Fenomena Sopan Santun Budaya Orang Indonesia yang Bikin Bingung Orang Asing

Selasa, 15 Juli 2025 07:56 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Memperkenalkan Tempe kepada wisatawan asing
Iklan

Mengajak makan saat sibuk, misalnya, bisa membingungkan orang asing.

Oleh: [email protected]

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Makan Dulu Yuk!” Tapi Kok… Cuma Basa-basi?

Di saat-saat penting seperti sedang rapat atau sedang bekerja, orang Indonesia sering sekali mengajak untuk makan, bahkan saat tidak ada makanan. Hal ini benar terjadi ketika ada seorang turis asal Jerman yang tinggal di Yogyakarta yang mengunggah video Tiktok, mengatakan bahwa orang Indonesia sering mengajak makan. Kadang ia berpikir bahwa ajakan itu sungguh-sungguh, tetapi ternyata, terkadang hal itu adalah cara orang Indonesia menunjukan sopan santun. Bagi orang Indonesia, kalau tidak mengajak makan, rasa nya seperti ada yang kurang.

Kejadian seperti ini sebenarnya hal yang biasa dan sederhana. Tetapi hal ini juga menunjukan bahwa cara berkomunikasi tiap budaya memang berbeda-beda. Bagi orang Indonesia, mengajak makan adalah tanda keramahan. Bukan berarti kita benar-benar mengajak untuk memakan, melainkan sebagai cara kita menghormati atau menyambut orang lain.

Terkadang kita mendengar kalimat seperti ‘Makan dulu, yuk!’ atau ‘udah makan belum?’ padahal maksudnya mungkin adalah sekedar menanyakan kabar atau sekedar ingin memberi tanda bahwa mereka memperhatikan kita. Tapi bagi orang asing seperti orang Jerman, Amerika, atau Belanda, mereka kerap melakukan komunikasi yang langsung. Yang berarti ajakan makan adalah ajakan sungguhan. Mungkin mereka akan berpikir ‘Tidak ada makanan, kenapa mengajak makan?’.

Ternyata, hal ini juga sesuai dengan beberapa teori komunikasi yang dikemukakan oleh ahli-ahli di bidangnya. Contohnya adalah Teori High Context vs Low Context Culture, oleh Edward T. Hall yang merupakan seorang antropolog budaya. Ia membagi cara komunikasi menjadi dua jenis:

High-context culture (Indonesia, Jepang, Arab):

  • Banyak pesan disampaikan secara tidak langsung.
  • Bahasa tubuh, intonasi, dan konteks sangat penting.
  • Orang lebih “membaca suasana” dibanding isi kalimat.

Low-context culture (Jerman, AS, Skandinavia):

  • Segala hal dikatakan secara langsung dan eksplisit.
  • Komunikasi lebih to the point dan tidak banyak kode-kode.
  • Jarang ada “basa-basi” jika tidak sungguh-sungguh.

Indonesia termasuk high-context.
Jadi, ketika orang bilang “makan dulu ya,” itu bisa berarti:

  • “Saya mau pamit dulu.”
  • “Saya sedang sibuk.”
  • “Saya menghargai kamu.”

tapi bukan berarti ada makanan.

Dalam budaya ber-konteks tinggi, sebagian besar informasi dikomunikasikan secara implisit melalui konteks situasional atau hubungan antarpersonal, sementara dalam budaya ber-konteks rendah, komunikasi dilakukan secara langsung dan eksplisit (Edward T. Hall, 1976).

Ada teori lain yang juga cocok untuk fenomena ini. Yaitu Teori Face Negotiation dari Stella Ting-Toomey. Stella Ting-Toomey adalah profesor komunikasi yang memperkenalkan Face Negotiation Theory. Teori ini membahas bagaimana orang dari budaya berbeda mengelola “wajah” (image diri) dalam interaksi. Dalam konteks ini, face bukan wajah secara harfiah, melainkan citra diri atau martabat sosial seseorang di mata orang lain. Budaya timur seperti Indonesia sangat menjaga “face”, tidak ingin terlihat kasar, makanya sering menggunakan basa-basi halus. Sementara orang barat lebih terbiasa langsung dan blak-blakan, karena menjaga face mereka lewat kejujuran. “Face” adalah rasa harga diri sosial yang ingin seseorang tampilkan secara positif di mata orang lain dalam konteks hubungan atau jaringan sosial (Stella Ting‑Toomey, 1994). Dalam hal ini, ada tiga jenis ‘Face’ :

  1. Self-face: Menjaga citra diri sendiri
    Umum di budaya individualis (Eropa Barat, AS)
  1. Other-face: Menjaga citra orang lain
    Umum di budaya kolektivis (Asia Timur, Asia Tenggara)
  2. Mutual-face: Menjaga keharmonisan dan hubungan baik antara dua pihakSangat penting di budaya seperti Indonesia.

Ting-Toomey menggunakan istilah facework untuk menggambarkan strategi yang digunakan orang dalam menjaga face selama interaksi. Facework bisa berbentuk: Indirectness (tidak langsung), Deference (penghormatan), dan Solidarity (kebersamaan). “Makan dulu ya” adalah bentuk facework khas Indonesia, yang fungsinya bisa sangat beragam tergantung konteks. Ajakan ini seringkali digunakan bukan untuk menyampaikan ajakan makan secara literal, tetapi sebagai cara menjaga kenyamanan sosial, memelihara hubungan, dan menghindari kesan “kasar” atau “meninggalkan.”

 

Dalam budaya Indonesia yang kolektivis dan relasional, orang cenderung menyesuaikan diri dengan situasi sosial dan menjaga hubungan agar tetap harmonis. Di sinilah, berbagai bentuk komunikasi tidak langsung, penuh kode, dan basa-basi menjadi sangat penting, dan salah satunya adalah “makan dulu ya.”

Kalau tidak dipahami, ini bisa menjadi masalah.

Kejadian semacam ini bisa jadi lucu, bisa juga bikin kesal, tergantung siapa yang mengalami. Bayangkan orang asing yang serius ingin makan, lalu diajak makan tapi tidak diberikan makanan, hanya senyuman. Atau sebaliknya, orang Indonesia yang sedang basa-basi, tapi orang asing betul-betul menunggu sepiring makanan.

Tetapi Ini bukan soal benar atau salah. Tapi soal memahami perbedaan.

Mengapa hal ini menjadi penting? Di era global seperti sekarang, komunikasi lintas budaya terjadi setiap hari. Di tempat kerja, kampus, saat traveling, atau bahkan di media sosial.

Lalu apa solusinya?                              

  1. Saling edukasi

Orang Indonesia perlu memberi penjelasan: “Kalau kami bilang ‘makan dulu’, itu ungkapan sopan, bukan undangan literal.”

  1. Jangan selalu harfiah

Bagi orang asing, belajar memahami bahwa tidak semua hal perlu diartikan kata per kata.

  1. Gunakan konteks

Perhatikan situasi: apakah orang itu benar-benar mengajakmu makan, atau hanya basa-basi?

  1. Tertawakan bersama

Kadang, perbedaan ini justru bisa jadi momen lucu dan mempererat hubungan, asalkan kita terbuka dan tidak sensitif.

Jadi, kalau suatu hari kita sedang duduk di kantor atau menunggu kereta, lalu ada orang Indonesia bilang,
“Makan dulu yuk,”
Jangan langsung membeli makanan atau membuka bekal. Mungkin dia cuma sedang berusaha sopan dan ramah. Dan di situlah keindahan komunikasi antarbudaya: Bukan hanya soal apa yang diucapkan, tapi juga bagaimana kita memahaminya.

Selamat “makan dulu”, meski hanya secara budaya. Dan itu adalah bentuk keindahan komunikasi yang hanya bisa dipahami jika kita berhenti mendengar dengan telinga saja, tapi mulai mendengar dengan rasa.

Memahami fenomena ini membuat kita bertanya pada diri sendiri:

Apakah selama ini kita terlalu mengandalkan basa-basi tanpa memastikan orang lain memahaminya?

 Apakah kita pernah menyinggung orang lain karena tidak membaca situasi sosial dengan baik?
Apakah kita cukup peka terhadap orang dari budaya yang berbeda?

Sebagai orang Indonesia, kita tumbuh dalam lingkungan yang sangat menjunjung sopan santun, “tidak enakan,” dan bahasa yang tersirat. Tapi ketika mulai berinteraksi dengan orang dari luar budaya, entah dalam ruang kerja, kelas, atau media sosial, kita menyadari bahwa tidak semua orang membaca ‘kode budaya’ yang sama.

Kadang kita terlalu hati-hati, kadang kita terlalu tidak langsung. Kadang kita berharap orang lain “paham sendiri,” padahal mereka mungkin bingung. Di sinilah kita belajar:
Komunikasi yang baik tidak cukup hanya bermodal niat baik, tapi juga butuh kesadaran lintas budaya.

Referensi

Edward T. Hall. (1976). Beyond Culture. New York: Anchor Press.

Stella Ting‑Toomey. (1994). The Challenge of Facework: Cross‑Cultural and Interpersonal Issues. New York : State University of New York Press.

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler