mencegah upaya kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Laporan ponpes dikatakan terlambat sehingga pihak keluarga harus menerima risikonya atas pembukaan kembali jenazah korban setelah 15 hari dikubur. Pimpinan ponpes Gontor, KH M Akrim Mariyat meyakini bahwa korban meninggal dalam keadaan mati syahid karena sedang aktif menimba ilmu di ponpes. Proses otopsi dilakukan hari Kamis (8/9/2022) yang memakan waktu selama 6 jam. Berdasarkan hasil otopsi korban oleh Kapolres Ponorogo, AKBP Catur Cahyono Wibowo, ditemukannya memar atas benda tumpul di bagian dada dan organ dalam dengan aneka barang bukti dari dua senior korban yang menjadi tersangka. Motif penganiayaan pun ditemukan yaitu berawal dari kegiatan Perkemahan Kamis Jumat (perkajum) pada 18 dan 19 Agustus. Selanjutnya pada Sabtu (20/8/2022) saat kegiatan pengembalian dan pengecekan perlengkapan, AM dievaluasi mengenai barang perkajum yang hilang dan rusak. Pada akhirnya pelaku MF dan IH melakukan tindakan kekerasan dengan menggunakan patahan tongkat pramuka ke bagian kaki, dan melakukan pukulan dan tendangan ke bagian dada yang membuat korban terjatuh dan tidak sadarkan diri.

Lembaga masih belum menerapkan kebijakan Sekolah Ramah Anak

Maraknya perundungan yang terjadi di pondok pesantren dikarenakan masih banyak lembaga pendidikan termasuk pondok pesantren belum menerapkan kebijakan Sekolah Ramah Anak. Kualitas dan kuantitas pengasuh lembaga pendidikan yang tidak seimbang dengan jumlah santri dalam melakukan pendampingan di dalam kelas dan pengawasan di luar kelas juga menjadi salah satu penyebab lainnya perundungan.

Kualitas Pondok Pesantren menurun

Kualitas pondok pesantren jadi menurun jika dilihat dari sudut pandang santri, wali murid, serta calon santri yang akan mendaftar. Kasus perundungan tidak membuat aman dan nyaman untuk menimba ilmu.  Kasus itu terjadi akibat pengawasan yang kurang ketat, kedisiplinan tidak berjalan dengan baik, pendampingan dan pengawasan pengasuh ponpes kurang maksimal. Kualitas pondok pesantren pun menjadi rendah di mata masyarakat. Ini membuat wali murid kurang percaya menitipkan anak-anaknya.

Perlu perhatian khusus dari pemerintah

Dilihat dari banyaknya kasus kekerasan yang dialami oleh para santri di pondok pesantren perlu perhatian khusus dari pemerintah dalam perlindungan anak. Tujuannya agar terjadi regenerasi yang berkualitas tinggi dan menjaga kelangsungan bangsa di masa depan. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perlindungan dari diskriminasi.

Mereka harus mendapat perlakuan yang sama untuk menyambut masa depannya, yang sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28B Ayat 2. Fondasi penting untuk melindungi anak harus dapat menjamin bahwa tidak ada kekerasan dan diskriminasi dalam bentuk apa pun sebagai bagian dari UUD 1945.

Upaya pencegahan 

Upaya pencegahan yang dilakukan salah satunya bisa membangun satgas perlindungan di lingkungan ponpes yang melibatkan semua pihak, termasuk anggota senior pesantren. Perlu membentuk ekosistem pesantren yang rahmatan lil alamin dalam melindungi santri yang tidak memiliki kekuatan sehinga seringkali menjadi korban perundungan.

Upaya pencegahan yang juga bisa dilakukan adalah dengan cara sosialisasi mengenai bahaya perundungan (bullying) dan pemberian edukasi kepada santri dan membentuk kedisiplinan bersama konsekuensi yang akan dihadapi oleh santri.

 

Ikuti tulisan menarik MAULIDA ASLAMIYAH lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

12 jam lalu

Terpopuler