x

Penjual pisang membaca koran sambil duduk dekat tandan pisang di kios pasar di Jakarta, 18 Juni 2014. Dimas Terisi/Getty Images

Iklan

rohmen ditahan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jurnalisme Judul dan Politik Hari-hari Ini

Jangan nilai berita dari judulnya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Satu kali bersua dengan kawan lama. Dia kini redaktur sebuah media nasional menggeluhkan soal banyaknya judul yang tak sesuai dengan isi berita. Parahnya lagi, berita yang tak sesuai kemasannya itu justru laku di media sosial. Dibagi dan diklik ribuan kali. Maklum, kawan ini pernah memiliki pengalaman buruk karena judul.

Suatu kali, ada panggilan telpon masuk ke ponselnya. Si penelpon ternyata dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia. Musababnya, ada berita yang mengerikan: 'AS Terlibat Bom Cirebon'. Dalam persepsi publik, bom yang meledak di Masjid Polres Cirebon itu ada campur tangan Amerika Serikat. Kawan itu heran, dia merasa tak pernah mengaitkan berita itu dengan negeri Paman Sam. Kedutaan juga ingin mengklarifikasi berita yang sudah tersebar di jagat maya itu.

Setelah dirunut, ternyata sebabnya sederhana; 'AS' dalam judul berita itu, oleh pembaca dikonotasikan sebagai Amerika Serikat. Berita itu disebar di media sosial, ditambah dengan cemoohan buat negara adidaya itu. Sedangkan kawan tersebut, menulis AS sebagai inisial dari orang yang diduga terlibat. Dalam jurnalisme, lazim menyebut seseorang dengan inisial buat mereka yang masih status tersangka. Membuat inisial bukan untuk menyesatkan pembaca. Ini pengamalan dari asas praduga tak bersalah dalam pemberitaan. Namun, pembaca awam mungkin tak jeli membaca berita. Singkatan sering disalahartikan, atau bahkan disalahgunakan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di jaman media sosial, kita disodori banyak berita. Tiap menit, informasi bersliweran. Kita tergenang informasi tanpa mampu memilah mana informasi yang benar, mana yang ngawur. Ada berita yang penting, tapi juga banyak berita sampah. Hidup bergegas dipacu melawan waktu. Lahirlah pembaca yang malas dan manja. Mereka enggan membaca berita hingga tuntas. Hanya membaca berita dari judulnya. Parahnya, berita itu juga dibagi-bagikan di media sosial. Ini jadi kebiasaan.

Padahal, tak semua judul bisa mencerminkan isi berita. Tak semua pekerja pers mampu merangkai judul yang presisi. Akibatnya, kita terjebak dalam Jurnalisme Judul. Di mana wartawan tak bisa menyematkan judul dengan presisi, dan pembaca malas membaca berita hingga tuntas. Parahnya, justru membagikan berita itu di media sosial.

Kondisi ini kian marak selama masa kampanye Pilpres ini. Berita dari media-media besar banyak dibagi di media sosial. Tentu berita yang sesuai dengan pilihan politik, yang sudah dipilah dan dipilih. Mendadak situs-situs berita abal-abal banyak muncul di Facebook atau Twitter. Berita dengan pengutipan yang ngawur, tanpa konfirmasi, pinjam mulut bahkan fitnah, jamak kita temukan akhir-akhir ini.

Banjir berita di satu sisi patut disyukuri. Namun di sisi lain memaksa kita untuk makin selektif mengonsumsi informasi. Berita dari media besar saja belum tentu benar, apalagi dari media abal-abal. Di era digital, pembaca justru juga makin repot. Mereka harus menjadi editor untuk dirinya sendiri. Pilihan informasi yang banyak tersedia di internet, makin menuntut pembaca cerdas memilah fakta di tengah setumpuk informasi yang sebenarnya tak lebih dari comberan. Tips singkatnya, jangan nilai berita dari judulnya, tapi bacalah berita hingga tuntas.

Bill Kovach dan Tim Rosenstiel, dua wartawan kawakan, membantu menyaring informasi dengan mudah, cukup mengecek 4 elemen ini.

Pertama, cek jenis informasi yang anda baca. Apakah itu bentuknya berita, advertorial, gosip, sekedar katanya atau malah fitnah. Tak semua informasi yang tersebar di internet itu berita. Gosip dan fitnah lebih banyak malah. Standar penyajian berita tentu beda dengan gosip. Berita selalu menyajikan ruang konfirmasi. Kalau memang memang tak ada, perlu disebut jika si tertuduh dalam berita itu belum dikonfirmasi.

Kedua, cek media yang menyampaikan informasi. Informasi bisa jadi berita. Tapi lewat media tertentu, informasi bisa dipilih dan dipilah. Sehingga, seseorang akan tampak selalu jelek di situs media A. Atau mungkin si selalu buruk di stasiun tv B. Maka, informasi yang mereka sampaikan jadi tak berimbang. Pembaca disetir dengan berita-berita yang sudah dipilah untuk kepentingan mereka. Apalagi, saat suhu politik sedang panas, kini banyak bloger atau media sosial yang pura-pura jadi situs berita. Dengan embel-embel jurnalisme warga (citizen journalism) banyak yang mengemas gosip atau fitnah dengan label berita. Namun, tak berarti situs berita bloger itu buruk. Banyak juga yang baik dan menulis berita dengan kaidah jurnalistik.

Ketiga, cek narasumber. Bisa jadi kita mengonsumsi berita. Media yang memberitakan juga kredibel. Namun sumbernya siapa dulu. Kalau memang si narasumber dikenal suka bohong, tak konsisten bahkan kutu loncat, ya jangan dipercaya.

Terakhir, cek bukti informasi. Bukti ini perlu, agar berita yang kita baca memang valid. Bisa saja bentuknya foto, pindaian data, rekaman suara atau gambar. Namun tak berarti berita yang disertai bukti langsung jadi berita valid. Kini, banyak foto yang sudah diolah, video yang sudah dipotong agar belok maknanya, atau bahkan data abal-abal yang disebut sahih.

 

Ikuti tulisan menarik rohmen ditahan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu