Refleksi Menjelang Hari Guru

Senin, 4 November 2024 09:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di Indonesia, guru adalah profesi yang menuntut siapapun yang mengembannya untuk seakan bisa menjadi sosok yang sempurna baik dari segi penampilan, kompetensi, hingga kepribadian.Ini refleksi menjelang hari guru pada 25 November mendatang.

Belum lama ini kami mengikuti sebuah seminar atau lebih tepatnya sosialisasi. Sosialisasi bertajuk anti kekerasan dalam pembelajaran itu dilakukan setelah sekolah kami mendapatkan sorotan tentang kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya. Bukan kali pertama kami mengikuti kegiatan semacam ini. Namun terasa sekali perbedaannya karena kegiatan ini dilakukan setelah adanya laporan kekerasan yang dilayangkan oleh wali murid kepada guru di sekolah.

Tulisan ini menggambarkan bagaimana ketidakadilan yang dirasakan guru, dan penulis menyebutnya sebagai salah satu dosa besar pendidikan. Penulis akan berusaha fair dan objektif dalam memberikan opini, meskipun juga tak dipungkiri akan melibatkan subjektifitas penulis. Inti dari cerita sesungguhnya juga akan dikaburkan demi menjaga nama baik semua pihak yang terlibat.

Di Indonesia, guru adalah profesi yang menuntut siapapun yang mengembannya untuk seakan bisa menjadi sosok yang sempurna baik dari segi penampilan, kompetensi, hingga kepribadian. Meski tak tertulis secara eksplisit di dalam regulasi, namun demikianlah faktanya. Ada guru yang model pembelajarannya menyenangkan, penguasaan materinya baik, namun cenderung mudah terpancing emosinya serta macam-macam karakter guru lainnya yang sebenarnya juga karakter manusia pada umumnya.

Sekarang, mari masuk ke substansinya. Alkisah dalam suatu kelas seorang guru ditantang berkelahi oleh siswanya lantaran ia tidak terima karena ditegur tak mengenakan dasi. Ajakan berkelahi tersebut dilanjutkan dengan bogem mentah yang diterima sang guru di pipi kiri. Spontan, guru pun menampar siswa tersebut dan segera meninggalkan kelas karena khawatir ia akan semakin kalut dalam emosi. Sang guru pun segera melaporkan kejadian tersebut ke guru BK.

Esok harinya, khidmatnya proses belajar mengajar seketika terpecah oleh teriakan seorang lelaki paruh baya berpostur tinggi yang membawa sebilah parang. Nampaknya itu adalah orang tua dari siswa yang terlibat konflik dengan guru kemarin. Ia tak terima karena menurutnya sang anak mendapatkan penganiayaan oleh guru di kelasnya. Agar tak mengganggu kegiatan belajar siswa lainnya, lelaki itu ditemui oleh kepala sekolah dan dibawa ke ruang BK. Terjadilah diskusi tentang kronologi kejadian yang sesungguhnya dengan melibatkan teman-teman siswa. Diskusi deadlock, orang tua tetap bersikeras untuk membawa perkara ini ke jalur hukum.

Cerita di atas hanyalah sekelumit mimpi buruk yang dialami oleh sekian banyak guru di Indonesia. Di satu sisi guru dituntut untuk mendidik, tetapi di sisi lain guru harus siap untuk dikriminalisasi. Selama ini fokus kita hanyalah tentang kondisi mental dan kejiwaan siswa tanpa sedikitpun berpikir tentang kondisi guru. Opini berikut semata-mata penulis berikan sebagai bentuk kritik atas ketidakadilan yang dialami oleh banyak guru.

Dalam diskusi tersebut muncul sebuah pertanyaan, bagaimana ketika guru yang menjadi korban penganiayaan oleh siswa? Seorang profesional menjawab dengan mempersilakan guru tersebut untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Jawaban tersebut tentu tak menjawab pertanyaan yang diberikan bahkan tampak bahwa pemateri tak menangkap maksud dari pertanyaan tersebut.

Sudah menjadi hal yang mendasar ketika seseorang baik anak-anak maupun orang dewasa mengalami penganiayaan untuk melaporkan ke pihak berwajib serta mendapatkan perlindungan hukum yang adil dari negara. Konsekuensi logis dari kalimat tersebut adalah guru ataupun murid yang menjadi korban penganiayaan atau kekerasan harus mendapatkan perlindungan hukum yang sama. Saat guru sebagai pelaku kekerasan dapat diperiksa hingga dipidana, maka siswa yang melakukan kekerasan juga harus demikian. Jangan sampai karena embel-embel di bawah umur, maka pelaku hanya dibina dan dibebaskan dari segala akibat hukum yang harus ia terima. Akan lebih parah lagi jika pelaku mendapatkan perlindungan hanya karena mereka masih anak-anak. Sungguh jika hal itu terjadi maka menjadi tidak adil. Adil memang tidak harus sama. Tetapi jika siapapun yang menjadi korban kekerasan dipersilakan melapor, maka siapapun juga yang menjadi pelaku kekerasan juga harus ditindak.

Jika pun negara akan melindungi anak sebagai pelaku penganiayaan pada guru, maka negara juga harus hadir melindungi guru yang terlapor menjadi pelaku penganiayaan. Apabila hal-hal demikian terus dibiarkan begitu saja, maka sungguh sebuah ironi nasib guru di negeri ini. Kian pelik problematika yang harus dihadapi guru. Bayangkan sudah gaji yang diterima tak seberapa, tugas administrasi yang menumpuk, belum lagi mereka harus mengatasi arogansi beberapa siswa dan wali murid. Tidakkah berdosa negeri ini jika membiarkan guru berjuang seorang diri? Tidakkah berdosa negeri ini jika membiarkan guru dikriminalisasi? Sungguh sebuah dosa besar jika negara tak memperhatikan itu semua! #CSPA

Bagikan Artikel Ini
img-content
Candra Sasmita Putra Atmaja Atmaja

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Refleksi Menjelang Hari Guru

Senin, 4 November 2024 09:06 WIB
img-content

Guru, Terjepit antara Idealisme dan Regulasi

Selasa, 1 Agustus 2023 08:43 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler