Cinta Beda Agama: Kalau Tuhan Aja Maha Pengasih, Kenapa Kita Nggak Bisa?
Jumat, 9 Mei 2025 20:48 WIB
Hubungan beda agama yang berjalan baik, tapi tetap harus selesai—bukan karena kurang cinta, tapi karena terlalu banyak realita.
1. Semua Terasa Wajar, Sampai Perbedaan Jadi Terasa Nyata
Di awal, perbedaan itu cuma semacam biodata. Label yang tertera di kartu identitas dan kadang dipakai buat tebak-tebakan zodiak atau preferensi makanan. Orang-orang berbeda agama jatuh cinta, itu biasa. Toh kenyamanan nggak milih lewat tempat ibadah.
Dua orang bisa sama-sama menyenangkan, nyambung, saling tertawa di tengah malam, dan saling dengar cerita paling sepele sekalipun. Hubungan mereka berjalan seperti pasangan lain—nongkrong, saling tukar playlist, kadang debat soal film, kadang saling diam tapi tetap terasa dekat.
Tapi lama-lama, sesuatu yang dulu dianggap kecil mulai terdengar lebih nyaring. Bukan karena saling mengungkit, tapi karena ruang itu makin lama makin sempit. Satu pergi ke misa, satu lagi sedang puasa. Satu bicara tentang makna spiritual, satu hanya bisa diam karena takut mengganggu. Semuanya terasa hati-hati. Terlalu hati-hati sampai-sampai kenyamanan pun jadi tipis.
Bukan karena cinta memudar, tapi karena masing-masing mulai sadar bahwa mereka berdiri di dua sisi keyakinan yang tak bisa saling isi ulang.
2. Ada Batas Tak Kasat Mata yang Makin Lama Makin Terasa
Hubungan beda agama seringkali tidak berisik, tapi diam-diam melelahkan. Ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan. Seperti ketika ingin saling mendukung tapi tak tahu harus pakai cara siapa. Atau ketika salah satu sedang menjalani ibadah dan yang lain bingung: “Aku perlu tanya kabar, atau tunggu dia selesai dulu?”
Hal-hal semacam ini tidak langsung membuat hubungan hancur. Justru seringnya bertahan cukup lama. Karena keduanya berusaha keras saling mengerti, saling jaga, saling kompromi. Tapi dalam kompromi yang panjang itu, pelan-pelan muncul pertanyaan: “Kalau kita terus jaga perasaan satu sama lain, siapa yang jaga perasaan kita sendiri?”
Tidak ada yang salah. Tidak ada yang kasar. Tidak ada drama besar. Tapi rasa capek itu nyata. Dan pelan-pelan, yang tadinya ringan, jadi beban.
3. Menyudahi Tanpa Tatap Muka: Bukan Karena Takut, Tapi Karena Terlalu Sayang
Akhir dari hubungan beda agama jarang dramatis. Ia lebih sering hadir dalam bentuk percakapan yang makin jarang, tatap mata yang makin canggung, dan diam yang makin sering diisi dengan rasa bingung.
Sampai pada titik tertentu, salah satu harus berani berkata cukup. Bukan karena cinta habis, tapi justru karena masih ada. Masih cukup banyak untuk tahu bahwa saling menggantung hanya akan menambah luka.
Kadang, keputusan itu datang sepihak. Bukan karena ingin jadi pahlawan yang menyelamatkan keduanya dari patah hati, tapi karena sadar, tak ada cara yang benar-benar baik untuk menyudahi sesuatu yang pernah begitu hangat.
Maka ada yang memilih menyudahi lewat pesan. Bukan karena pengecut. Tapi karena kalau harus bertemu, bisa jadi semua keputusan buyar. Bisa jadi, keduanya kembali terjebak dalam rasa nyaman yang semu. Dan akhirnya hanya mengulur waktu untuk luka yang tak pernah jadi sembuh.
Menyudahi lewat chat memang terdengar dingin. Tapi di balik kalimat pendek itu, sering kali ada air mata yang tidak sempat dijelaskan.
4. Luka yang Tidak Ribut Tapi Tinggal Lama
Setelah itu, yang tersisa hanya hening. Tidak ada pertengkaran. Tidak ada kata-kata terakhir yang menyakitkan. Justru karena terlalu banyak yang tidak diucapkan, hubungan itu terasa menggantung, meski sudah dinyatakan selesai.
Keduanya mungkin masih saling ingat. Masih terpikir saat melihat makanan favorit yang dulu sering dipesan berdua. Masih menahan diri untuk tidak mengecek stories satu sama lain. Masih ada dorongan untuk mengirim chat pendek seperti, “udah makan belum?”—tapi ditahan karena tahu: yang sederhana bisa jadi jebakan.
Luka dari hubungan seperti ini tidak meledak. Ia seperti luka dalam yang tidak terlihat. Tidak ada darah, tapi rasanya ngilu terus. Terutama karena yang disesali bukan karena saling menyakiti, tapi karena pernah saling membahagiakan—dan tetap harus melepaskan.
5. Kalau Saling Sayang, Harusnya Nggak Harus Sama
Pada akhirnya, banyak yang menyadari bahwa hubungan beda agama bukan tentang siapa yang lebih kuat bertahan. Tapi tentang seberapa jujur kita terhadap kenyataan.
Bukan semua orang bisa, dan bukan semua orang harus. Karena sesayang apa pun, jika dua orang harus terus bersembunyi dari keyakinannya sendiri demi tetap bersama, maka itu bukan lagi hubungan yang sehat—itu jadi pelarian yang disamarkan dengan kalimat manis.
Hubungan beda agama bukan kisah baik atau buruk. Ia hanya tentang dua orang yang sama-sama punya niat baik, tapi tidak bisa menemukan titik temu yang bisa ditapaki bersama.
Dan kadang, keputusan untuk mengakhiri adalah bentuk paling tulus dari kasih yang pernah ada: ketika seseorang memilih mundur, agar tidak makin menyakiti. Ketika seseorang memilih pergi, agar keduanya tetap utuh—walau tak lagi berdua.

Mahasiswa S1 Hubungan Internasional
3 Pengikut

Work From Café: Produktif Karena Latte atau Karena Bebas dari Bos?
Selasa, 20 Mei 2025 19:35 WIB
Makna Lirik Lagu Sparks Karya Coldplay: Percikan Rasa Bersalah dan Cimta Abadi
Senin, 19 Mei 2025 21:18 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler